Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meneladani Khadijah bagi Muslimah Masa Kini

Redaksi Editor : Ali Farkhan Tsani - 2 jam yang lalu

2 jam yang lalu

5 Views

Ilustrasi

Oleh Rohmah Solihah, Aktivis Muslimah Learning Center (MLC) Ciamis, Jawa Barat

DI TENGAH riuh zaman, masih ada perempuan yang menapaki jejak Khadijah yang berhati lapang, berakal cemerlang, dan beriman teguh. Ia tak berdagang di pasar Makkah, tapi menebar kebaikan di tempat kerja, rumah tangga, dan ruang ibadahnya.

Ia tak haus panggung tapi jadi sandaran, Tak mengejar sorotan tapi justru jadi cahaya. Dalam diamnya ada strategi, dalam lembutnya tersimpan keberanian.

Seperti Khadijah, ia tahu cinta sejati bukan sekadar pada pasangan, tapi dalam perjuangan bersama Allah dan Rasul-Nya.

Baca Juga: Peran Muslimah dalam Solidaritas Al-Aqsa dan Palestina

Hari ini, karakter Khadijah hadir dalam sosok perempuan-perempuan yang tetap memberi meski tak dihitung, tetap berdiri meski diuji, dan tetap setia pada nilai ilahi. Mereka tak sibuk mencari nama, tapi diam-diam mencetak sejarah.

Meski zaman berubah, nilai-nilai seperti integritas, keberanian, dan kesetiaan dalam perjuangan seperti sosok Khadijah, tetap menemukan tempatnya dalam langkah perempuan masa kini.

Berikut nilai-nilai dari sosok Khadijah yang masih hidup dan menyentuh langkah perempuan masa kini, di antaranya:

  1. Hati yang lapang, bukan mudah baper

Ia tidak runtuh saat dikritik, tidak retak oleh fitnah atau tekanan. Ia belajar tenang sebelum menanggapi keadaan.

Baca Juga: Berjilbab Tapi Pacaran, Muruah yang Hilang di Balik Tudung Suci

Ia paham, tidak semua harus dibalas. Ada yang cukup dihadapi dengan diam, Ada yang lebih kuat jika diserahkan pada Allah.

Hati yang lapang bukan tanpa luka. Tapi ia tahu cara sembuh tanpa menyakiti. Tetap tenang tanpa kehilangan harga diri.

  1. Akal cemerlang, bukan sekadar pintar akademik

Ia mencari hikmah, bukan hanya gelar. Belajarnya tak berhenti di kelas, tapi hadir dalam cara berpikir dan bersikap.

Cerdas bukan soal rumitnya teori, tapi sejauh mana ia memahami keadaan dan membawa manfaat bagi sekitar.

Baca Juga: Hijabku, Kemuliaanku

Semakin luas wawasannya, semakin lembut ucapannya. Ilmu yang benar tak meninggikan diri, justru menundukkan hati.

  1. Integritas di tengah godaan

Ia tetap teguh saat peluang datang dengan syarat melepas nilai. Ia tahu tidak semua hal layak dibayar dengan prinsip.

Popularitas tak membuatnya silau, karier tak membuatnya lupa arah, materi tak mengubah jalannya yang lurus.

Ia memilih jujur meski sepi, tetap benar meski sendiri. Karena yang ia cari bukan tepuk tangan, tapi ridha Allah.

Baca Juga: Ketika Jodoh Tak Kunjung Datang, Tapi Usia Terus Bertambah

  1. Berdaya tanpa melawan fitrah

Ia tahu tempatnya dalam setiap keadaan. Mampu mengambil langkah saat dibutuhkan, dan memberi ruang saat itu lebih tepat.

Kekuatan tidak selalu berada di depan, kadang justru tersembunyi dalam sikap yang tenang dan penerimaan yang tulus.

Ia menjalani perannya dengan yakin. Tak mencari pengakuan, cukup mengharap ridha Allah.

  1. Dukungan total pada kebaikan

Seperti Khadijah yang mendukung dakwah Nabi Shallalahu ‘Alaihi Wasallam dengan hati, harta, dan keyakinanya perempuan hari ini juga menjadi penopang utama gerakan kebaikan.

Baca Juga: Muslimah Pilar Umat

Ia hadir di rumah sebagai pendidik nilai, di komunitas sebagai penggerak, dan di dunia digital sebagai penyampai pesan kebaikan.

Tanpa banyak sorotan, ia berdiri kokoh di balik perjuangan. Mendampingi, menguatkan, dan ikut menggerakkan perubahan.

  1. Bijak mengelola rezeki

Perempuan muslimah tak hanya diajarkan untuk menerima rezeki, tapi juga cerdas mengelolanya. Ia tahu bahwa harta bukan sekadar milik, tapi amanah.

Ia pandai mencari yang halal, mengatur dengan bijak, dan menahan diri dari yang sia-sia. Setiap rupiah dihitung dengan niat lillah, bukan semata gaya hidup.

Baca Juga: Hijabmu Menjagamu, Tapi Hatimu Jangan Lupa Dijaga Juga

Saat memberi, ia tidak merasa kehilangan. Justru dengan infak dan sedekah ia merasa lapang, karena tahu bahwa rezeki sejati datang dari keberkahan, bukan jumlah.

  1. Lembut tapi tak goyah

Ia dikenal dengan hati yang peka dan tutur yang menyejukkan. Empatinya tinggi, mudah memahami, dan hadir saat dibutuhkan.

Namun di balik kelembutan itu, ada prinsip yang tak mudah ditawar. Ia tahu kapan harus berkata tidak, kapan harus menjaga jarak, dan kapan harus tegas.

Ia tak kehilangan kasih sayang, meski menetapkan batas. Karena baginya menjadi lembut, bukan berarti lemah, melainkan tetap kokoh tanpa harus mengeras.

Baca Juga: Resolusi Tahun Baru Hijriyah Untuk Muslimah: Bulan Muharram untuk Berbenah

  1. Pemimpin dalam keluarga

Ia menata rumah dengan kejernihan akal dan kelapangan hati. Urusan besar maupun rinci dijalani tanpa banyak suara, tapi penuh pertimbangan.

Keputusannya lahir dari ketenangan, bukan ego. Ia tidak mendominasi, tapi membuat setiap anggota merasa aman dan dihargai.

Tanpa harus tampil paling menonjol, ia justru menjadi poros kestabilan. Perannya menyatu dalam harmoni, bukan dalam kuasa.

  1. Pekerja keras tanpa melupakan ibadah

Hari-harinya penuh aktivitas mengurus, merawat, mencari, atau mencipta. Waktu terasa padat, tapi ia tetap hadir utuh di setiap peran.

Baca Juga: 9 Kiat Efektif untuk Orang Tua dalam Menyambut Tahun Ajaran Baru

Di tengah kesibukan, ia tak melepaskan tali dengan Allah. Shalat tetap ditegakkan, doa jadi pegangan, dan zikir mengalir di sela pekerjaan.

Baginya kerja adalah amanah, tapi ibadah adalah napas. Ia tahu keberkahan bukan datang dari banyaknya usaha saja, tapi dari dekatnya hati pada Sang Pemberi.

  1. Tidak bergantung pada dunia

Ia tak hidup dari sorak atau tepuk tangan. Pilihan hidupnya tak ditentukan oleh selera orang lain.

Ia tenang meski tak disukai, selama yang dijalani sejalan dengan kebenaran. Prinsip dijaga, meski harus berdiri sendiri.

Baca Juga: Tak Akan Kutukar Iffahku dengan Like dan Followers!

Bagi dirinya nilai bukan ditentukan komentar manusia, tapi sejauh mana ia jujur pada hati dan taat pada Allah.

  1. Menjaga aib

Ia tak ringan bercerita, apalagi soal sisi gelap orang lain. Yang diketahui disimpan, yang dilihat tak disebar.

Kesedihan disalurkan lewat munajat, bukan panggung keluhan. Ia membiarkan Allah yang tahu, bukan dunia yang menebak-nebak.

Baginya menjaga itu mulia. Karena menutupi cela adalah bentuk adab, bukan pura-pura baik.

Baca Juga: Jejak Iman dalam Rumah Tangga: Belajar dari Keluarga Hajar dan Sarah di Hari Raya Qurban

  1. Menghidupkan cinta lewat tindakan

Ia tak sibuk merangkai kata manis, tapi memilih hadir saat dibutuhkan. Perhatian ditunjukkan lewat hal-hal kecil yang tak selalu tampak.

Cintanya tumbuh dalam diamnya sabar menghadapi kekurangan, dalam dukungan tanpa pamrih, dalam setia meski tak selalu dipuji.

Baginya cinta sejati bukan tentang janji, tapi tentang siapa yang tetap ada ketika semua terasa tak mudah.

  1. Pemaaf tanpa menjadi lemah

Ia memaafkan bukan karena lupa, tapi karena memilih damai dalam hati. Luka tak selalu dibalas luka.

Maafnya bukan tanpa syarat, tapi dengan kesadaran untuk menjaga diri. Ia tahu batas yang harus dijaga agar tak disakiti kembali.

Baginya, memberi maaf adalah kekuatan, bukan kelemahan. Karena memulihkan diri tak harus berarti membuka pintu yang sama.

  1. Diam yang menggerakkan

Ia bukan tipe yang banyak bicara, tapi hadirnya terasa. Tindakannya cukup untuk menjelaskan apa yang tak diucap.

Di rumahnya ia jadi teladan, di sekolah atau kantornya jadi penyelesai, bukan pembuat gaduh. Di media sosial bijak memilih diam atau berbagi yang mencerahkan.

Tanpa perlu sorotan ia membawa perubahan. Karena bagi dirinya kekuatan tak selalu lahir dari suara, tapi dari ketulusan yang konsisten.

  1. Menghormati suami tanpa kehilangan jati diri

Ia menghargai suami bukan karena lemah, tapi karena taat kepada Allah. Ketundukannya lahir dari iman, bukan tekanan.

Di balik sikap lembutnya, ada pendirian yang tak mudah digoyahkan. Ia tetap menjadi dirinya sendiri, tanpa harus menenggelamkan suara hati.

Baginya pernikahan adalah ruang saling menguatkan. Bukan siapa yang lebih tinggi, tapi bagaimana keduanya tumbuh dalam ridha Ilahi.

  1. Cerdas mendidik anak dengan keteladanan

Ia membentuk karakter lewat sikap, bukan tekanan. Nilai-nilai hidup disisipkan lewat keputusan sehari-hari yang jujur dan bijak.

Tanpa banyak instruksi anak menangkap makna dari cara ia bersikap sabar saat lelah, tenang saat marah, teguh saat diuji.

Bagi dirinya mendidik bukan soal ucapan panjang. Cukup hadir dengan konsistensi dan akhlak yang layak ditiru.

  1. Menjaga Hijab lahir dan batin

Ia menutup aurat bukan sekadar kewajiban, tapi bentuk ketundukan. Pilihan pakaiannya mencerminkan kehormatan yang dijaga.

Lebih dari penampilan ia menjaga cara berbicara, bersikap, dan membawa diri di hadapan siapa pun. Tidak semua harus ditampakkan, tidak semua layak dibagikan.

Baginya hijab bukan hanya kain, tapi komitmen untuk menjaga hati, merawat batas, dan hidup dalam bingkai yang diridhai Ilahi.

  1. Sabar dalam ujian, tawakal dalam rencana

Ia tak terburu-buru menyalahkan takdir saat rencana tak berjalan. Hatinya terlatih untuk tenang, meski jalan terasa buntu.

Bukan berarti ia tak berusaha, tapi ia tahu kapan harus melepas dan berserah. Doa menjadi pegangan, bukan pelarian.

Baginya hasil terbaik bukan yang sesuai keinginannya, melainkan yang Allah pilihkan. meski tak selalu mudah dipahami.

  1. Mengutamakan nilai

Ia tidak sibuk memperkenalkan siapa dirinya. Fokusnya ada pada peran, bukan pengakuan.

Setiap langkah diarahkan untuk memberi arti, bukan memburu tepuk tangan. Hasilnya mungkin tak viral, tapi terasa.

Baginya yang penting bukan dikenang karena gelar, tapi karena keberadaan yang membawa maslahat.

  1. Menjadi rumah bagi sesama

Ia memberi rasa aman tanpa banyak tanya. Hadirnya menenangkan, bahkan untuk yang tak pandai mengungkapkan lelah.

Anak menemukan pelukan, suami mendapat pengertian, sahabat merasakan dukungan, dan orang asing pun disambut tanpa penghakiman.

Baginya menjadi rumah bukan soal tempat, melainkan kemampuan merengkuh hati yang rapuh dan menumbuhkan kembali harapan yang hampir hilang.

Begitulah jejak yang dapat diambil dari keteladanan nilai Khadijah untuk kaum muslimah saat ini dan seterusnya. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda