Oleh : Nurhabibi, M.P, Koresponden MINA Nanggroe Aceh Darussalam
Tamat riwayatku kini. Kubayangkan, betapa hebatnya agen rahasia Mossad yang dapat dengan cepat mengendus penumpang gelap tanpa paspor, berusaha menyelundup masuk ke negaranya. Meski dengan sopan si Mossad memperlakukan kita, tetap saja kami berpikir buruk. Kami semua akan langsung dideportasi atau dihukum mati minimal dipenjara seumur hidup. Sebab tidak ada bukti, siapa memberi perintah datang ke Israel. Sampai di ruang bawah tanah, perasaan kami tenang setelah melihat para perwira BIA yang dilibatkan dalam Operasi Alpha. Kemudian baru aku tahu, kami memang sengaja diskenariokan untuk ditangkap dan justru bisa lewat jalur khusus, guna menghindari public show apabila harus ke luar lewat jalur umum.
Kami langsung menerima brifing singkat mengenai berbagai hal yang harus diperhatikan selama berada di Israel. Yang tidak enak adalah kegiatan sesudahnya yaitu sweeping segala macam barang bawaan yang berlabel made in Indonesia. Kami juga diajarkan untuk menghapal sejumlah kalimat bahasa Ibrani, Ani tayas mis Singapore yang artinya aku penerbang dari Singapura. Ada sapaan boken tof berarti selamat pagi dan shallom sebagai sapaan saat bertemu dengan kawan.
Eliat, Pangkalan Udara Rahasia
Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”
Semalam tidur di hotel, kami kemudian diangkut dalam satu mobil van menuju arah selatan menyusuri Laut Mati. Setelah dua hari perjalanan, kami sampai di Kota Eliat. Perjalanan dilanjutkan kembali di tengah padang pasir, setelah melewati beberapa pos jaga, akhirnya van masuk ke sebuah pangkalan tempur besar di wilayah barat Kota Eliat. Di Israel, pangkalan tidak pernah memiliki nama pasti. Nama pangkalan hanya berupa angka dan bisa berubah. Bisa saja nama pangkalan itu adalah base number nine di hari tertentu, namun esoknya bisa diganti dengan angka lain. Sesuai kesepakatan bersama, kami menyebut tempat ini dengan Arizona, oleh karena dalam skenario awal kami memang disebutkan akan berlatih terbang di Amerika.
Total waktu rencana pelatihan selama empat bulan. Selama itu para penerbang melaksanan kegiatan pelatihan, dari ground school hingga bina terbang, agar mampu mengendalikan pesawat A-4 Skyhawk. Latihan terbang diawali dengan general flying sebanyak dua jam, ditemani instruktur Israel. Setelah itu, kami semua sudah boleh terbang solo. latihan kemudian dilanjutkan dengan pelajaran yang lebih tinggi tingkat kesulitannya. kali ini kami harus mampu mengoperasikan pesawat A-4 sebagai alat perang.
Selama di Eliat, walau terjadi berbagai macam masalah, namun tidak sampai mengganggu kelancaran latihan. Masalah utama tentunya bahasa, sebab tidak semua penerbang Israeli Air Force (IAF) bisa berbahasa Inggris, sedangkan kami tidak diajari berbahasa Ibrani secara detail. Masalah lain adalah telalu ketatnya pengawasan yang diberlakukan kepada para penerbang. Bahkan kami semua selalu dikawani satu flight pesawat tempur selama berlatih.
Pelajaran terbang yang efektif. Misalnya terbang formasi tidak perlu jam khusus tetapi digabung dengan latihan lain seperti saat terbang navigasi atau air to air sehingga dengan jam yang hanya diberikan sebanyak 20 jam/20 sorti, kami semua dapat mengoperasikan A-4 sebagai alutsista. Dalam siklus ini pula, aku pernah menembus sistem radar Suriah dengan instruktur ku.
Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam
Latihan terbang kami berakhir tanggal 20 Mei 1980 dengan dihadiri oleh beberapa pejabat militer Indonesia yang semuanya hadir dengan berpakaian sipil. Kami mendapat brevet penerbang tempur A-4 Skyhawk dari IAF. Rasanya bangga, oleh karena kami dididik penerbang paling jago di dunia. Namun kegembiraaan selesai pendidikan segera berubah sedih, oleh karena brevet dan ijasah langsung dibakar didepan mata kami oleh para perwira BIA yang bertindak sebagai perwira penghubung. kami dikumpulkan di depan mess dan barang-barang kami disita dan segera dibakar. Termasuk brevet, peta navigasi, catatan pelajaran selama di pangkalan ini. Mereka hanya berpesan, tidak ada bekas atau bukti kalau kalian pernah ke sini. Maka hapalkan saja di kepala, semua pelajaran yang pernah diperoleh.
Wing Day Di Amerika
Selesai pendidikan di Israel, kami tidak langsung pulang ke Indonesia, namun diterbangkan dulu ke New York. semalam di New York, kemudian diajak ke Buffalo Hill di dekat air terjun Niagara. Ternyata kami sengaja dikirim ke sana untuk bisa melupakan kenangan tentang Israel. Kami diberi uang saku yang cukup banyak menurut hitungan seorang Letnan Satu. Aku juga dibelikan kamera merek Olympus F-1 lengkap dengan filmnya dan diwajibkan mengambil foto-foto dan mengirim surat atau kartu pos ke Indonesia, untuk menguatkan alibi bahwa kami semua benar-benar menjalani pendidikan terbang di AS. Akhirnya selama ada objek yang menunjukkan tanda medan atau bau AS, pasti langsung dipakai sebagai background foto. Tidak terkecuali pintu gerbang hotel, nama toko bahkan sampai tong sampah bila ada tulisan United State of America pasti dijadikan sasaran foto.
Aku dibawa lagi ke New York, para penerbang kemudian diberikan program tur keliling AS selama dua minggu, mencoba tidur di sepuluh hotel yang berbeda dan mencoba semua sarana transportasi dari pesawat terbang hingga kapal. Di Yuma, Arizona, kami telah diskenariokan masuk latihan di pangkalan US Marine Corps (USMC), Yuma Air Station. Tiga hari dipangkalan tersebut, kami dibekali dengan pengetahuan penerbangan A-4 USMC, area latihan dan mengenal instrukturnya. Kami juga wajib berfoto, seakan-akan baru diwisuda sebagai penerbang A-4, skaligus menerima ijasah versi USMC. Ini sebagai penguat kamuflase intelijen, bahwa kami memang dididik di AS. Salah satu foto wajib adalah berfoto di depan pesawat-pesawat A-4 Skyhawk USMC.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal
Sebelum pulang ke tanah air, aku juga mendapat perintah untuk menghapalkan hasil-hasil pertandingan bulu tangkis All England. Tambahannya, aku juga diharapkan menghapal beberapa peristiwa penting yang terjadi di dunia, selama aku diisolasi di Israel. Pelajaran mengenai situasi dunia luar tersebut terus diberikan, meskipun kami sudah berada di perut pesawat Branif Airways dengan tujuan Singapura.
Sang Merpati Hinggap
Tanggal 4 Mei 1980, persis sehari sebelum pesawat C-5 Galaxy USAF mendarat di Lanud Iswahyudi, Madiun, mengangkut F-5 E/F Tiger II, paket A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat single seater dan dua double seater tiba di Tanjung Priok. Pesawat-pesawat tersebut diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel, dibalut memakai plastik pembungkus, cocoon berlabel F-5. Dengan demikian, seakan-akan satu paket proyek kiriman pesawat terbang namun diangkut dengan media transportasi berbeda.
Nantinya, ketika sudah kembali lagi di Madiun, kepada atasan pun kukatakan bahwa pelatihan A-4 di Amerika. Sebagai bukti kuperlihatkan setumpuk fotoku selama berada di Amerika. Ingin melihat foto New York, aku punya. Mau melihat foto Akademe AU di Colorado, aku punya. Karena percaya, atasanku di Wing-300 malah sempat berkata, “Saya kira tadinya kamu belajar A-4 di Israel, enggak tahunya malah di Amerika. Kalau begitu isu tersebut enggak benar ya?” Last but not least, gelombang demi gelombang pesawat A-4 akhirnya datang ke Indonesia setiap lima minggu, lalu semuanya lengkap sekitar bulan September 1980.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Berprestasi Tapi Harus Menutup Diri
Saat F-5 datang ke Indonesia, ternyata masih belum dilengkapi dengan persenjataan. Sedangkan A-4 justru sudah dipersenjatai dan langsung bisa digunakan dalam tugas-tugas operasional. Sehingga apa saja kegiatan TNI AU baik operasi maupun latihan selalu identik dengan F-5, walau kadang-kadang yang melakukannya adalah pesawat A-4.
A-4 tetaplah A-4 dan sama sekali bukan F-5. Kondisi serba rahasia bagi armada A-4 bertahan sampai perayaan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1980, dimana fly pass pesawat tempur ikut mewarnai acara tersebut. Pesawat A-4 tampil bersama-sama F-5 dimana untuk pertama kalinya pesawat A-4 dipublikasikan dalam event besar. Setelah ini, sedikit demi demi sedikit mulailah keberadaan A-4 dibuka secara jelas. Tidak ada lagi tabir yang sengaja dipakai untuk menutupi keberadaan pesawat A-4 di mata rakyat Indonesia”.
Mencari detail tentang operasi Alpha susahnya minta ampun, karena tidak ada penerbang yang berangkat ke Israel selain Djoko Poerwoko yang mau menceritakan pengalamannya. Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk beliau yang mau menceritakan pengalamannya di dalam 3 buku, walaupun mencari buku tersebut juga susahnya bukan main. Buku “My Home My Base” hanya untuk kalangan internal TNI AU, Buku “Fit Via Vi” yang merupakan otobiografi dari beliau juga merupakan cetakan untuk kalangan terbatas. Buku “Menari di Angkasa” adalah buku “Fit Via Vi” yang dicetak untuk umum, walaupun begitu tetep aja susah nyarinya. Bahkan di buku otobiografinya Benny Moerdani pun tidak dibahas sama sekali.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Kontroversi tentang pengungkapan pembelian A-4 dari Israel ke publik juga diungkap oleh beliau dalam bukunya, beliau menulis:
“Saat buku “My Home My Base” diluncurkan, ada polemik yang menyisakan kenangan, yaitu cerita tentang keterlibatan ke Israel untuk mengambil A-4 Skyhawk. Banyak orang mempertanyakan, mengapa aku mengumbar rahasia negara. Dengan singkat hanya kujawab, “Siap, saya sudah minta ijin KASAU dan beliau mengijinkan, karena kita sebagai prajurit tidak boleh selamanya membohongi rakyat. Maka mereka yang bertanya pun tidak lagi berkomentar. Memang, di dalam buku “My Home My Base” kutulis sedikit tentang perjalanan ke Israel untuk berlatih terbang A-4. Bukan untuk mencari sensasi, aku sudah menimbangnya masak-masak untung dan ruginya. Namun sebelumnya. tentu saja aku minta ijin KASAU sebagai salah satu senior A-4 dan pemimpin tertinggi Angkatan Udara. Beliau (pak Hanafie) ternyata mengizinkan, sehingga tulisan itu go ahead.” (R02)
bersambung…
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa