Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengapa Hidup Berjama’ah Adalah Keharusan Ruhani

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 52 detik yang lalu

52 detik yang lalu

0 Views

Hidup berjama'ah adalah syariat Islam (foto: ig)

DALAM kesunyian dunia modern yang kian individualistik, banyak orang lupa bahwa Islam tidak diturunkan untuk dijalankan sendirian. Islam adalah agama yang tumbuh dalam kebersamaan, hidup dalam ukhuwah, dan tegak dalam berjama’ah. Hidup berjama’ah bukan sekadar bentuk sosialitas, tapi ia adalah bagian dari syariat. Bukan sekadar anjuran, tapi kewajiban. Bukan pula sekadar pilihan, melainkan panggilan Ilahi yang tak bisa diabaikan oleh hati yang mengaku beriman.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang memisahkan diri dari jama’ah sejengkal saja, lalu mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim). Betapa keras peringatan ini. Bukan sekadar bahaya sosial, tetapi ancaman spiritual. Ini adalah panggilan kepada jiwa-jiwa yang rindu keselamatan, yang ingin hidup dalam pelukan rahmat dan wafat dalam barisan orang-orang yang diridhai Allah.

Mengapa hidup berjama’ah begitu ditekankan dalam Islam? Karena dari sinilah lahir kekuatan, perlindungan, dan keberkahan. Jama’ah bukan sekadar kelompok, tapi wadah peradaban. Ia adalah benteng akidah, madrasah akhlak, dan mercusuar perjuangan. Maka mari kita renungi bersama, mengapa hidup berjama’ah adalah kewajiban ruhani yang tak boleh disepelekan oleh setiap Muslim.

Hidup Berjama’ah Adalah Jalan Para Nabi

Sejak Nabi Adam عليه السلام, Allah menanamkan nilai-nilai kebersamaan. Adam tidak diciptakan sendiri untuk hidup menyendiri, tapi Allah menciptakan Hawa sebagai pasangan, sebagai teman, sebagai pendamping dalam ketaatan. Lalu lahirlah anak-anak, membentuk keluarga, dan keluarga berkembang menjadi komunitas. Sejarah manusia diawali dari jama’ah, bukan individualitas.

Baca Juga: Jejak Kesalehan Seorang Ayah, Cahaya yang Membimbing Generasi

Nabi Nuh عليه السلام membangun bahtera bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk menyelamatkan umatnya. Ia berdakwah dengan sabar demi menyatukan manusia di atas jalan tauhid. Nabi Ibrahim عليه السلام, walau disebut sebagai “umat seorang diri” (ummatan qaanitan), tidak berhenti mencari dan mengajak orang-orang kepada jama’ah iman. Bahkan Nabi Musa عليه السلام diutus untuk membebaskan Bani Israil dan memimpin mereka sebagai jama’ah menuju negeri yang dijanjikan.

Apalagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau tidak hanya membangun peribadi-peribadi saleh, tapi membangun umat yang kokoh dalam satu barisan. Hijrah ke Madinah adalah tonggaksejarah terbentuknya jama’ah Islamiyah yang terorganisir, yang memiliki struktur, imam, dan tatanan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menanamkan ukhuwah antara Muhajirin dan Anshar, menyatukan kabilah yang selama ini bermusuhan, dan membangun masjid sebagai pusat jama’ah, bukan hanya pusat ibadah.

Islam bukan agama yang memisahkan ruhani dari sosial. Shalat lima waktu, contohnya, lebih utama jika dilakukan berjama’ah. Puasa Ramadhan mengajarkan kita kesamaan rasa dan kebersamaan waktu. Zakat dan infak menumbuhkan kepedulian antar sesama. Haji adalah puncak persatuan umat dalam ritual dan ruhani. Tak satu pun ibadah utama dalam Islam yang lahir dari individualisme ekstrem. Semuanya memupuk keterikatan kita dengan sesama, dengan umat, dengan jama’ah.

Hidup berjama’ah adalah ruh syariat. Ia bukan opsi tambahan, tapi poros utama. Barang siapa menyendiri, ia akan rapuh. Tapi siapa yang berjalan dalam jama’ah, ia akan kokoh seperti bangunan yang tersusun rapi, saling menguatkan satu sama lain. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.” (Qs. Ash-Shaff: 4)

Baca Juga: Generasi Fatherless-Motherless: Ancaman Peradaban Masa Depan

Jama’ah adalah bentuk konkret dari ukhuwah dan persatuan. Ia bukan ide utopis, melainkan realitas yang diperintahkan oleh Allah dan diteladankan oleh para Nabi. Menyendiri, memisahkan diri dari jama’ah, bahkan disebut sebagai tanda kebinasaan. Sebagaimana serigala hanya memangsa domba yang keluar dari kawanannya, demikian pula setan hanya mampu menyesatkan orang-orang yang meninggalkan barisan umat.

Berjama’ah Jalan Menuju Ridha Allah

Di zaman penuh fitnah dan kegaduhan seperti sekarang, hidup berjama’ah menjadi pelindung ruhani yang tak tergantikan. Saat media sosial menjerat jiwa dalam kesepian yang riuh, saat dunia seolah penuh keramaian namun hati terasa hampa, jama’ah hadir sebagai rumah yang menenangkan, sahabat yang membimbing, dan cermin yang menyadarkan.

Jama’ah bukan sekadar tempat berkumpul, tapi tempat bertumbuh. Ia adalah sekolah kehidupan tempat kita saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran. Dalam jama’ah, kita belajar menundukkan ego, mengutamakan maslahat umat, dan mencintai karena Allah. Di sinilah keikhlasan diuji, kesabaran ditempa, dan cinta suci kepada sesama mukmin dipupuk.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tangan Allah bersama jama’ah. Barang siapa yang menyendiri, maka ia akan disesatkan oleh setan seperti halnya serigala yang menerkam kambing yang terpisah dari kawanannya.” (HR. Tirmidzi)

Baca Juga: Refleksi HTTS 2025: Indonesia Darurat Konsumsi Rokok

Betapa besar keberkahan dalam berjama’ah. Dalam jama’ah, doa lebih kuat, pertolongan lebih nyata, dan rahmat lebih luas. Allah menurunkan rahmat dan sakinah kepada kaum mukmin yang berkumpul dalam dzikir, dalam ta’lim, dalam perjuangan menegakkan Islam. Saat seseorang lemah, yang lain menguatkannya. Saat seseorang tersesat, yang lain menuntunnya kembali. Dalam jama’ah, kita menjadi cermin bagi saudara kita, penjaga bagi iman mereka, dan perisai dari godaan dunia.

Tak ada tempat paling aman di akhir zaman selain berada dalam pelukan jama’ah yang haq. Ketika dunia dilanda badai pemikiran liberalisme, materialisme, dan syubhat yang menyesatkan, hanya jama’ah-lah perahu penyelamat. Bersama imam yang lurus dan jama’ah yang istiqamah, kita akan menemukan ketenangan batin dan arah yang jelas menuju ridha Allah.

Jama’ah juga membentuk ketundukan yang terorganisir. Dalamnya ada disiplin, ada syura, ada kejelasan tujuan. Inilah miniatur masyarakat Islam yang sesungguhnya. Tanpa jama’ah, umat tercerai-berai. Tanpa kepemimpinan, umat terombang-ambing. Dan tanpa ukhuwah, kita akan dikalahkan satu per satu oleh musuh-musuh Islam.

Hari ini, ketika kita merasakan hati yang hampa, amal yang stagnan, dan hidup yang jauh dari keberkahan, bisa jadi itu karena kita telah jauh dari jama’ah. Kita terlalu sibuk membangun diri sendiri, hingga lupa bahwa Islam memerintahkan kita membangun umat. Kita terlalu bangga berjalan sendiri, hingga lupa bahwa keselamatan ada dalam barisan.

Baca Juga: Wisuda STISA Abdullah Bin Mas’ud, Spirit Regenerasi Kepemimpinan Berbasis Al-Qur’an

Hidup berjama’ah adalah panggilan dari Allah. Ia adalah rahmat yang dilupakan. Ia adalah jalan cahaya yang ditinggalkan oleh banyak orang. Padahal di situlah ridha Allah menanti. Di situlah Rasulullah ﷺ menggandeng tangan kita. Di situlah ruh kita kembali hidup, bersama saudara-saudara seiman yang saling mencintai karena Allah.

Mari kita jawab panggilan Ilahi ini. Mari kembali ke jama’ah yang haq, jama’ah yang menuntun kepada Al-Qur’an dan Sunnah, yang menjaga ukhuwah, yang membina akhlak, yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan yang mencintai kita bukan karena dunia, tapi karena ingin bersama hingga ke surga.

Karena hidup berjama’ah, sejatinya bukan pilihan. Ia adalah keharusan. Ia adalah panggilan suci dari langit. Dan hanya hati yang bersih dan ruhani yang sadar, yang akan menyambutnya dengan penuh cinta dan ketaatan.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Inilah Siksaan Bagi Orang Yang Selingkuh: Peringatan Keras Dari Allah dan Rasul-Nya

Rekomendasi untuk Anda