Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meneguhkan Janji Kemerdekaan Palestina Dari Sumud Nusantara ke Solidaritas Global

Rana Setiawan Editor : Rudi Hendrik - 1 menit yang lalu

1 menit yang lalu

0 Views

Aktivis internasional berkumpul pada puncak Sumud Nusantara 2025 di Dataran Merdeka di Kuala Lumpur Malaysia.(Foto: For Minanews.net)

SAAT Dataran Merdeka di Kuala Lumpur Malaysia bergetar dalam gemuruh solidaritas Sumud Nusantara 2025, gema perjuangan Palestina tak sekadar berkumandang, namun menjadi seruan mendesak akan terpenuhinya hak kembali jutaan warga Palestina ke tanah kelahirannya. Di balik orasi penuh semangat para aktivis lokal dan internasional, terpapar fakta bahwa sekitar 7–8 juta warga Palestina hidup di diaspora, nyaris separuh dari total populasi global, menjadi pendorong kuat gerakan global ini untuk tetap bergerak hingga hak-hak mereka diakui kembali.

Di tengah gegap gempita globalisasi dan revolusi teknologi abad ke-21, ada sebuah bangsa yang masih hidup dalam kondisi yang seakan membekukan waktu, yakni bangsa Palestina. Apa yang selama ini kita sebut sebagai “isu solidaritas Palestina” mungkin tak lagi cukup untuk menggambarkan kenyataan di lapangan. Kini, ini bukan hanya persoalan politik, agama, atau identitas, tetapi inti dari kemanusiaan yang harus ditegakkan.

Hingga pertengahan 2025, populasi global Palestina diperkirakan mencapai sekitar 15,2 juta jiwa, dengan 7,8 juta di antaranya hidup di diaspora. Dari jumlah itu, sekitar 6,5 juta tersebar di negara-negara Arab, mulai dari Yordania, Lebanon, Suriah, hingga Teluk Arab (UNA-OIC, 2025). Ini menjadikan Palestina sebagai satu-satunya bangsa besar di dunia yang justru lebih banyak tinggal di luar tanah airnya daripada di dalam.

Statistik diaspora yang besar tersebut menunjukkan bahwa lebih dari setengah warga Palestina bertahan hidup di pengasingan. Ini merupakan luka kemanusiaan yang belum menemukan jalan pulang. Sementara pembunuhan massal dan blokade Gaza, di mana rumah sakit, sekolah, anak-anak terbunuh, demonstrasi rinci bahwa hak kemanusiaan terus dilanggar.

Baca Juga: Ziarah ke Masjidil Aqsa Tanda Kedalaman Iman

Fenomena tersebut bukan sekadar statistik demografis. Ia adalah luka panjang yang belum sembuh sejak Nakba 1948, ketika lebih dari 700 ribu warga Palestina diusir dari rumah mereka. Kini, generasi ketiga dan keempat masih hidup dengan status “pengungsi” yang diwariskan, sementara hak mereka untuk kembali ke tanah air belum pernah diakui secara penuh. Hak kembali (Right of Return), yang dijamin oleh Resolusi PBB 194 (1948), hingga kini tetap tak tersentuh oleh implementasi nyata.

Di sinilah letak urgensinya: diaspora Palestina adalah bukti hidup dari ketidakadilan global yang terus berulang.

Sumud Nusantara Nada Solidaritas Takkan Luntur

Di Asia Tenggara, sebuah nada solidaritas terus bergema melalui Sumud Nusantara 2025. Kata sumud dalam bahasa Arab berarti keteguhan, ketabahan, atau ketegaran. Istilah ini lahir dari perlawanan sipil rakyat Palestina yang bertahan di tengah tekanan militer dan blokade berkepanjangan.

Baca Juga: Israel Bukan Negara, Tapi Proyek Penjajahan Abad Modern

Presidium Aqsa Working Group (AWG), Rifa Berliana, mewakili delegas Indonesia, menegaskan dalam orasinya pada acara puncak Sumud Nusantara 2025 pada Ahad 24 Agustus 2025. “Gerakan ini adalah penegasan akan kembalinya hak-hak rakyat Palestina atas tanah air mereka, di mana pun mereka berada,” tegasnya.

Sementara Ketua Pengarah Sumud Nusantara sekaligus CEO Cinta Gaza Malaysia, Muhammad Nadir Al-Nuri Kamaruzaman, menambahkan nada yang lebih tegas, bahwa setiap negara dan komunitas memiliki peran dalam memperluas dukungan hingga Palestina benar-benar merdeka.

Sumud Nusantara takkan berhenti hingga kemerdekaan yang nyata (di Palestina) tiba,” pungkasnya.

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa solidaritas bukan sekadar romantisme politik, melainkan sebuah komitmen lintas bangsa dan generasi.

Baca Juga: Tanpa Ilmu, Jama’ah Hanya Massa Tanpa Arah

Bagi banyak orang di luar sana, kampanye tersebut bukan hanya solidaritas digital. Ini adalah tanda kehidupan. Ketika lebih dari 8.000 boneka beruang membentuk peta Palestina membawa pesan cinta untuk anak Gaza, ada jiwa yang berharap dan doa yang mengalir.

Gerakan tersebut pun memperoleh dukungan lintas benua. Delegasi dari Maladewa, Pakistan, Filipina, hingga Thailand hadir menyuarakan dukungan. Maria Elena Delia, aktivis Global Movement to Gaza asal Italia, dengan lantang menyatakan, gerakan kemanusiaan global ini tidak akan berhenti hingga blokade terhadap Gaza benar-benar diakhiri dan Palestina merdeka.

Pesan itu menggugah bahwa solidaritas tidak mengenal batas geografi, etnis, atau agama. Dalam isu Palestina, yang dipertaruhkan bukan hanya masa depan sebuah bangsa, melainkan integritas moral umat manusia.

Apa yang dulu mungkin dianggap sebagai eksperimen solidaritas kini menjelma menjadi tekad global. Sumud Nusantara menegakkan fondasi di Asia Tenggara melalui karnaval, orasi, hingga konvoi darat yang menyatukan aktivis, akademisi, ulama, dan masyarakat sipil.

Baca Juga: Lisanku Terjaga, Hatiku Bahagia: 10 Hikmah Dzikir yang Menyelamatkan

Sementara itu, di level dunia, lahirlah Global Sumud Flotilla, sebuah ekspedisi melibatkan 45 negara dan lebih dari 15.000 peserta. Armada sipil yang berlayar ke Laut Mediterania itu bukan sekadar simbol perlawanan terhadap blokade Gaza, tetapi juga bentuk nyata upaya penyaluran bantuan dan penegasan tekanan moral kepada pihak yang menindas.

Aksi-aksi tersebut menunjukkan bahwa solidaritas terhadap Palestina bukan hanya isu pinggiran, melainkan telah bertransformasi menjadi agenda moral global.

Barometer Moral Dunia

Di titik ini, muncul pertanyaan penting: apakah perjuangan untuk Palestina hanya soal solidaritas politik dan agama? Atau sudah menjadi panggilan kemanusiaan universal?

Baca Juga: Bahan Bakar Api Neraka Itu adalah Zionis Israel

Jawabannya jelas: ini adalah soal kemanusiaan. Setiap manusia berhak atas rumah, tanah, keamanan, dan kebebasan menentukan nasibnya. Jika hak itu diabaikan pada Palestina, maka dunia tengah mengirim pesan bahwa prinsip kemanusiaan bisa dinegosiasikan—bahkan dihapuskan.

Profesor Ilan Pappé, sejarawan asal Israel yang kritis, menulis dalam bukunya The Ethnic Cleansing of Palestine (2006) bahwa tragedi Palestina bukan sekadar konflik, melainkan proyek kolonial yang masih berlangsung. Dengan kata lain, yang kita saksikan bukan “perselisihan,” melainkan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis.

Kini, Sumud Nusantara dan gerakan sejenis di berbagai belahan dunia memikul beban penting, yakni mentransformasi solidaritas menjadi aksi nyata. Kampanye publik, advokasi diplomatik, hingga penyaluran bantuan langsung harus dipandang sebagai satu kesatuan strategi global.

Dunia tidak boleh hanya berhenti pada retorika “Free Palestine”. Dunia harus melangkah lebih jauh dengan menuntut akuntabilitas hukum, menegakkan resolusi internasional yang ada, dan mengakhiri impunitas bagi pelaku kejahatan perang.

Baca Juga: Masjid Kerisik Jejak Peradaban Pattani, Simbol Kebangkitan Islam, dan Inspirasi Solidaritas untuk Al-Aqsa

Palestina bukan lagi sekadar isu umat Islam atau bangsa Arab. Palestina adalah barometer moral dunia.

Sumud Nusantara dan gerakan Global Sumud Flotilla bukan sekadar kampanye solidaritas, mereka adalah obor kemanusiaan yang menerangi tuntutan hak dasar rakyat Palestina.

Maka, kini saatnya kita menggeser narasi, Palestina bukan hanya tentang solidaritas, tetapi tentang kemanusiaan. Jika hak rakyat Palestina terus diabaikan, itu berarti kita membiarkan preseden berbahaya bagi seluruh umat manusia, bahwa penindasan bisa dilegitimasi, dan hak-hak dasar bisa dirampas tanpa konsekuensi.

Gerakan seperti Sumud Nusantara adalah contoh bahwa perubahan dimulai dari tekad kolektif. Namun, gerakan ini harus diperluas, diperkuat, dan dipertahankan.

Baca Juga: Israel: Penjajah yang Menjadikan Palestina Neraka

Dunia internasional, lembaga multilateral, komunitas sipil global, dan setiap individu yang mencintai keadilan—saatnya berdiri tegak. Saatnya menolak normalisasi penjajahan. Saatnya memastikan bahwa kemerdekaan Palestina bukan sekadar mimpi, tetapi kenyataan yang diperjuangkan bersama. Karena ketika kita membela Palestina, sejatinya kita sedang membela kemanusiaan itu sendiri.

Mari kita suarakan ini bersama, dorong pemerintah dan masyarakat global agar mengakui hak kembali, bebaskan blokade, dan prioritaskan solusi politik yang adil. Bagikan kisah ini, libatkan diri dalam aksi solidaritas, dan pastikan dunia tidak butuh dikampanyekan, karena suara kita sudah menyatu bahwa Palestina harus merdeka, dan rakyatnya layak kembali pulang.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: 11 Tips Menjadi Suami yang Menghargai Istri dalam Islam

Rekomendasi untuk Anda