Meneladani Pengorbanan Kaum Anshar

adalah sebutan untuk suatu kaum yang menerima hijrah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam bersama para sahabatnya dari Makkah menuju Yastrib (Madinah). Sesampainya Rasulullah di Madinah, mereka membantu Nabi dengan harta dan jiwanya. Kaum Muhajirin yang berhijrah bersama Nabi mereka layani dengan sebaik-bainya. Berbagai peperangan melawan kaum Kafir dan Musyrik mereka jalani bersama Rasulullah.

Tak terhitung lagi berapa banyak pengorbanan mereka untuk kaum Muslimin. Akan tetapi, meski demikian, setelah pembebasan kota Makkah, ummat mendapat kemenangan, banyak harta ghanimah (rampasan perang) berada dalam penguasaan ummat Islam, mereka tidak meminta balasan, imbalan dan jabatan dari Rasulullah.

Bahauddin Nursalim (Gus Baha) mengisahkan, ada sebuah kisah menarik ketika fathul Makkah. Saat itu Rasulullah sedang membagi-bagikan harta ghanimah kepada mereka yang baru saja memeluk agama Islam dari kalangan orang Makkah. Beberapa dari mereka diberi harta ghanimah banyak. Ada yang mendapat domba, onta dan lainnya, padahal mereka baru saja masuk Islam.

Saat itu, ada beberapa pemuda Anshar yang protes, mengapa Rasul memberi harta ghanimah begitu banyak kepada mereka yang baru saja memeluk Islam, sementara orang-orang Ansha yang sudah lama bersama Nabi, berkorban dan berjuang untuk kemenangan Islam, mereka tidak mendapat bagian?

Mendengar hal itu, Nabi segera mengumpulkan kaum Anshar yang saat itu mengikuti Fathul Makkah, di sebuah tempat, tanpa ada sahabat Muhajirin yang diperkenankan ikut di dalamnya. Di situlah kemudian Nabi mengonfirmasi tentang rumor tersebut.

Dalam kesempatan itu, Rasul menyampaikan kepada kaum Anshar, bahwa kalian adalah penolong agama Allah, kalian adalah penolong Rasulullah, kalian telah mendapat gelar kehormatan dari Allah dengan nama “Kaum Anshar (penolong)” maka janganlah kalian tukar gelar kehormatan itu dengan imbalan dunia.

Rasulullah melanjutkan, orang-orang yang baru masuk Islam, mereka gembira diberi harta, tapi untuk kalian semua. Rasulullah akan kembali ke Madinah bersama kalian. Rasul berjuang dan mati bersama kalian. Tidakkah kalian ridha dengan hal itu?.

Mendengar nasihat Rasulullah itu, kaum Anshar semuanya menangis. Mereka menyesali sikap sebagian dari mereka yang menuntut untuk diberi ghanimah. Kini mereka ridha dengan keberadaan Rasulullah di tengah-tengah mereka.

Bagi kaum Anshar saat itu, keberadaan Rasulullah adalah pusaka terbesar yang mereka miliki. Tidak ada yang lebih besar selain keridahaan Allah dan keberadaan Rasulullah di tengah-tengah mereka. Dan, Rasulullah pun menepati janjinya untuk berjuang dan wafat bersama Kaum Anshar. Rasulullah wafat dan dimakamkan di Madinah.

Pelajaran dari Pengorbanan Kaum Anshar

Kisah pengorbanan kaum Anshar sangat layak untuk dijadikan pelajaran bagi ummat Islam saat ini, betapa keridhaan Allah dan rasul-Nya adalah yang paling utama. Dalam perjuangan, sering kali seseorang lengah di tengah perjalanan. Merasa telah berjasa, merasa telah berkorban, merasa telah menjadi bagian penting dalam sebuah keberhasilan, maka setelah menang, setelah sukses, lantas meminta imbalan, meminta jabatan atau menuntut haknya dipenuhi dengan sempurna.

Dalam kisah di akhir zaman ini, beberapa kali kita saksikan, seseorang yang merasa telah sukses mengantarkan seseorang menjadi pemimpin sebuah negara/daerah, lantas mereka meminta jabatan menteri, menuntut menjadi direktur atau komisaris BUMN, meminta jatah proyek, dan sejumlah imbalan lainnya karena telah merasa berjasa.

Transaksi jabatan karena telah merasa ikut berjuang, menuntut hak dari pimpinan karena merasa dirinya ikut andil menyumbang kemenangan, itu semua jauh dari sifat-sifat kaum Anshar yang mulia. Hal seperti itu tidak sesuai dengan semangat perjuangan mereka.

Maka, jika perjuangan telah berbuah kemenangan, maka janganlah ditukar gelar mulia “Anshar”  dengan transaksi materi dan jabatan duniawi. Cukuplah Allah saja yang membalas segala jerih payah perjuangan yang kita lakukan. Persembahkanlah jerih payah itu kepada Allah semata. Janji Allah berupa pahala mulia di sisi-Nya dan apa yang Dia janjikan adalah berupa sebuah kehormatan yang tidak bisa ternilai dengan apapun di dunia.

Contoh kasus lainnya, misalnya ada seorang yang telah mengurus sebuah lembaga atau yayasan selama puluhan tahun, ternyata setelah berganti kepemimpinan, tidak ada keluarga, anak atau cucunya yang dilibatkan dalam struktur kepengurusan. Lantas dirinya menuntut agar ada dari keluarganya yang mendapat santunan atau setidaknya jabatan di struktur kepemimpinan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan semangat “Anshar”.

Atau, seorang anak yang telah merawat orang tuanya selama bertahun-tahun, lantas ketika orang tuanya sudah wafat, ia tidak mendapat bagian warisan sebagaimana mestinya. Lalu ia mengadu kepada pengacara dan menuntut di pengadilan hingga terjadilah sengketa tanah warisan. Hal ini juga tidak mencerminkan semangat “Anshar”.

Seorang istri yang telah melayani dan merawat Sang Suami, ikut berjuang mnedampingi Sang Suami meniti karir dari pegawai rendahan hingga punya jabatan, bahkan harta dan jiwanya menjadi taruhan perjuangan, lantas ketika suami sudah sukses, ternyata Sang Suami menikah lagi, lantas istri patah hati, merasa perjuangannya selama ini dihianati, merasa pengobanannya salama ini tiada arti. Hal ini juga bukan akhlaq seorang “Anshar”.

Atau seorang hamba yang sudah bertahun tahun tekun beribadah, setiap malam shalat tahajud, paginya shalat dhuha, rajin tilawah Al-Quran, dan sederet amal ibadah lainnya, ternyata hingga usia senja belum juga menjadi orang kaya, rumah juga belum punya, lantas ia merasa kecewa, merasa ibadahnya sia-sia, merasa doanya selama ini tiada guna, itu juga bukan tipe seorang “Anshar”.

Maka, marilah kita yakinkan diri bahwa seorang Anshar adalah mereka yang ikhlas dan ridha dengan takdir dan kehendak Allah saja. Anshar adalah orang yang yakin bahwa perjuangan yang selama ini ia lakukan dipersembahkan hanya untuk Allah saja. Ridha Allah dan rasulNya sudah cukup bagi dirinya sebagai balasan terbaik yang pasti akan ia peroleh di akhirat kelak.

Mungkin di dunia, ia belum mendapat apa yang ia minta, mungkin selama hidupnya belum menemukan apa yang ia inginkan, namun yakinlah bahwa ridha Allah adalah segalanya. Tidak ada yang lebih berharga, lebih mulia dan lebih indah daripada pahala yang mulia dan balasan surga dari Allah Subhanahu wa ta’ala untuk hamba-hambanya yang ikhlas berjuang , ikhlas beramal untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin.

(A/P2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.