Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mendidik Anak di Ambang Fitnah Akhir Zaman

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - Kamis, 12 Juni 2025 - 07:42 WIB

Kamis, 12 Juni 2025 - 07:42 WIB

23 Views

ilustrasi

DI TENGAH hiruk-pikuk dunia yang makin menggila, di saat batas antara kebaikan dan keburukan menjadi kabur, mendidik anak bukan sekadar perkara teknis, bukan pula hanya soal kurikulum atau gaya parenting, tapi lebih dari itu: sebuah perjuangan suci yang penuh darah dan air mata.

Kita hidup di zaman yang oleh Nabi Muhammad SAW digambarkan sebagai zaman penuh fitnah. Dan anak-anak kita, generasi penerus yang seharusnya menjadi cahaya, kini dikepung gelap dari segala penjuru. Ini bukan sekadar tantangan biasa. Ini adalah medan pertempuran antara keimanan dan kekufuran, antara cahaya dan kegelapan.

Siapa yang menyangka bahwa rumah, yang seharusnya menjadi benteng, kadang menjadi jalan masuk fitnah paling ganas? Televisi yang dulu dianggap hiburan, kini menjadi senapan fitnah yang menembakkan racun ke hati anak-anak kita. Gawai yang digenggam anak-anak kita siang malam, tak ubahnya seperti pedang bermata dua—mengandung manfaat tapi juga menjadi pintu masuk bisikan setan. Dunia maya lebih banyak merampas ketulusan anak-anak kita, mengajar mereka budaya instant, kekerasan, hedonisme, dan pergaulan bebas, ketimbang membimbing mereka pada ilmu dan akhlak.

Orang tua yang abai akan mengira semua baik-baik saja. Mereka menepuk dada bangga melihat anaknya melek teknologi, padahal di balik layar itu ada penjajahan gaya baru yang menghancurkan aqidah, moral, dan arah hidup mereka. Anak-anak yang dulu ringan langkah menuju masjid, kini lebih betah duduk berjam-jam bermain gim atau menyaksikan konten kosong. Mereka tak lagi kenal suara adzan, apalagi rindu shalat berjamaah. Mereka tahu nama artis K-pop, tapi tak tahu siapa Abu Bakar dan Umar. Mereka fasih menyebut tokoh animasi, tapi gagap ketika ditanya siapa itu Nabi Muhammad ﷺ.

Baca Juga: 61% Santri Al-Fatah Lampung Diterima di Perguruan Tinggi, Berbekal Jiwa Pesantren

Ini bukan salah anak-anak. Mereka adalah cermin dari siapa kita sebagai orang tua. Di tangan kitalah mereka dibentuk, dibina, atau malah dibiarkan. Di tangan kitalah mereka mendapat teladan, atau malah kehilangan arah. Jika kita sendiri lebih sibuk dengan dunia, bagaimana bisa anak-anak kita mencintai akhirat? Jika kita tak menghidupkan Al-Qur’an di rumah, dari mana mereka belajar mencintai Kalamullah? Jika kita tak pernah berdoa dengan sungguh-sungguh untuk kebaikan mereka, bagaimana mungkin mereka tumbuh menjadi anak-anak yang shalih?

Nabi Muhammad ﷺ bersabda bahwa akan datang fitnah seperti potongan malam yang gelap. Dalam keadaan seperti itu, seseorang bisa beriman di pagi hari dan kafir di sore hari. Maka apa kabar anak-anak kita yang belum dewasa iman dan akalnya? Apa kabar anak-anak yang setiap hari dijejali oleh media, oleh teman-teman sekolah yang membawa nilai-nilai bebas, oleh sistem pendidikan yang kadang tak berpihak pada moral dan aqidah?

Kita sedang hidup di era di mana musuh-musuh Islam tidak lagi menyerang dengan senjata, tapi dengan ideologi. Mereka meracuni pikiran anak-anak kita dengan konten liberal, feminisme ekstrem, atheisme terselubung, dan kehidupan bebas. Mereka menggiring opini bahwa semua agama sama, bahwa semua pilihan hidup harus diterima, bahwa kebebasan adalah nilai tertinggi—bahkan jika kebebasan itu menjauhkan anak-anak kita dari Rabb mereka.

Di tengah kondisi seperti ini, apakah kita masih bisa tidur nyenyak? Apakah kita tak merasa bersalah ketika anak kita lebih hafal lagu-lagu dunia daripada ayat-ayat suci? Apakah kita tak merasa hancur ketika mendapati anak-anak kita malu mengaku Muslim di depan teman-temannya karena takut disebut kolot?

Baca Juga: Integritas Fondasi Utama bagi Dosen dan Guru

Kita harus menangis. Bukan hanya menangis sedih, tapi menangis sadar. Menangis karena kita terbangun dari kelalaian. Menangis karena kita ingin berubah. Menangis karena kita ingin menyelamatkan anak-anak kita dari lautan fitnah yang bisa menenggelamkan mereka sebelum mereka tahu cara berenang.

Mendidik anak di zaman ini tak cukup hanya dengan menyekolahkan mereka di sekolah Islam. Tak cukup hanya dengan menyuruh mereka shalat. Tak cukup hanya dengan membelikan mereka buku agama. Kita harus hadir dalam jiwa mereka. Kita harus menjadi figur yang hidup, bukan hanya ayah atau ibu biologis, tapi guru ruhani, penuntun jalan, penjaga benteng keimanan mereka.

Kita harus membanjiri rumah dengan dzikir dan Al-Qur’an. Kita harus menjadikan rumah sebagai madrasah pertama yang lebih kuat dari sekolah mana pun. Kita harus memperkuat hubungan hati dengan anak-anak, agar mereka tahu bahwa dalam dunia yang kejam ini, ada tempat pulang yang penuh cinta dan iman. Kita harus ajarkan mereka mencintai Nabi, menangis saat mendengar kisah para sahabat, bergetar ketika membaca ayat-ayat azab dan janji surga. Kita harus hidupkan ruh mereka sebelum ruh itu direnggut oleh dunia.

Maka wahai ayah, wahai ibu, jangan tunggu besok. Mulailah hari ini. Berbicaralah dengan anakmu dari hati ke hati. Dekap mereka dengan doa. Bacakan ayat-ayat Allah untuk mereka. Ajak mereka berfikir tentang kematian, tentang akhirat, tentang arti hidup yang sejati. Jangan jadikan rumahmu kosong dari shalat malam, karena anak-anak yang melihat orang tuanya bangun malam, akan tumbuh dalam cinta dan taqwa. Jangan biarkan satu hari pun berlalu tanpa engkau menyebut nama mereka dalam doa panjangmu.

Baca Juga: An-Nuaimy Lepas 33 Dai Nusantara dan Luncurkan STIT: Dakwah Tak Boleh Menyendiri

Jangan takut jika orang-orang mengatakan engkau terlalu ketat. Dunia ini terlalu longgar untuk membiarkan anak-anak kita tumbuh tanpa batas. Jangan malu jika engkau memakaikan jilbab syar’i sejak kecil pada anak perempuanmu. Jangan ragu untuk mengajarkan anak laki-lakimu mencintai masjid, berani berkata benar, dan menjauhi maksiat. Lebih baik mereka menangis karena dibatasi sekarang, daripada engkau menangis melihat mereka hanyut di kemudian hari.

Ingatlah, anak-anak kita bukan hanya titipan. Mereka adalah amanah, dan amanah akan dipertanyakan. Suatu saat, Allah akan bertanya, “Apa yang engkau ajarkan pada anak-anakmu? Apakah engkau bimbing mereka pada jalan-Ku? Ataukah engkau biarkan mereka dibesarkan oleh dunia?”

Tak akan ada pembelaan saat itu. Semua akan terlihat jelas. Dan satu-satunya yang akan menyelamatkan kita adalah kesungguhan kita mendidik mereka hari ini.

Wahai orang tua, bangkitlah. Dunia ini bukan tempat bermain. Ini adalah ladang perjuangan. Dan anak-anak kita adalah generasi akhir zaman yang harus lebih kuat dari kita, lebih tangguh dalam iman, lebih kokoh dalam tauhid. Jangan biarkan mereka tumbuh dalam kabut kebingungan. Jadikan mereka pemuda seperti Ashabul Kahfi, bukan seperti para pengikut Dajjal.

Baca Juga: Dapat Biaya Hidup, Pendaftaran Program Magang Berdampak 2025 Sudah Dibuka

Mendidik anak di ambang fitnah akhir zaman adalah jihad kita. Jihad yang tak terlihat tapi beratnya melebihi pertempuran fisik. Jihad yang akan menjadi saksi di hari hisab. Jika kita menang, pahala terus mengalir bahkan setelah kita mati. Tapi jika kita kalah, maka bukan hanya kita yang menanggung derita, tapi generasi yang akan datang pun akan mewarisi kehancuran.

Mari mulai dari rumah kita sendiri. Mari selamatkan anak-anak kita, satu demi satu, hari demi hari, dengan cinta, ilmu, dan doa yang tak pernah putus. Karena dunia bisa runtuh, tapi anak-anak yang beriman adalah warisan yang akan tetap hidup—bahkan setelah kita tiada.[]

Baca Juga: 325 Mahasiswa Penerima Beasiswa Garuda Lanjutkan Studi ke Mancanegara

Rekomendasi untuk Anda