oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah Al-Isra [17] ayat 84:
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا (الاسرآء [١٧]: ٨٤)
Baca Juga: Al-Aqsa Episentrum Peradaban Umat Islam
“Katakanlah: Setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.”
Imam At-Thabari Rahimahullah dalam kitab tafsirnya menjelaskan, asbabun nuzul ayat ini berkaitan dengan sikap orang-orang kafir Quraisy yang menuduh Nabi Muhammad ﷺ memiliki tujuan pribadi dalam dakwahnya. Mereka berkata bahwa Nabi berdakwah hanya untuk memperoleh kekuasaan.
Maka Allah turunkan ayat di atas sebagai jawaban, bahwa setiap orang akan bertindak sesuai tabiat dan motivasinya dan Allah Maha mengetahui siapa yang benar dan siapa yang sesat. Dengan kata lain, manusia tidak bisa menghakimi orang lain hanya dengan prasangka (dhan/prejudis).
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan bahwa kata شَاكِلَتِهِ berarti tabiat, niat, dan kebiasaan seseorang. Beliau berkata, “Setiap orang beramal berdasarkan niat dan keinginan yang sesuai dengan wataknya.”
Baca Juga: 3 Warisan Nabi Adam untuk Menghidupkan Iman dan Perjuangan
Ayat ini juga menunjukkan pentingnya memahami karakter manusia, karena setiap individu memiliki jalan yang berbeda menuju tujuan yang sama. Ini menjadi pelajaran bagi seorang pemimpin agar bijak dalam memilih orang untuk menjalankan suatu tugas.
Melalui ayat di atas, Islam sangat menekankan pada manajemen yang profesional dalam setiap pekerjaan. Seorang pemimpin tidak boleh menyerahkan amanah, kecuali kepada orang yang tepat. Tidak semua orang bisa menjalankan amanah dengan baik. Maka, perlu ada pemilihan ketika hendak menyerahkan amanah tersebut.
Meritokrasi dalam Islam, Pelajaran dari Rasulullah ﷺ dan Khalifah
Rasulullah ﷺ memberikan contoh nyata dalam praktik kehidupan. Beliau selalu memperhatikan karakter para sahabat sebelum memberi tugas. Misalnya, ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman. Rasulullah ﷺ memilih Mu’adz karena ia memiliki ilmu yang luas dan kemampuan berdakwah yang baik.
Baca Juga: Sam’i wa Thaat: Kultur Mulia dalam Kehidupan Al-Jama’ah
Beliau tidak memilih sembarang sahabat, meskipun banyak yang lebih senior, karena beliau tahu bahwa Mu’adz adalah orang yang paling tepat untuk tugas itu.
Contoh lain, Rasulullah ﷺ menunjuk Khalid bin Walid sebagai panglima dalam beberapa peperangan. Hal itu karena Khalid memiliki keahlian strategi militer yang tidak dimiliki sahabat lain. Ketika menghadapi perang yang membutuhkan perhitungan matang, beliau tidak menyerahkan tugas itu kepada sahabat lain.
Abu Bakar Ash-Shiddiq juga meneruskan tradisi tersebut setelah menjadi khalifah. Beliau menunjuk Umar bin Khattab sebagai penasihat utama karena Umar dikenal tegas dan visioner. Untuk urusan keuangan, beliau mempercayakan kepada Abu Ubaidah bin Jarrah yang dikenal jujur dan amanah.
Sebaliknya, sejarah mencatat runtuhnya sendi-sendi syariat ketika sistem khilafah beralih kepada sistem kerajaan (mulkan). Pada masa kerajaan Bani Umayyah dan Abbasiyah, muncul banyak pemberontakan karena jabatan diberikan berdasarkan kedekatan pribadi dan hubungan keluarga, bukan kompetensi dan kemampuannya.
Baca Juga: Menemukan Makna Hidup di Usia Senja
Akibatnya, muncul ketidakpuasan rakyat dan melemahnya kekuatan umat. Hal itu menjadi pelajaran penting agar umat Islam hari ini dan masa yang akan datang, kita tidak mengulang kesalahan yang sama.
Menempatkan orang sesuai kemampuan dan keahliannya juga menciptakan bentuk keadilan. Jika seseorang yang ahli di bidangnya terpinggirkan. Jabatan diberikan kepada mereka yang dianggap paling berjasa (politik balas budi), atau unsur nepotisme, maka itu merupakan bentuk kedzaliman.
Prinsip meritokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang dijalankan dengan jalan memberi posisi (jabatan) kepada seseorang berdasarkan kompetensi, ilmu dan intergritas yang layak. Negara-negara maju memegang teguh prinsip ini, sehingga mereka mampu berkembang dan bertahan di tengah tantangan zaman.
Islam telah mengajarkannya prinsip meritokrasi jauh sebelum konsep tersebut dikenal dunia Barat. Rasulullah ﷺ dan para sahabat telah mempraktikkannya dalam membangun masyarakat Madinah.
Baca Juga: Khutbah Gerhana Bulan: Memperkuat Kesatuan Umat dan Bangsa, serta Doakan Palestina
Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ (رواه البخارى)
“Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR Al-Bukhari)
Menempatkan Orang yang Tepat dalam Pemerintahan
Baca Juga: Tata Cara Shalat Gerhana
Seorang pemimpin harus memiliki mata yang tajam dan hati yang bersih untuk mengenali potensi orang-orang di sekitarnya. Ia harus tahu siapa yang kompeten dan memiliki kemampaun. Tanpa pengetahuan ini, ia akan mudah tertipu oleh penampilan luar, dan akhirnya salah memberi kepercayaan.
Seorang pemimpin yang bijak akan selalu melakukan evaluasi. Ia tidak segan mengganti orang yang terbukti tidak mampu menjalankan tugasnya. Kepemimpinan bukan tentang perasaan, tetapi tentang tanggung jawab, baik di hadapan rakyat, maupun di hadapan Allah di akhirat kelak.
Kepemimpinan bukan sekadar soal memerintah dan menggerakkan orang, tetapi juga seni menempatkan manusia sesuai dengan bidang dan keahliannya. Dalam konteks negara, jika terjadi banyak masalah dan krisis, kemungkinan hal itu terjadi karena pejabat dipilih bukan berdasarkan kompetensi, tetapi karena kedekatan dan nepotisme.
Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan sering merugikan rakyat. Jika ingin negara maju dan sejahtera, kita harus kembali kepada prinsip Islam, memberi jabatan kepada orang yang tepat, bukan orang yang dekat.
Baca Juga: Rabiul Awal, Spirit Kelahiran Nabi dan Perjuangan Pembebasan Al-Aqsa
Tugas seorang pemimpin adalah mengenali setiap individu dan menempatkannya sesuai dengan bidang dan kompetensinya. Jika orang yang tepat berada di posisi yang tepat, maka roda kehidupan masyarakat akan berjalan dengan baik menuju cita-cita yang diharapkan.
Marilah kita mengambil pelajaran dari sejarah. Jangan biarkan ambisi dan kepentingan pribadi menjadi penghalang dalam menjalankan sistem meritokrasi serta menghalangi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat di negeri ini. Sebab, kekuasaan dan jabatan bukanlah tujuan akhir, melainkan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Subḥānahu wa Taʿālā. []
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Hentikan Perang Sekarang Juga