Sebuah laporan Al-Monitor berjudul “Mengapa Hamas tetap berada di luar pertempuran terakhir di Gaza,” menyebutkan beberapa hal terkait taktik Hamas yang tidak ikut meluncurkan roket-roketnya bersama roket-roket dari Jihad Islam.
Eskalasi kali ini terjadi antara pendudukan Israel dan gerakan Jihad Islam, yang dimulai dengan pembunuhan Taysir al-Jabari, pemimpin Brigade Al-Quds, sayap militer Jihad Islam.
Laporan menunjukkan, pada tanggal 8 Agustus, Radio Makan Israel melaporkan, pada awal operasi militer ini, Israel mengklaim menyampaikan pesan kepada Hamas bahwa operasi ini tidak ditujukan untuk melawan gerakan tersebut.
Militer Israel juga meminta Hamas untuk tidak bergabung dengan Jihad Islam dalam pertempuran.
Baca Juga: RSF: Israel Bunuh Sepertiga Jurnalis selama 2024
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada tanggal 5 Agustus, juru bicara Hamas Fawzi Barhoum mengatakan, “Musuh Israel telah memulai eskalasi militer terhadap perlawanan di Jalur Gaza. Mereka harus membayar harga dan memikul tanggung jawab penuh atas eskalasi ini.” Demikian dikutip dari Al-Quds.com.
Barhoum menegaskan, “Semua sayap militer dari faksi-faksi perlawanan tetap bersatu dalam pertempuran melawan Israel.”
Terlepas dari Hamas tidak menggunakan persediaan roket strategisnya, dan tidak mengumumkan peluncuran roket apa pun ke Israel dalam pertempuran antara Israel dan Jihad Islam.
Laporan menunjukkan, keputusan Hamas untuk tidak berpartisipasi dalam pertempuran terakhir bukanlah yang pertama.
Baca Juga: Setelah 20 Tahun AS Bebaskan Saudara Laki-Laki Khaled Meshal
Pada 12 November 2019, ketika Israel membunuh Baha Abu al-Atta, pendahulu al-Jabari, pimpinan Jihad Islam di Gaza. Jihad Islam saat itu langsung membalas dengan menembakkan roket-roketnya ke Israel.
Namun, menurut laporan itu, “Hamas tidak meluncurkan roket ke Israel pada waktu itu, untuk menghindari eskalasi mengingat kondisi kehidupan yang buruk di Gaza,” kata pemimpin Hamas Basem Naim saat itu.
Menurut sebuah laporan yang dikeluarkan pada 8 Agustus di situs Hamas, Ismail Haniyeh, Kepala Biro Politik Hamas, memiliki kontak resmi dengan Mesir dan Qatar melalui intelijen Mesir dan Menteri Luar Negeri Qatar Muhammad bin Abdul Rahman.
Selain itu, Haniyeh juga menghubungi Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah, Tour Winesland.
Baca Juga: Al-Qassam Sita Tiga Drone Israel
Hassan Abdo, seorang penulis dan analis politik yang dekat dengan gerakan Jihad Islam, mengatakan bahwa membatasi pertempuran hanya tiga hari sebelum mencapai gencatan senjata adalah karena tekanan regional yang diberikan pada Jihad Islam.
Abdo mengatakan, Hamas memainkan peran penting dalam upaya mencapai gencatan senjata dengan berkomunikasi dengan mediator Mesir, Qatar dan PBB.
Abdo melihat bahwa tidak berpartisipasinya Hamas dalam pertempuran, lebih memberikan kesempatan kepada Jihad Islam untuk menunjukkan kemampuan militernya. Roket-roket Jihad Islam dipandang kurang seterkenal roket-roket Hamas. Ini dipandang dapat memberikan aksi yang lebih jelas di mata publik Palestina, yang memandang gerakan tersebut sebagai organisasi kecil dalam hal kemampuan militer.
Sementara, penulis politik yang dekat dengan Hamas, Iyad al-Qara’, mengatakan, “Hamas tidak bergabung dengan Jihad Islam dalam pertempuran baru-baru ini karena mereka percaya bahwa putaran konfrontasi ini tidak terkait dengan masalah nasional, termasuk masalah Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa, yang mendorong Hamas untuk meluncurkan pertempuran seperti Pedang Yerusalem (Sai al-Quds) seperti pada Mei 2021. (T/RS2/P2)
Baca Juga: Parlemen Inggris Desak Pemerintah Segera Beri Visa Medis untuk Anak-Anak Gaza
Sumber : al-quds.com
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Paus Fransiskus Terima Kunjungan Presiden Palestina di Vatikan