Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَٰنُ لِٱبْنِهِۦ وَهُوَ يَعِظُهُۥ يَٰبُنَىَّ لَا تُشْرِكْ بِٱللَّهِ ۖ إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (لقمن [٣١]: ١٣)
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman [31]: 13)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di Rahimahullah menjelaskan ayat di atas, beliau menyatakan, nasihat adalah perintah dan larangan yang disertai dengan targib (dorongan) dan tarhib (peringatan).
Dalam konteks pendidikan, targhib digunakan untuk memberikan dorongan (motivasi) positif kepada seseorang agar melakukan kebaikan dan amal shaleh. Dorongan tersebut bisa berupa janji-janji tentang kenikmatan surga dan pahala yang besar bagi mereka yang taat kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan perintah-perintah-Nya.
Sebaliknya, tarhib (peringatan) digunakan untuk memberikan rambu-rambu dan ancaman tentang konsekuensi negatif dari perbuatan dosa dan maksiat. Hal itu termasuk ancaman tentang siksa neraka dan hukuman berat bagi mereka yang melanggar perintah-perintah Allah Ta’ala.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Ayat di atas menunjukkan bagaimana kisah Luqman (hidup pada zaman Nabi Daud Alaihi Salam), seorang ahli hikmah (Al-Hakim) yang bijaksana memberi nasihat kepada putranya dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Kata يَٰبُنَىَّ merupakan bentuk panggilan khusus penuh perhatian dan kasih sayang, sebagaimana seorang ayah memanggil putra kandungnya yang sangat ia sayangi.
Siapa Lukmanul Hakim?
Ibnu Katsir Rahimahullah menyatakan, Lukman berasal dari budak berkulit hitam, kelahiran Nubah (Sudan) yang suatu hari ditangkap dan dijual sebagai budak di wilayah Baitul Maqdis, Palestina.
Salah satu keistimewaan Lukman adalah, ketika Lukman tidur siang di bawah pohon, malaikat datang padanya dan menawarkan pilihan hadiah dari Allah Ta’ala. Sang malaikat bertanya, “Mana yang akan kamu pilih, menjadi raja atau menjadi orang yang penuh kebijaksanaan dan kecerdasan?” Lukman menjawab dirinya lebih memilih kebijaksanaan dan kecerdasan.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Setelah terbangun dari tidur, Luqman merasakan indranya semakin tajam dan pemikirannya semakin jernih. Ia bisa merasakan kedamaian karena dia bisa memahami alam dan makna di balik kehidupan.
Kisah lainnya, sang tuan meminta Lukman untuk menyembelih domba dan mengambil bagian terbaik sekaligus terburuk dari daging domba. Kemudian ia menunaikan permintaan tuannya dan membawakan bagian hati dan lidah.
Tuannya bertanya, bagaimana bisa hati dan lidah adalah bagian terbaik sekaligus terburuk. Lukman menjawab, “Karena hati dan lidah merupakan bagian terbaik jika pemiliknya berjiwa mulia, lidah dan hati juga sekaligus merupakan bagian terburuk jika pemiliknya berjiwa jahat.” Sang tuan terkagum akan jawaban Lukman dan kemudian memerdekakannya.
Kisah LuKmanul Hakim dalam Al-Quran menjadi bukti bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membeda-bedakan hamba-Nya berdasarkan warna kulit. Tetapi karena ketakwaan dan kemuliaan akhlaknya.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa dalam mendidik seseorang, pendekatan dan panggilan (sapaan) yang lembut dan penuh kasih akan lebih efektif pada diri anak, dibandingkan dengan pendekatan yang keras lagi kasar.
Imam Al-Ghazali Rahimahullah dalam kitab Ihya Ulumiddin menjelaskan bahwa hati anak-anak seperti kertas kosong yang siap menerima segala bentuk tulisan. Beliau menekankan pentingnya pembiasaan kebaikan sejak dini dalam kehidupan sehari-hari dengan menjadi contoh yang baik kepada anak-anak.
Pendidikan yang penuh kasih sayang akan membuat anak merasa dihargai dan dicintai. Dengan demikian, mereka akan tumbuh menjadi individu yang berakhlak mulia (karakter yang baik), mampu menghargai orang lain, dan merasa senang hati melakukan tugas-tugas yang diberikan kepadanya (tanggung jawab).
Unsur-unsur penting dalam pendidikan sebagaimana ayat di atas adalah: dengan cinta, kasih sayang, kelembutan, perhatian khusus, sapaan yang menyenangkan, membimbing terus-menerus serta keinginan yang tulus kepada anak didik agar mereka selamat dan bahagia dunia akhirat.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Teladan Rasulullah dalam Pendidikan
Anak adalah amanah bagi orangtuanya. Para siswa, murid dan santri adalah amanah bagi para guru, ustaz dan kiyai ketika berada di sekolah, madrasah dan pesantren. Sementara bagi para tokoh dan pemimpin dalam berbagai tingkatan, warga masyarakat adalah amanah bagi mereka untuk dibimbing menuju kemuliaan dan kebahagiaan. Maka, mendidik mereka merupakan amanah yang mulia.
Kesuksesan anak-anak menjadi generasi terbaik (khaira ummah) hakikatnya merupakan kesuksesan bagi orang tua, guru, para guru (ustaz) yang mendidiknya, serta para pemimpin. Demikian pula sebaliknya, kegagalan mendidik generasi muda hakikatnya juga merupakan kegagalan mereka juga.
Dalam mendidik umat, terutama generasi muda, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam merupakan contoh teladan paling ideal dalam segala hal. Banyak kisah-kisah pada perjalanan hidup beliau yang bisa dijadikan referensi dalam mendidik generasi muda.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Sebuah hadits dari sahabat Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamy Radhiallahu anhu, ia bercerita bahwa ketika sedang shalat bersama Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam, ada seseorang yang bersin. Lalu aku mengucap “Yarhamukallah.” Lalu beberapa melihat dan memukulku, menyuruh supaya aku diam.
Setelah selesai shalat, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam tidak membentakku, memukulku, apalagi menghardikku. Maka aku berkata:
مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ (رواه مسلم)
“…, aku belum pernah menemui seorang pengajar sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya dari beliau (Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi Wasallam) ,…” (HR Muslim)
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Sebagai seorang pendidik, dikaruniai sifat-sifat mulia yang dapat menjadi teladan bagi para guru, orang tua dan siapa pun yang berkiprah dalam dunia pendidikan.
Pertama, mencurahkan kasih sayang dan perhatian.
Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam selalu menunjukkan kasih sayang dan perhatian kepada para sahabatnya, terutama kepada anak-anak. Beliau sering bermain dan bercanda dengan mereka, yang membuat anak-anak merasa dihargai dan dicintai.
Dalam sebuah hadits, beliau bersabda,
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا (روه الترمذى)
“Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi anak kecil.” (HR. At-Tirmidzi)
Sahabat yang masih belia, Anas bin Malik Radhiallahu anhu menceritakan tentang bagaimana Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam mencurahkan perhatiannya kepada anak-anak. Beliau menggunakan berbagai cara untuk menggembirakan dan menyenangkan anak kecil, sembari melatih mereka untuk terbiasa berbicara dengan orang yang lebih dewasa.
Kedua, bersikap lembut kepada anak.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Ibunda Aisyah Radhiallahu anha meriwayatkan, bahwa suatu ketika, seorang sahabiyah (sahabat wanita) bernama Ummu Farqad Al-Ajali membawa putranya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam supaya didoakan keberkahan dan diberi nama. Kemudian beliau memangku anak tersebut.
Tiba-tiba anak itu kencing di pangkuan Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam, kemudian orang-orang yang melihatnya berteriak. Nabi Shallallahu alaihi Wasallam bersabda, “Jangan diputuskan anak yang sedang kencing, biarkanlah dia sampai selesai dahulu kencingnya.”
Nabi Muhammad Shallallahu alaihi Wasallam kemudian berdoa dan memberi nama dan membisiki orang tua anak itu, supaya jangan mempunyai perasaan bahwa Rasulullah tidak senang terkena air kencing anaknya. Ketika mereka telah pergi, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam mencuci sendiri pakaian yang terkena kencing anak tadi.
Ketiga, bersikap adil dan tidak membeda-bedakan.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Dalam sebuah riwayat, suatu ketika Nu’man bin Basyir ayah Radhiallahu anhu bercerita bahwa ayahnya memberikan sebagian hartanya kepadanya. Karena Ibunda Nu’man, ‘Amrah binti Rawahah merasa tidak puas, kemudian ayah Nu’man mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam dan menceritakan tentang apa yang diberikannya kepada Nu’man.
Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam kemudian bertanya kepadanya perihal anak-anak lainnya, apakah mereka juga mendapatkan bagian harta. Ayah Nu’man menjawab. “Tidak.” Maka Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam menyuruh ayah Nu’man berbuat adil kepada semua anak-anaknya. Jika yang satu dapat, maka yang lainnya juga harus mendapatkan hal yang seimbang.
Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam bersabda kepada ayah Nu’man,” Jangan beda-bedakan soal pemberian untuk anak-anakmu.” Kemudian Nu’man bin Basyir berkata, “Akhirnya ayahku menarik kembali pemberiannya itu dariku.”
Keempat, memberi nasihat bijaksana.
Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam dikenal sebagai sosok yang bijaksana dalam memberikan nasihat, terutama kepada anak-anak. Beliau senantiasa memilih waktu dan cara yang tepat untuk menyampaikan nasihatnya, sehingga mereka dapat menerima dan memahami dengan baik.
Sebelum memberi nasihat, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam terlebih dulu menciptakan suasana santai dan ceria sehingga anak-anak hatinya terbuka dan bisa menerima nasihat yang diberikan kepadanya.
Dalam riwayat lainnya, dari Al-Bukhari dan Muslim, bersumber dari sahabat Umar bin Abi Salamah Radhiallahu anhu, ia berkata, “Aku masih anak-anak ketika berada dalam pengawasan Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam. Tanganku bergerak ke sana-kemari di nampan makanan. Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam kemudian bersabda kepada semua anak, “Ucapkanlah basmalah, makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah apa yang ada di hadapanmu.” Sejak itu, aku selalu makan seperti yang beliau sampaikan.
Dr Muhammad Nur Abdullah Hafizh Suwaid dalam bukunya, “Prophetic Parenting, Cara Nabi SAW Mendidik Anak,” mengatakan, ada tiga waktu dan tempat yang digunakan Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam ketika memberi nasihat kepada anak-anak, yaitu: saat dalam perjalanan, waktu makan, dan saat anak sakit.
Kelima, menghargai dan mendengarkan.
Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam adalah sosok yang menghargai pendapat anak-anak dan mendengarkan mereka dengan penuh perhatian. Hal itu membantu anak-anak merasa dihargai dan meningkatkan rasa percaya diri mereka.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam pernah mendengarkan pendapat seorang anak kecil bernama Abdullah bin Umar Radhiallahu anhuma. Ia berkata: “Aku bermimpi seolah-olah ada dua malaikat yang membawaku ke neraka.” Lalu aku menceritakan mimpi itu kepada Hafshah, dan Hafshah menceritakannya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam.Kemudian beliau bersabda, “Abdullah adalah anak yang baik, seandainya ia memperbanyak shalat malam.” Abdullah bin Umar Radhiallahu anhuma kemudian berkata, “Sejak mendengar sabda Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam tersebut, saya tidak pernah meninggalkan shalat malam.” (HR. Muslim).
Kisah tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam menghargai, mendengarkan dan memberikan nasihat berdasarkan pendapat dan pengalaman anak-anak, sekaligus memberi motivasi kepada Abdullah bin Umar Radhiallahu anhuma agar giat melaksanakan amal ibadah dan amal shaleh.
Keenam, menghindarkan mereka dari tugas-tugas yang berhubungan dengan kekerasan fisik.
Usia anak tidak seharusnya disuguhkan aksi-aksi kekuatan dan kekerasan fisik karena fisiknya belum mendukung untuk melakukannya. Selain itu, mereka akan mudah meniru dan mempraktikkannya kepada orang lain.
Secara psikologi, ada batas-batas usia tertentu bagi seorang anak sehingga dirinya mampu menentukan apa saja hal-hal yang pantas dilakukan dan tidak seharusnya dilakukan.
Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam tidak melibatkan anak-anak dalam peperangan karena di dalamnya pasti terjadi kekerasan fisik. Syariat Islam mengatur bahwa anak-anak dilarang untuk ikut serta dalam perang, apalagi menjadi korban perang.
Ketika Perang Uhud, Ibnu Umar Radhiallahu anhuma dibawa ke hadapan Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam. Saat itu, ia berumur 14 tahun. Maka, Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam tidak mengizinkannya untuk ikut serta dalam peperangan.
Kemudian ia dibawa lagi ke hadapan Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam pada Perang Khandaq, dan pada saat itu dia berumur 15 tahun. Maka beliau Shallallahu alaihi Wasallam pun mengizinkannya ikut serta dalam peperangan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam kisah lainnya disebutkan dalam hadits riwayat Ibn Jarir Radhiallahu anhu, bahwa dalam suatu peperangan, ada seorang dari pasukan kaum Muslimin yang membunuh anak-anak. Ketika berita itu didengar Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam, beliau sangat marah.
“Kenapa mereka membunuh anak-anak?” tanya Nabi Shallallahu alaihi Wasallam. Kemudian seorang dari mereka menjawab, “Ya Rasulullah, bukankah mereka itu anak-anak kaum musyrik?” Nabi Shallallahu alaihi Wasallam kemudian bersabda, “Yang terbaik di antara kalian pun juga anak-anak kaum musyrik. Ketahuilah bahwa tidaklah seorang pun dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Dia akan tetap dalam fitrahnya itu sampai lisannya sendiri mengubahnya,…(al-hadits).”
والله أعلمُ بِالصَّوَابِ
Mi’raj News Agency (MINA)