oleh: Illa Kartila*
Evy Kurniasari, ingin hidupnya bukan hanya berguna bagi dirinya sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain, terutama bagi penduduk kurang mampu yang bermukim di sekitar tempat tinggalnya di kelurahan Tegal Gundil, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor.
Dalam hidup ini menurut Evy, ada tiga masalah utama yang dihadapi umat pada saat ini, yaitu kebodohan, kemiskinan dan perpecahan. Untuk mengatasi ketiga masalah tersebut, perlu digalang kepedulian dan kerjasama antara berbagai elemen masyarakat menuju kebangkitan umat.
Untuk mewujudkan kepeduliannya terhadap kaum tak berpunya, insinyur jebolan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini lewat Yayasan Ta’awun Kemanusiaan yang dibentuk suaminya – Ir. H. Nuruzzaman pada 2007 – berinteraksi dengan masyarakat bawah dengan dasar pertanian perkotaan dan pemberdayaan masyarakat sampai mereka bisa mempunyai perusahaan-perusahaan sendiri.
Baca Juga: Muslimah di Era Global: Menjaga Identitas Islam
Data statistik menunjukkan bahwa 60 persen dari penduduk Indonesia itu adalah petani, dan mayoritas daripada petani tersebut adalah kaum dhuafa (kaum yang lemah). Para petani lebih banyak terlibat hanya pada sektor industri hulu, dengan berbagai tantangan dan kesulitannya, belum lagi margin produk pertanian yang sangat kecil, bahkan sering merugi karena faktor alam atau inflasi yang membuat biaya produksi lebih besar dari harga jual.
Kondisi tersebut memotivasi pasangan suami-isteri itu untuk bergerak membentuk kelompok tani, bersilaturahmi dengan para petani dari kelompok lain, serta mengajak semua elemen masyarakat untuk peduli kepada nasib petani.
“Produk pertanian, adalah produk asasi yang menjadi kebutuhan semua orang, tetapi banyak petani yang harkat hidupnya tak beranjak dari kondisi kemiskinan” kata Evy sambil menambahkan, bahkan di Cigudeg para petani yang tadinya memiliki sawah, malah terlilit gadai yang menyebabkan lahannya hilang, kemudian mereka menjadi buruh tani di tanah yang tadinya milik mereka.
“Dengan motto: ‘sedekah tidak terputus’ kami mencoba memberi mereka bekal untuk mendapatkan penghasilan dan meningkatkan taraf hidup. Maksud ‘sedekah yang tidak terputus adalah pemberian bantuan yang tidak bersifat sporadis dan insidental, tetapi mempunyai tujuan jangka panjang sampai memandirikan mereka yang lemah.
Baca Juga: Muslimah Produktif: Rahasia Mengelola Waktu di Era Digital
Berkat dukungan dari berbagai pihak, donatur perseorangan, kelembagaan, maupun pemerintah, Evy menjembatani kebutuhan masyarakat dhuafa. Pada awalnya mereka dilatih untuk menjalankan simpan pinjam serta menabung, sampai akhirnya mereka tergabung dalam sebuah koperasi untuk mendirikan usaha milik bersama.
Tentang kegiatan simpan pinjam yang dijalankan secara tanggung renteng, “hampir tidak ada pinjaman macet, mereka berusaha keras mencicil pinjaman, kalaupun ada yang agak seret kami telusuri sebab-sebabnya. Kuncinya juga ada pada pembinaan dan pertemuan rutin sepekan sekali, “ kata Ketua Gabungan Kelompok Tani “Mekarsari” yang mayoritas anggotanya adalah kaum ibu.
Melalui kegiatan simpan pinjam itulah, para anggota difasiltasi dan diedukasi untuk bisa mempunyai saham-saham di perusahaan milik bersama.
Pada tahun 2013, kelompok-kelompok binaan tersebut mengikatkan diri dan aktif dalam kegiatan “Koperasi Tani Sejahtera Indonesia.” Evy berpendapat, mengentaskan kemiskinan harus dilakukan dengan sebuah sistem yang terintegrasi antara Baitulmaal dan Baitultamwil. Baitul maal, melalui Yayasan Ta’awun Kemanusiaan dan Baitultamwil melalui Koperasi Tani Sejahtera Indonesia.
Baca Juga: Ibu Rumah Tangga Bahagia: Kunci Kesuksesan Muslimah di Rumah
Yayasanlah yang akan membantu kebutuhan para binaan terhadap kesehatan, pendidikan, dan edukasi kewirausahaan, Koperasi akan mewadahi usaha bersama dari para anggota yang dikelola dengan amanah dan profesional. Saat ini sudah berdiri PT Cahaya Agro, yang saham mayoritasnya (60%) adalah milik para anggota koperasi dimana kaum dhuafa menjadi anggotanya.
Para anggota Koperasi dan binaan Yayasan terhimpun dalam sebuah kegiatan yang disebut program “MASTER”. (Majlis Ta’lim Ekonomi Terpadu). Master adalah kegiatan pemberdayaan dan pembinaan yang dibingkai dengan nilai-nilai keimanan kepada Allah SWT.
Visi Master adalah “Rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia di Bawah Naungan Ampunan Allah SWT (Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Chafur)”.
Master terdiri dari empat klaster berdasarkan anggotanya yaitu Master Ibunda, Master Ayahanda, Master Mahasiswa dan Master Taruna. Kegiatan master bisa dilakukan dimana saja, baik di masjid/musholla, rumah, kampus sampai di gubuk tengah sawah.
Baca Juga: Peran Muslimah di Akhir Zaman: Ibadah, Dakwah, dan Keluarga
Master Ibunda terdiri dari para wanita yang telah berkeluarga. Pengelompokan Master Ibunda berdasarkan kedekatan lokasi tempat tinggal.
Master Ayahanda terdiri dari para kepala keluarga. Pengelompokannya berdasarkan kedekatan lokasi tempat tinggal atau lokasi pekerjaan.
Sedangkan Master Mahasiswa anggotanya adalah para mahasiswa Pengelompokan berdasarkan kesamaan kampus masing-masing anggota. Sementara itu Master Taruna terdiri dari para pelajar dan remaja.
Salah satu anggota Master Ibunda, adalah Sofiah. Sebelum menjadi anggota Master, wanita ini membantu suaminya menjalankan lapak barang rongsokan, yang hasilnya tidak seberapa. Setelah ikut pelatihan, dia sudah bisa memilah-milah sampah dan membersihkan limbah plastik agar harganya lebih baik.
Baca Juga: Kesabaran Seorang Istri
Ibu tiga anak itu juga meminta anggota-anggota kelompoknya agar menjual sampah mereka kepadanya, sehingga hasilnya bisa menambah pendapatan keluarga anggota.
Sambil mengumpulkan sampah, wanita yang mengaku dulunya sangat ingin melanjutkan sekolahnya ke SMP itu, ikut belajar paket pendidikan bagi orang-orang putus sekolah. “Tidak ada batas umur bagi manusia untuk terus belajar,” katanya.
.
Ketika ditanya apa kendala utama dalam mewujudkan kepeduliannya kepada kaum dhuafa, Evy menyebut dua hal. Pertama, kekurangan sumber daya manusia (SDM) untuk mengelola program-program dan kegiatan-kegiatan pelatihan.
“Tidak mudah melakukan regenerasi, karena untuk ikut peduli dan menjadi relawan harus datang dari keinginan hati. Saya bersyukur kepada para relawan yang terus bergabung di sini, yang berangkat dari orientasi mereka terhadap perbaikan ekonomi umat,” kata Ketua Kelompok Wanita Tani “Nisa Mandiri” itu.
Baca Juga: Muslimat dan Dakwah, Menyebarkan Kebaikan Lewat Akhlak
Kedua, kecurigaan masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan dan ide-ide baru apalagi plus nilai-nilai keagaamaan. “Mereka bertanya-tanya, mau dibawa ke manakah kelompok-kelompok yang kami bentuk itu? Namun setelah mengenal mendalam dan mengikuti berbagai aktivitas, mereka terbuka dan bersemangat dengan keberadaan kami.”
Di akhir bincang-bincang kami, Evy mengaku masih banyak yang harus dikerjakan.”Impian kami masih panjang untuk mengangkat harkat para dhuafa tersebut guna menjadi pemilik perusahaan-perusahaan yang akan didirikan dan dikelola bersama-sama. Dari, Oleh, dan Untuk Anggota. “Harapan lami mereka akan menjadi (to become owners ) tuan di negeri ini” pungkas Evy. Amiin Ya Rabbal Alamiin. (T/R01/P3)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
* Illa Kartila adalah redaktur senior MINA. (Ia dapat dihubungi via Email:[email protected])
Baca Juga: Belajar dari Ibunda Khadijah RA, Teladan untuk Muslimah Akhir Zaman