Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meneladani Siti Hajar untuk Menjadi Muslimah Tangguh Masa Kini

Farah Salsabila - 23 detik yang lalu

23 detik yang lalu

0 Views ㅤ

DI BALIK sejarah para nabi, terselip sosok perempuan agung yang jarang disorot secara mendalam, yaitu Sayyidah Hajar atau Siti Hajar, seorang wanita dari Mesir yang menikah dengan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam atas restu dari istri pertama Nabi Ibrahim, yakni Sayyidah Sarah. Beliau tidak hanya menjadi istri Nabi, tetapi juga menjadi simbol ketangguhan, kecerdasan spiritual, dan keyakinan tak tergoyahkan kepada Allah.

Hajar bukanlah sekadar tokoh dalam kisah peradaban. Ia adalah awal dari rangkaian keteladanan yang Allah abadikan dalam ritual ibadah haji, menjadikan perjuangannya relevan sepanjang zaman.

Tak lama setelah pernikahan itu, Sayyidah Hajar dikaruniai kehamilan. Namun, kebahagiaan itu memunculkan rasa cemburu yang sangat mendalam dalam diri Sayyidah Sarah. Hingga akhirnya, atas perintah Allah, Nabi Ibrahim membawa Sayyidah Hajar dan putranya yang masih bayi, Ismail, meninggalkan Baitul Maqdis menuju lembah tandus yang bernama Bakkah yang kelak dikenal sebagai Makkah, daerah gersang tanpa air dan tumbuhan.

Sesampainya di lembah Bakkah, Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah untuk meninggalkan keluarganya dan kembali ke Palestina. Perintah ini amat berat bagi Nabi Ibrahim. Bayangkan, seorang ayah yang lama mendamba anak, justru harus meninggalkannya bersama istrinya di tanah asing dan kering kerontang. Tanpa perbekalan yang cukup. Tanpa jaminan keselamatan. Namun karena ini perintah Allah, Ibrahim melangkah.

Baca Juga: Muslimah Inspiratif, Dari Hijrah hingga Menjadi Teladan

Ketika langkah Ibrahim semakin jauh, Sayyidah Hajar mengejarnya dan bertanya berkali-kali, “Wahai Ibrahim, ke mana engkau hendak pergi? Mengapa meninggalkan kami di lembah yang tak berpenghuni ini?” Namun Ibrahim tak menjawab sepatah kata pun. Ia memilih diam demi menjaga hati istrinya agar tidak berburuk sangka terhadap Allah.

Dengan kecerdasannya, Sayyidah Hajar mengubah pertanyaannya, “Apakah ini perintah Allah?” Mendengar itu, Nabi Ibrahim menjawab, “Ya.” Maka Sayyidah Hajar pun berkata dengan penuh keimanan, “Jika demikian, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.”

Inilah salah satu pernyataan keimanan dan ketauhidan paling kuat yang tercatat dalam sejarah. Hajar mengajarkan kita, bahwa keyakinan kepada Allah bukan sekadar pasrah, tapi tindakan yang aktif dan sungguh-sungguh.

Kemudian Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah, sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an:

Baca Juga: Muslimah Penentu Arah Peradaban

رَّبَّنَآ إِنِّىٓ أَسۡكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِى بِوَادٍ غَيۡرِ ذِى زَرۡعٍ عِندَ بَيۡتِكَ ٱلۡمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ فَٱجۡعَلۡ أَفۡـِٔدَةً۬ مِّنَ ٱلنَّاسِ تَہۡوِىٓ إِلَيۡہِمۡ وَٱرۡزُقۡهُم مِّنَ ٱلثَّمَرَٲتِ لَعَلَّهُمۡ يَشۡكُرُونَ

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezeki lah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim [14]: 37)

Hari-hari berlalu. Bekal yang ditinggalkan habis. Ismail kecil menangis karena kehausan. Air susu Hajar mulai mengering. Tangis sang anak membuat hatinya pilu. Tapi ia tidak diam. Ia bergerak. Ia berlari. Dari bukit Shafa ke Marwah, bolak-balik tujuh kali. Jarak sekitar 3,15 km itu bukan semata upaya fisik, tapi cerminan keyakinan yang terus hidup meski harapan tampak nyaris musnah.

Yang dilihatnya di kejauhan hanyalah fatamorgana. Tapi bukan air yang ia kejar, melainkan pertolongan Allah. Bukan karena tidak tahu bahwa tempat itu kosong, melainkan karena keyakinannya kepada pertolongan Allah. Ia menunjukkan tawakal yang luar biasa, disertai usaha yang sungguh-sungguh. Usahanya berbuah mukjizat. Dari hentakan kaki Ismail oleh malaikat, Allah munculkan air, Zamzam, yang tak pernah kering hingga kini. Dari bawah telapak kaki Ismail, memancar sumber air, yang kemudian dikenal sebagai air Zamzam. Sayyidah Hajar pun menampung air tersebut, dan berkata, “Zamzam, zamzam!”, yang berarti “berkumpullah, berkumpullah!” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun bersabda:

Baca Juga: Panduan Membina Rumah Tangga Sakinah untuk Muslimah

“Semoga Allah merahmati Hajar, Ummu Ismail. Seandainya ia tidak menampungnya, niscaya Zamzam akan menjadi mata air yang mengalir deras.” (HR. Bukhari)

Hari ini, setiap jamaah haji dan umrah diwajibkan menapaki jejak perjuangan Hajar melalui ritual Sa’i. Ia menjadi satu-satunya perempuan yang Allah abadikan gerak langkahnya sebagai bagian dari rukun ibadah umat Islam. Ini bukan sekadar penghormatan, melainkan pelajaran bahwa kekuatan perempuan adalah bagian dari bangunan spiritual umat. Allah mengabadikan perjuangan ini dalam firman-Nya:

إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآٮِٕرِ ٱللَّهِ‌ۖ فَمَنۡ حَجَّ ٱلۡبَيۡتَ أَوِ ٱعۡتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا‌ۚ وَمَن تَطَوَّعَ خَيۡرً۬ا فَإِنَّ ٱللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah bagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang menunaikan haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan sukarela, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 158)

Baca Juga: Selfie di Sajadah, Hijrah atau Gengsi?

Hajar bukan hanya ibu dari Ismail. Ia adalah ibu dari sebuah bangsa: keturunan Ismail akan melahirkan Nabi Muhammad SAW. Namun, sebelum menjadi ibu peradaban, ia adalah seorang istri yang berjuang bersama suami. Ketika ujian pengorbanan datang lagi, yaitu perintah menyembelih Ismail, ia tetap bersabar dan ridha. Ia bukan penghalang misi kenabian, tapi penguatnya.

Keteguhan aqidah, kesabaran luar biasa, ketawakalan, ketabahan sebagai ibu, serta dukungan penuh terhadap perjuangan suami dalam menaati perintah Allah, semua itu menjadikan Sayyidah Hajar sebagai teladan abadi.

Teladan ini sangat relevan, terutama bagi para ibu, para istri, dan kaum perempuan yang berjuang mendampingi suami dalam ketaatan kepada Allah. Perempuan yang kokoh dalam keimanan dan kuat dalam ujian hidup. Dialah Hajar, ibunda teladan sepanjang zaman.

Subhanallah.

Baca Juga: Muslimah dan Cahaya Keberanian, Menapaki Jalan Kebaikan dengan Keyakinan

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah
Khadijah
Dunia Islam
Internasional
Timur Tengah