Oleh Ali Farkhan Tsani, Da’i Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor dan Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Sejarah mencatat Hajar, atau oang Indonesia menyebutnya dengan Siri Hajar, istri Nabi Ibrahim Alaihis Salam, ditinggalkan berdua dengan bayinya, Ismail, di tengah padang pasir gersang, di gurun Arab Saudi. Saat itu ribuan tahun lalu, belum ada penduduk yang menetap di sana, dan belum ada binatang piaraan yang dipelihara. Sementara suaminya, Nabi Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah untuk kembali ke Al-Quds, Palestina.
Hajar membuka tas kulit berisi kurma yang ditinggalkan suaminya, lalu memakannya. Beberapa teguk air dari kantong pun ia minum. Baru sebentar, rasa haus kembali merongrong tenggorokannya. Maklumlah, ia masih menyusui puteranya.
Hari bertambah hari, suhu Arab semakin panas, persediaan makan dan minum pun telah habis. Kemampuan menyusui sang bayi pun semakin menurun. Lama-kelamaan air susunya habis. Sementara si bayi menjadi rewel, menangis, dan terus meronta meminta air susu ibunya.
Baca Juga: Di Balik Hijab, Ada Cinta
Tak tahan mendengar tangis anaknya, Hajar bangkit dari tempatnya, meninggalkan bayinya sendirian, demi mencari bantuan. Barang kali saja ada rombongan kafilah yang akan melewati Makkah kala itu.
Dilihatnya seperti air di sebuah bukit, yang kemudian dikenal dengan Shafa. Ia berlari ke sana. Ternyata hanya fatamorgana di tengah terik panas padang pasir.
Dilihatnya lagi di sebuah bukit di ujung lainnya, yakni Marwah, tampak ada danau air. Setelah terhuyung-terhuyung tergesa-gesa menuju ke sana, yang jaraknya sekitar 450 meter, ternyata pun fatamorgana. Begitu sampai tujuh kali 450 meter atau sekitar 3,15 km ia bolak-balik Shafa-Marwah demi mencari seteguk air.
Mengeluhkah dia? Tidak. Dia meyakini pertolongan Allah pasti akan datang. Tugasnya hanyalah berusaha dan berjuang. Ia ikhlas menjalaninya, seikhlas ketika melepas kepergian suaminya yang meninggalkan mereka berdua di padang itu atas kehendak Allah.
Baca Juga: Menjadi Pemuda yang Terus Bertumbuh untuk Membebaskan Al-Aqsa
Akhirnya, dengan kemahakuasaan-Nya, Allah pun memberikan rezeki berupa sumber mata air zamzam yang muncul dari bawah telapak kaki Ismail. Siti Hajar dan Ismail pun menikmati air minum zamzam.
Allah mengabadikan Shafa-Marwah itu di dalam ayat:
إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآٮِٕرِ ٱللَّهِۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَاۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرً۬ا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah [3] Maka barangsiapa yang beribadat haji ke Baitullah atau ber-’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 158).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabdanya:
Baca Juga: Muslimat Pilar Perubahan Sosial di Era Kini
إِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ حِيْنَ رَكَضَ زَمْزَمَ بِعَقِبِهِ جَعَلَتْ أُمُّ إِسْمَاعِيلَ تَجْمَعُ الْبَطْحَاءَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رَحِمَ اللهُ هَاجِراً وَأُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْهَا كاَنَتْ عَيْنًا مَعِيْنًا
Artinya: “Tatkala Jibril memukul zam-zam dengan tumit kakinya (Ismail), Ummu Ismail segera mengumpulkan luapan air. Nabi berkata,”Semoga Allah merahmati Hajar, Ummu Ismail. Andai ia membiarkannya, maka akan menjadi mata air yang menggenangi (seluruh permukaan tanah).”
Kini, jutaan jamaah haji setiap tahun dan jamaah umrah sepanjang bulan, menapaktilasi perjuangan Siti Hajar melalui ritual Sa’i, yakni berjalan dari bukit Shafa menuju bukit Marwah sebanyak tujuh kali dalam satu kali umrah.
Kekuatan aqidah, ketabahan jiwa, kesabaran, ketawakalan hati, kekuatan mental, dan segala keutamaan yang tersemat pada sosok Siti Hajar, adalah teladan bagi kita, terutama para jamaah haji dan umrah.
Baca Juga: Tujuh Peran Muslimah dalam Membela Palestina
Itulah Hajar yang dirahmatai Allah. Subhaanallaah. (P4/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Muslimah dan Masjidil Aqsa, Sebuah Panggilan untuk Solidaritas