Oleh: Rendi Setiawan, Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) STAI Al-Fatah Cileungsi, Bogor
Siapakah yang tak ingin hidayah mengetuk hati orang yang dicintai? Orang tua, kerabat dekat, teman, tetangga, saudara seiman atau bahkan orang-orang di luar Islam.
Hidayah bisa melembutkan hati yang keras, menyabarkan hati tatkala ditimpa musibah, meredakan kemarahan, menjalin tali yang lama terpisah, menyatukan prinsip syariat, sehingga berjalan beriringan dalam satu jalan yang hak menuju shiratal mustaqim.
Hidayah itu akan tetap bersemanyam, manakala ada nasihat yang mengawalnya. Begitulah, saling menasihati dalam hal kebaikan dan kebenaran untuk mendatangkan hidayah Allah merupakan hal yang wajib bagi seorang muslim kepada saudaranya yang berbuat salah. Bagi yang diberikan nasihat sebaiknya menerima dengan ridha dan berterima kasih, dan yang memberikan nasihat dapat menyampaikan dengan baik sehingga tidak menyakiti saudaranya tersebut.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Mengenai nasihat ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَِلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ
Artinya: “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. Mereka (para sahabat) bertanya,”Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, Imam kaum Muslimin atau Mukminin, dan bagi kaum Muslimin pada umumnya.” (HR Muslim).
Kata “nasihat” berasal dari bahasa Arab. Diambil dari kata kerja “nashaha” (نَصَحَ), yang maknanya “khalasha” (خَلََصَ). Yaitu murni serta bersih dari segala kotoran. Bisa juga bermakna “khâtha” (خَاطَ), yaitu menjahit.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Imam Al Khaththabi menjelaskan arti kata “nashaha”, sebagaimana dinukil oleh Imam An Nawawi, dikatakan bahwa “nashaha” diambil dari “nashahar-rajulu tsaubahu” (نَصَحَ الرَّجُلُ ثَوْبَهُ) apabila dia menjahitnya. Maka mereka mengumpamakan perbuatan penasihat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya, dengan usaha seseorang memperbaiki pakaiannya yang robek.
Imam Ibnu Rajab menukil ucapan Imam Al-Khaththabi menerangkan bahwa nasihat ialah kata yang menjelaskan sejumlah hal. Yaitu menginginkan kebaikan pada orang yang diberi nasihat. Hal ini juga dikemukakan oleh Ibnul-Atsîr. Singkatnya, nasihat adalah kata yang dipakai untuk mengungkapkan keinginan memberikan kebaikan pada orang yang diberi nasihat.
Pada umumnya banyak manusia yang tidak mau dipersalahkan dan bisa jadi tidak mau dinasihati. Apalagi jika nasihat tersebut disampaikan kepadanya dengan cara yang tidak baik atau kurang tepat. Baik situasi maupun waktunya, yang justru bukan menerimanya malah membuat pertengkaran.
Maka, untuk menghindari hal tersebut, Islam sudah mengajarkan bagaimana metode yang paling baik untuk memberi nasihat kepada orang lain. Yaitu dengan memberi nasihat kepada orang lain secara rahasia, hanya pemberi nasihat dan yang diberi nasihat dan Allah-lah saja yang tahu.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Imam Ibnu Hibban pernah mengatakan bahwa nasihat itu merupakan kewajiban manusia semuanya, sebagaimana telah disebutkan para ulama salaf. Namun, dalam teknik penyampaiannya haruslah secara rahasia. Tidak boleh tidak, karena barangsiapa yang menasihati saudaranya di hadapan orang banyak itu berarti dia telah mencelanya. Dan barangsiapa yang menasihati secara rahasia, maka sesungguhnya ia telah memperbaikinya. Sesungguhnya penyampaian dengan penuh perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar kemungkinannya untuk diterima dibandingkan dengan maksud mencelanya.
Dalam literatur Islam, kita mengenal sahabat mulia Umar bin Al Khattab. Nama yang tak asing di telinga masyarakat muslim di Indonesia. Ia termasuk salah satu tokoh yang sangat ditakuti di kalangan suku Quraisy. Tak disangka, Umar mendapat hidayah dari Allah setelah mendengar adik kandung yang amat disayanginya sedang belajar membaca Al Quran bersama suaminya. Padahal beberapa waktu sebelum kejadian itu, Umar sangat memusuhi Islam.
Tentang hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berdoa kepada Allah untuk memuliakan Islam dengan salah satu di antara dua Umar yaitu Umar bin Al Khattab dan Umar bin Hisyam (Abu Jahl). Namun hidayah Allah lebih menuntun Umar bin Al Khattab untuk mendalami ajaran Islam.
Selain Umar, kita juga mengenal Salman Al Farisi. Dahulunya adalah seorang Majusi kemudian mendapatkan hidayah tatkala melihat orang muslim yang sedang shalat di gereja. Dan banyak dari kaum muslimin di zaman Nabi yang berbondong-bondong masuk Islam tidak lain karena mulianya dakwah Salman yang terkenal santun meskipun berasal dari Majusi.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Kemudian juga ada Al Fudhail bin Iyadh yang kita kenal sebagai seorang ulama yang shalih, faqih, alim, tawadhu dan tokoh teladan bagi umat. Siapa sangka dahulunya adalah seorang perampok jalanan yang banyak ditakuti orang. Lalu beliau terketuk hatinya dan mendapat hidayah tatkala mendengar percakapan dua saudagar yang tengah takut kepadanya.
Dari tiga kisah di atas yang penulis uraikan memang tak secara eksplisit menyinggung soal nasehat. Tetapi pada dasarnya, hati manusia itu lembut. Untuk menyentuh lembutnya hati seseorang itu harus dengan tangan yang lembut pula, dalam hal ini nasehat yang baik dan dilakukan secara bijak.
Dari Imam Ibnu Rajab, Al Fudhail bin Iyadh berkata, seorang mu’min menutup (aib saudaranya) dan menasehatinya sedangkan seorang fajir (pelaku maksiat) membocorkan (aib saudaranya).
Demikian apa yang telah disampaikan oleh Al Fudhail bin Iyadh, ucapan yang mengandung nasihat itu adalah disampaikan secara rahasia. Sedangkan menjelek-jelekkan itu ditandai dengan penyiaran. Sebagaimana dikatakan, barangsiapa yang mengingatkan saudaranya di tengah-tengah orang banyak, maka ia telah menjelek-jelekkannya.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Menutup tulisan singkat ini, ada sebuah syair yang dinisbahkan kepada Imam As Syafii:
“Hendaklah engkau sengaja mendatangiku untuk memberi nasihat ketika aku sendirian. Hindarilah memberikan nasihat kepadaku di tengah khalayak ramai, karena sesungguhnya memberikan nasihat di hadapan banyak orang, sama saja dengan memburuk-burukkan. Saya tidak suka mendengarnya. Jika engkau menyalahi saya dan tidak mengikuti ucapanku, maka janganlah engkau kaget apabila nasihatmu tidak ditaati.” (A/R06/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat