Meneladani Cinta Orang-Orang Shalih

Oleh: , Ustadz di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kuttab Cimahi Bandung, Jawa Barat.

 

Apakah cinta itu rumit? Teryata tidak. Apalagi jika cinta itu kepada Allah, tidaklah pernah rumit.

Allah sudah menyampaikan dalam Surat Al-Baqarah ayat 165:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ

Artinya : “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS Al-Baqarah [2]: 165).

Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, Allah menyebutkan keadaan kaum musyrik dalam kehidupan di dunia dan apa yang bakal mereka peroleh di negeri akhirat. Ini disebabkan mereka menjadikan tandingan-tandingan dan saingan-saingan serta sekutu-sekutu yang mereka sembah bersama Allah.

Mereka mencintai tandingan-tandingan itu sebagaimana mereka mencintai Allah. Padahal kenyataannya Allah adalah Tuhan yang tiada yang wajib disembah selain Dia. Tiada lawan, tiada tandingan, dan tiada sekutu bagi-Nya.

Dalam sebuah hadits, disebutkan:

يَا رَسوْلَ اللهِ، مَا الإيْمَانُ؟ قَالَ: أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلهُ أَحَبَّ إلَيْكَ مِمَّا سِوَاهُمَا

Artinya, “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud iman? Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam menjawab: “Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya lebih Kamu cintai daripada selain keduanya.” (HR Ahmad).

Adapun untuk mencapai tingkat kecintaan kepada Allah itu, ada beberapa anak tangga yang perlu ditapaki seorang hamba. Salah satunya adalah tangga ilmu.

Dengan ilmu agama yang dicari dengan ikhlas, seorang hamba akan mendapatkan rasa takut (khasyah).

Rasa takut kepada Allah ini berbeda dengan rasa takut kepada makhluk. Takut kepada makhluk akan menjauhkan kita dari makhluk itu. Contohnya takut kepada singa. Setiap kali mendapati singa pasti kita menjauh.

Berbeda dengan takut kepada Allah. Takut kepada Allah justru akan semakin mendekatkan kita kepada-Nya. Bahkan dengan cinta ini banyak orang- yang dianggap gila oleh pecinta dunia.

Mereka adalah ulama, orang-orang berilmu. Yang menjadikan mereka takut kepada Allah adalah ilmu yang mereka miliki. Mereka merelakan diri, badan, jiwa, hingga harta dan darah untuk Allah dan Rasul-Nya.

Seperti Nabi Ibrahim Khalilullah ‘Alaihi Salam yang rela meninggalkan keluarga yang dicintainya di tanah gersang karena Allah.

Seperti juga Nabi Ismail ‘Alaihi Salam yang rela tidak bertemu ayahnya dalam waktu yang lama, yang rela disembelih oleh ayahnya karena Allah.

Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang rela dicaci, difitnah, diancam dibunuh, diusir, hingga diboikot oleh orang-orang kafir, karena Allah.

Lihat pula bagaimana Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu, yang rela mengorbankan badannya, hartanya, hingga keluarganya karena Allah.

Seperti Umar bin Khattab yang rela menanggalkan rasa takutnya karena Allah.

Seperti Utsman bin Affan yang mendedikasikan hartanya untuk membantu kaum Muslimin, dengan cara membeli sumur seorang Yahudi di masa paceklik di Madinah karena Allah.

Seperti itu pula, Ali bin Abi Thalib yang rela menjadi pengganti kematian dirinya, demi melindungi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ketika para pemuda Quraisy bersiap di depan rumah beliau menghunus pedang karena Allah.

Lainnya, adalah Julaibib yang lajang dan ditolak oleh banyak wanita sampai sekalinya mendapatkan calon istri yang cantik, ia tinggalkan untuk memenuhi seruan berperang karena Allah.

Memang benar cinta itu membutakan. Cinta kepada Allah seolah-olah membutakan orang-orang shalih dari perkara dunia hingga mereka dijuluki sebagai orang gila. Gila atas nikmatnya ibadah kepada Allah. Cinta itu membuat yang sulit menjadi mudah. Cinta itu membuat yang jauh menjadi dekat. Bahkan membuat yang lama menjadi sebentar.

Begitupun sebaliknya, Allah pun sangat cinta kepada hamba-hamba-Nya yang shalih, sebagaimana contoh-contoh tersebut.

Begitu dahsyatnya cinta, sampai-sampai Syaikh Ramadhan Al-Buthi menjelaskan bahwa Al-Quran adalah surat cinta dari Allah untuk hamba-hamba-Nya.

Namun terkadang kitalah yang lalai. Kita ingin ditambah rezeki namun tidak pernah bersyukur dengan nikmat yang telah dimiliki. Kita ingin anak-anak yang shalih-shalihah, tapi malas untuk menjadi teladan yang baik bagi mereka.

Kita ingin disegerakan terkabulnya doa-doa kita, namun enggan berhati-hati dalam apa yang kita makan. Kita juga ingin menjadi lebih baik, akan tetapi menunda-nunda panggilan dari-Nya.

Mengingat cinta itu hakikatnya datangnya dari Allah. Maka, ikhtiar yang bisa kita lakukan adalah dengan meningkatkan ibadah. Mahdhoh maupun ghairu mahdhoh. Kuantitas maupun kualitas.

Jangan lupa juga untuk kita selalu menjaga diri. Menjaga diri dari berbagai dosa dan maksiat yang bisa mengeruhkan, menodai, bahkan menutup hati dari terbitnya cinta kepada Allah.

Maka tanyakan kepada diri kita yang telah berkelana dari satu majelis ilmu ke majelis ilmu lain: apakah rasa takut itu sudah hadir di dalam hati? Apakah ibadah kita meningkat sejalan dengan ilmu yang dipelajari? Apakah cinta kepada Allah semakin tumbuh di hati kita?

Jangan sampai kita yang sudah banyak belajar ilmu agama, tetapi tidak memiliki perbedaan dengan mereka yang sama sekali tidak memilikinya. Mulai dari ibadah, keseharian, hingga gurauan.

Untuk tu, kita harus banyak belajar lagi dan meneladani cinta orang-orang shalih kepada Allah. Wallahu a’lam. (A/osa/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.