Oleh: Widi Kusnadi, wartawan MINA
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Sebuah terobosan dilakukan oleh Afrika Selatan (Afsel) di penghujung tahun 2023 dalam upaya menyeret otoritas Zionis Israel ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ). Afsel menuduh Israel melanggar kewajibannya berdasarkan Konvensi Genosida.
Negara berpenduduk sekitar 60 juta jiwa yang mayoritas bukan umat Muslim itu berani mengajukan gugatan ke lembaga peradilan tertinggi dunia atas kejahatan genosida yang dilakukan Zionis terhadap Bangsa Palestina.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Afsel menggambarkan tindakan Israel di Gaza sebagai genosida dengan sejumlah bukti yang mengarah kepada penghancuran sebagian besar kelompok masyarakat, ras dan etnis, yakni Bangsa Palestina.
“Tindakan yang dimaksud termasuk membunuh warga Palestina di Gaza, menyebabkan penderitaan fisik dan mental yang serius, dan memberikan kondisi hidup yang diperkirakan akan menyebabkan kehancuran fisik bagi mereka,” demikian petikan sebagian bunyi tuntutan tersebut.
Adapun tindakan yang dikategorikan sebagai aksi Genosida berdasarkan Konvensi tersebut antara lain: (1) membunuh seluruh atau sebagian kelompok tertentu; (2) menyebabkan luka fisik atau mental yang serius terhadap anggota kelompok; (3) secara sengaja menimbulkan kondisi hidup kelompok yang dapat mengakibatkan kemusnahan fisik seluruhnya atau sebagian; (4) menghalangi terjadinya kelahiran di dalam kelompok; dan (5) memindahkan anak-anak kelompok ke kelompok lainnya secara paksa.
Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa membandingkan kebijakan Israel di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki dengan rezim apartheid yang menerapkan segregasi rasial oleh rezim “Kulit Putih” di Afrika Selatan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Terobosan Afsel itu mendapatkan banyak dukungan dari berbagai negara, terutama yang berpenduduk mayoritas Muslim seperti Turki, Yordania, Indoensia, Malaysia dan lainnnya.
Mengenal ICJ
Mahkamah Internasional adalah salah satu dari enam organ utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lembaga itu bertugas menyelesaikan perselisihan antar negara sesuai dengan hukum internasional dan memberikan pendapat penasehat mengenai masalah hukum internasional.
ICJ menjadi pengganti dari Mahkamah Permanen Peradilan Internasional (Permanent Court of International Justice/PCIJ), yang didirikan pada tahun 1920 oleh Liga Bangsa-Bangsa.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
ICJ memiliki 15 hakim yang dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB untuk masa jabatan sembilan tahun. Lembaga itu berkantor pusat di Istana Perdamaian di Den Haag, Belanda. Bahasa kerja resminya adalah Inggris dan Prancis.
Sejak masuknya kasus pertama pada 22 Mei 1947, ICJ telah menangani 191 kasus hingga 13 November 2023. Saat ini, Mahkamah Internasional saat ini dipimpin oleh Abdulqawi Ahmed Yusuf asal Somalia. Ia telah menjabat sejak 2018 lalu dan akan selesai tugasnya pada 2027 mendatang. Adapun Presiden ICJ saat ini adalah Joan Donoghue dari Amerika Serikat (AS). Ia mulai menjabat sejak 8 Februari 2021.
Indonesia pernah berurusan dengan ICJ di tahun 1998 lalu. Kala itu, Indonesia dan Malaysia bersama-sama meminta putusan atas kepemilikan pulau Ligitan dan Sipadan yang terletak di antara pulau Kalimantan dan Sulawesi.
Pada putusan yang dilaksanakan tahun 2002 itu, Mahkamah Internasional menyatakan kepemilikan kedua pulau jatuh pada kedaulatan Malaysia.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
ICJ berbeda dengan ICC
PBB telah menetapkan tiga pengadilan hukum, yakni International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional, International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Kejahatan Internasional, dan International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) atau Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut.
ICC dan ICJ) sama-sama berkantor di Den Haag, Belanda. Sedangkan ITLOS berkantor di Hamburg, Jerman.
Jika negara yang bersangkutan adalah bagian dari PBB, warga negara tersebut dapat langsung ke ICJ dan jika negara yang bersangkutan bukan bagian dari PBB, mereka diharuskan untuk mengajukan ke ICC.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
ICC merupakan lembaga yang mengadili individu atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi. Sedangkan ICJ mengadili sebuah negara.
Mungkinkah Afsel Berhasil Seret Israel?
Atas tuntutan yang dilayangkan Afrika Selatan tersebut, pihak Zionis Israel menyatakan siap menghadapi gugatan Afsel di ICJ. Delegasi Israel menyatakan siap hadir di persidangan.
Zionis Israel menyebut, gugatan Afsel tersebut tidak berdasar. Israel justru menyalahkan gerakan perlawanan Hamas di Gaza karena telah menjadikan warga sebagai tameng persembunyian mereka, yang membuat mereka kemudian menghancurkan Gaza.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
ICC secara terpisah juga melakukan penelitian atas dugaan kekejaman Zionis Israel di Gaza dan Tepi Barat. Namun lembaga itu belum menetapkan satu pun tersangka. Israel menolak yurisdiksi ICC karena mereka tidak meratifikasinya.
Berbeda dengan ICJ, Israel tidak bisa berkilah darinya karena Israel sendiri merupakan institusi yang meratifikasi, bahkan menjadi negara yang mempelopori terbentuknya ICJ dan Konvensi Genosida. Afrika Selatan dan Israel sama-sama merupakan pihak dalam Konvensi Genosida.
Menurut Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Prof. Hikmahanta Juwana, putusan ICJ terhadap Israel nantinya akan dapat dieksekusi jika mereka kalah dalam perang, atau sudah tidak mendapat dukungan dari AS dan negara Barat lagi.
Hikmahanta mengambil contoh putusan ICC untuk tokoh pelaku genosida di Rwanda dan Yugoslavia. Mereka bisa dieksekusi karena posisinya sudah lemah, tidak lagi memiliki cukup kekuatan untuk melawan tekanan dunia internasional.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Pada 12 Februari 2002, mantan presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic menjalani sidang perdana di Den Haag, Belanda. Pria berjuluk “Jagal dari Balkan” itu didakwa melakukan genosida dan kejahatan perang di Bosnia, Kroasia, dan Kosovo.
Hampir di sepanjang proses persidangan Milosevic menjadi pengacara untuk dirinya sendiri hingga sidang berakhir tanpa putusan. Akhirnya, Milosevic meninggal dunia di selnya dalam usia 64 tahun pada 11 Maret 2006, diduga akibat terkena serangan jantung.
Sementara itu, Mantan menteri wanita Rwanda, Pauline Nyiramasuhuko dipenjara seumur hidup terkait genosida suku Tutsi di negaranya. Ia adalah wanita pertama yang dihukum pengadilan PBB terkait genosida Rwanda.
Pauline Nyiramasuhuko terbukti bersalah melakukan kejahatan tersebut bersama anak laki-laki dan empat mantan pejabat lainnya.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Kembali lagi ke kasus Israel, secara kalkulasi di atas kertas, selama Zionis Israel masih belum kalah perang, atau masih mendapat dukungan penuh dari AS dan negara Barat, rasanya sulit putusan ICJ akan dapat dieksekusi.
Meskipun ICJ dianggap sebagai pengadilan tertinggi PBB, keputusannya terkadang diabaikan. Sebagai contoh, pada bulan Maret 2022, ICC memerintahkan Rusia untuk segera menghentikan serangan militernya di Ukraina. Namun, tidak ada pihak yang benari melakukan uksekusi atas putusan tersebut. Hingga saat ini perang Rusia-Ukraina masih berlanjut.
Jadi, kesimpulannya, jika ICJ nanti memutus Israel bersalah dan terbukti melakukan aksi genosida di Palestina, maka putusannya akan bisa dieksekusi jika negara Zionis itu kalah perang, atau bangkrut, atau sudah tidak lagi mendapat dukungan AS dan Barat.
Jika Israel sudah dalam kondisi tidak berdaya, maka tokoh tokohnya akan bisa diseret dan diadili di ICC setelah lembaga ICJ menyatakan bahwa negara Zionis Israel benar dan terbukti bersalah melanggar Konvensi Genosida. Semoga.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
(A/P2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat