Oleh: Gus Nadirsyah Hosen, Ra’is Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (NU) di Australia
Pemerintah Australia pernah mendapat usulan agar Idul Fitri dan Idul Adha diakui sebagai libur nasional. Mereka tanya balik: “kapan pastinya kedua hari itu?”
Mereka butuh kepastian sejak setahun sebelumnya untuk menentukan hari libur nasional. Umat Islam ribut. Sebagian yang pakai hisab sudah bisa menentukan jauh-jauh hari. Sementara yang pakai ru’yah hanya bisa menentukan 1-2 hari sebelumnya.
Akhirnya usulan tersebut kandas karena bagaimana mungkin umat Islam mau mengusulkan sesuatu yang mereka sendiri belum menyepakatinya? Perbedaan yang dapat menimbulkan perpecahan di kalangan kita memang menimbulkan kerugian buat kita sendiri.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Metode ru’yah sebenarnya bisa mengandung kepastian asalkan melakukan tiga hal di bawah ini: pertama, kita sepakati dulu kriteria imkanur ru’yah (kemungkinan hilal terlihat): Dua derajat atau lima derajat? Begitu kita sepakati, katakanlah tiga derajat.
Langkah kedua, kita berlakukan aturan: jika hilal tingginya di atas tiga derajat maka anggap saja hilal pasti kelihatan meski terhalang hujan atau awan.
Langkah ketiga: kalau ahli hisab sepakat ketinggian hilal di bawah tiga derajat, maka semua kesaksian yang melihat hilal harus ditolak.
Melalui tiga langkah di atas maka ru’yah yang kita lakukan sudah menggandeng hisab dan menimbulkan kepastian soal waktu yang amat dibutuhkan dalam dunia modern saat ini. Ini pendekatan “al-jam’u wal taufiq”. Lagi pula kita malu banget, orang Barat sudah mengeksplorasi Bulan, kita perkara mengintip bulan saja sampai sekarang tidak pernah beres.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Kalau tiga langkah tersebut sudah disepakati, maka usulan saya berikutnya untuk konteks Indonesia adalah sebaiknya yang menetapkan waktu idul fitri dan idul adha itu bukan Menteri Agama (Menag). Proses sidang isbat berdasarkan laporan penetapan pengadilan agama (PA) di seluruh Indonesia apakah hilal terlihat atau tidak, maka sebaiknya yang menetapkan waktu hari raya adalah ketua Mahkamah Agung (MA) atau minimal ketua muda bidang peradilan agama, bukan Menteri Agama.
Selama ini ribut-ribut sidang isbat tergantung siapa Menagnya, dari Muhammadiyah atau NU. Pada masa Orde baru, Yang menjadi Menag sebagian dari Muhammadiyah sehingga kalangan NU protes terus soal keputusan idul fitri. Pada era reformasi Menagnya dari kalangan NU dan akibatnya Muhammadiyah di era Din Syamsuddin pernah memutuskan tidak memenuhi undangan sidang isbat idul fitri. Menurut Pak Din, hadir dalam sidang adalah sia-sia karena pendapat dari Muhammadiyah tidak akan didengarkan.
Jalur laporan penetapan dari PA sudah seharusnya berujung di MA karena semua peradilan sudah satu atap di bawah MA. Kalau MA yang menetapkan waktu hari raya maka tidak ada lagi ribut NU dan Muhammadiyah, karena berlakulah kaidah fikih: hukmul qadhi yarfa’ul khilaf (keputusan hakim itu menghilangkan perbedaan pendapat).
Semua harus tunduk pada penetapan MA. Demikian usulan saya untuk mengakhiri perpecahan di kalangan umat Islam dan menimbulkan kepastian dalam beribadah. Wallahu a’lam bi al-shawab. (R05/P4)
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)