﷽
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (النحل [١٦]: ٩٧)
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl [16]: 97).
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud amal shaleh adalah perbuatan yang sesuai dengan ajaran Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wasalam. Dengan manusia melaksanakan amal shaleh yang menjadi kewajibannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan memberi reward (ganjaran) berupa kehidupan yang baik, yakni kemudahan dan keberkahan di dunia dan di akhirat mendapat imbalan tiada terkira berupa surga.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas menggambarkan secara jelas bahwa Islam adalah ajaran yang mengutamakan dan mendahulukan pelaksanaan dan pemenuhan kewajiban. Setelah kewajiban itu ditunaikan, barulah kemudian seseorang menerima dan mendapatkan haknya sebagai balasan dari amal perbuatannya tersebut.
Islam tidak mengajarkan pemeluknya menuntut hak kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terlebih dahulu sebelum ia menunaikan kewajibannya. Karena setiap orang yang melaksanakan kewajiban, cepat atau lambat, baik langsung maupun tidak langsung, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memenuhi apa yang menjadi hak-haknya.
Hak Asasi Manusia dalam Islam
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Beberapa ayat Al-Quran membahas tentang Hak Asasi Manusia (HAM), seperti pada Q.S Al-Ma’idah [5]: 32, yang membahas tentang hak hidup, kemudian dalam Q.S Adz-Dzariyat [51]: 19, yang membahas tentang hak untuk memperoleh kebutuhan hidup dan hak ekonomi. Persamaan hak dan kedudukan di hadapan hukum yaitu terdapat dalam Q.S An-Nisa [4]: 1, dan masih banyak lagi ayat-ayat yang membahas tentang HAM.
Cendikiawan Muslim Almarhum Prof. Dr. Mukti Ali, dalam bukunya berjudul “Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini” mengatakan, bahwa agama Islam sangat cocok dengan kodrat dan fitrah manusia untuk mempertahankan eksistensinya. Hal ini dikarenakan agama Islam sangat menjunjung tinggi, menjamin dan melindungi HAM.
Islam juga mengajarkan keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial. Akan tetapi, dalam memenuhi hak individu, ada hal yang harus diperhatikan yaitu tidak boleh melanggar dan merugikan kepentingan sosial (masyarakat).
Inti dari ajaran Islam (maqashidus syar’iyah) adalah melindungi lima hal yang menjadi hak asasi manusia; Pertama, menjaga agama. Tanpa agama manusia akan hidup seperti hewan yang hanya memenuhi nafsu dan kebutuhan jasmaninya saja. Agama lah yang membimbing manusia untuk mengatur kehidupan, bukan sekadar lahiriyah individu saja, tetapi kehidupan sosial bermasyarakat dan akhirat.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Kedua, menjaga akal. Islam-lah yang sungguh-sungguh melindungi akal dari semua hal yang bisa merusaknya, baik itu melalui makanan, minuman, hiburan, dan aktivitas yang merugikan dan merusak kehidupan (haram).
Ketiga, menjaga harta. Islam mengakui hak kepemilikan individu tetapi bukan menjadi kapitalis, Islam juga menganjurkan untuk berjiwa sosial tapi bukan sosialis, Islam adalah agama pertengahan yang mengakui hak-hak individu, juga menganjurkan hidup bersosial.
Keempat, menjaga kehormatan. Islam mengajarkan manusia menjaga dan kehormatan dirinya agar tidak jatuh kepada derajat seperti binatang yang hanya memenuhi nafsunya saja. Dengan ketakwaan dengan ketaatan dengan kebajikan-kebajikan, kemuliaan manusia akan terjaga.
Kelima, menjaga keturunan. Islam hanya memperbolehkan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bersifat halal sehingga mampu menjaga keturunan yang jelas di masyarakat. Bahkan dalam Islam ada hak harta keturunan dalam kewarisan.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Kemanusiaan dalam Islam adalah tidak hanya sebatas akal budi, namun adanya konsep mendasar dalam agama atau bahwa manusia adalah mahluk ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki segenap kewajiban yang harus ditunaikan dan dijanjikan mendapat balasan sebagai haknya apabila kewajiban itu ditunaikan.
Perbedaan Konsep HAM Islam dan Barat
Konsep HAM dalam Islam berbeda dengan konsep HAM Barat. Pakar hukum Indonesia, Prof Abdul Majid dalam bukunya “Hak Asasi Manusia dan Demokrasi dalam Islam” mengatakan, HAM menurut pandangan Islam bersifat theosentris, artinya segala sesuatu berpusat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Tuhan. Dengan demikian Tuhan sangat dipentingkan sebagai tempat mengabdi. Sedangkan HAM menurut pandangan Barat bersifat anthroposentris artinya segala sesuatu berpusat kepada kepentingan dan kebebasan manusia.
Dalam konsep theosentris itu. Al-Quran sebagai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi tolak ukur segala sesuatu. Sedangkan manusia dipandang sebagai makhluk ciptaan Allah yang berkewajiban mengabdi kepada-Nya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Makna theosentris adalah manusia harus meyakini ajaran pokok Islam yang dirumuskan pada dua kalimat syahadat, yakni pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Setelah itu manusia baru melakukan perbuatan-perbuatan baik menurut keyakinan tersebut.
Sementara dalam konsep anthroposentris, kepentingan dan kebebasan manusia yang menjadi tolak ukur, dan ada korelasi dengan pengabdian kepada Tuhan. Demokrasi, kebebasan berpendapat dan kesejahteraan universal menjadi metode dan tujuan dari konsep tersebut.
Di sinilah letak perbedaan yang fundamental antara kedua kutub tersebut yang selama ini menjadi diskursus di kalangan para akademisi. Karenanya, nilai-nilai HAM ala Barat tidak bisa dipaksakan untuk diterapkan di tengah-tengah umat Islam karena berbeda dasar, orientasi, metode dan tujuannya. Namun, kedua konsep itu tidak perlu dipertentangkan.
Keseimbangan Hak dan Kewajiban dalam Kehidupan Berbangsa
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa diatur dalam dasar negara Indonesia yaitu Pancasila. Kelima silanya memuat penghargaan yang sangat tinggi terhadap hak dan kewajiban asasi manusia. Salah satunya dalam sila ke-1 yang menjamin hak kemerdekaan untuk memeluk agama, melaksanakan ibadah, dan kewajiban untuk menghormati perbedaan agama. Adapun secara rinci, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memuat pasal-pasalnya.
Prinsip keadilan dan keseimbangan menjadi dasar dalam kehidupan berbangsa, setidaknya tercermin dalam kehidupan keluarga. Dalam lingkup yang lebih besar, hal itu harus ada dalam perangkat hukum, kehidupan ekonomi, kerja sama antar masyarakat, pembangunan sosial dan hubungan internasional.
Hak asasi diseimbangkan dengan adanya kewajiban asasi. Kewajiban asasi maksudnya adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, maka HAM tidak mungkin terlaksana dan ditegakkan. Keseimbangan antara hak dan kewajiban mengandung arti bahwa di samping menuntut dan melaksanakan hak, seseorang harus juga mengutamakan kewajiban.
Pelaksanaan hak dan kewajiban yang seimbang dan bertanggung jawab diperlukan agar terciptanya kehidupan bernegara yang harmonis dan sejahtera. Jika masyarakat dapat menjalankan keduanya dengan seimbang, maka akan tercipta suasana rukun, aman dan tentram.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Pemerintah yang telah menarik pajak dari rakyat haruslah memberi pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai penyangga anggaran pendapatan negara dan perekonomian nasional haruslah dikelola dengan profesional sehingga keuntungannya dapat dipergunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Pemerintah juga tidak boleh antikritik. Di alam demokrasi, kritik, dan demonstrasi adalah hal yang wajar. Kritik bisa sebagai bahan evaluasi kinerja pemerintah, selanjutnya bisa menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan-kebijakan selanjutnya.
Dalam dunia pendidikan, setiap anak Indonesia berhak mendapatkan pendidikan. Di sisi lain, pemerintah sebagai penyelenggara wajib memberikan pendidikan dan pelayanan kepada setiap warga negara dengan sebaik-bainya, minimalnya dengan pendidikan dasar.
Hari ini kita masih menyaksikan, tidak sedikit anak-anak terlantar, mengamen dan meminta-minta di pinggir jalan, atau mereka harus berjibaku dengan pekerjaan demi memenuhi kebutuhan makan sehingga tidak sempat mengenyam pendidikan.
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Sebaliknya, sebagai warga negara, tidaklah etis jika menuntut hak lebih banyak daripada menjalankan kewajiban. Jika ingin mendapatkan hak yang sesuai, maka sebagai warga negara kita harus melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu.
Setiap warga negara berhak menjalankan agama dan keyakinan yang dianut, mendapatkan keadilan yang sama di mata hukum, menyampaikan pendapat di muka umum, mengakses layanan publik, merasakan manfaat dari pembangunan dan lainnya. Namun, sebagai warga negara pun memiliki kewajiban untuk mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ikut menjaga dan memelihara keamanan, ketertiban, sarana dan prasarana umum.
Jika hak merupakan suatu yang diperoleh dan bisa dituntut apabila seseorang sudah melaksanakan kewajibannya, maka, pemenuhan kewajiban haruslah didahulukan sebelum menuntut hak.
Namun, dalam beberapa kondisi tertentu, kita bisa mendapatkan hak kita terlebih dahulu sebelum melakukan kewajiban. Walaupun hal ini jarang terjadi, tetapi dalam beberapa hal, hal itu lazim dilakukan.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat
Contohnya ketika berobat ke dokter, kita berkonsultasi dengan dokter sebagai bentuk hak. Setelah itu kita harus membayar biayanya sebagai bentuk kewajiban. Atau ketika sedang makan di restoran, biasanya pembeli dilayani terlebih dahulu, barulah ia membayar setelah selesai makan. Wallahu a’lam bishawab. (A-Imaam/P2/P1)
Mi’raj New Agency (MINA)
Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan