Mengapa Israel Serang Suriah?

Jet . (Foto: dok. Activist Post)

Selama Sabtu, 21 Oktober 2017, saling tembak lintas batas antara Israel dan terjadi, kian memanaskan permusuhan kedua negara.

Kedua negara saling menyalahkan ketika Israel menyerang meriam artileri Suriah. Israel mengklaim bahwa mereka merespon tembakan roket yang mendarat di Dataran Tinggi Golan Suriah yang diduduki Israel.

Namun, kekerasan dan ancaman lintas batas bukanlah hal baru. Telah terjadi serangan tit-for-tat yang hampir rutin dalam bentuk tembakan roket, pembunuhan dan serangan udara yang telah meningkat sejak perang Suriah dimulai pada tahun 2011.

Di saat tentara Israel telah sering menembaki posisi dan basis militer Suriah selama perang, pasukan pemerintah Suriah justru tidak pernah secara langsung membalas, meskipun Israel berspekulasi bahwa sebagian dari tembakan yang menyasar ke Dataran Tinggi Golan itu disengaja dari Suriah.

Jenis serangan apa yang terjadi?

Serangan Israel terhadap tentara Suriah terjadi secara sporadis dan umumnya dianggap terjadi saat ada tembakan nyasar ke Dataran Tinggi Golan, baik oleh tentara Suriah atau oleh oposisi dan milisi dukungan Iran.

Dalam kasus penembakan yang menyimpang, tentara Israel mengatakan bahwa pemerintah Suriah bertanggung jawab dan membalas dengan menembaki posisi pemerintah, terkadang tembakan itu jauh ke dalam wilayah Suriah.

“Kami akan menyerang siapa saja yang menyerang kami. Kami tidak akan menerima tumpahan. Jika mereka menyerang kami, kami akan balas, dan tidak memakan banyak waktu,” kata Perdana Menteri Israeal Benjamin Netanyahu setelah insiden penembakan 21 Oktober itu.

Menurut Ofer Zalzberg, pengamat senior Israel/Palestina untuk Kelompok Krisis Internasional, sejauh ini ada sekitar 20 serangan yang dilakukan oleh pejuang yang didukung Iran di perbatasan.

Dia yakin bahwa Israel juga membalas bila ada “penyeberangan” yang disengaja oleh oposisi Suriah yang mendorong Israel untuk menyerang militer Suriah.

Israel pada umumnya menolak untuk mengomentari serangan yang dilakukan di Suriah. Namun, dilakukan beberapa serangan terkenal berikut ini:

  1. Membunuh tiga pejuang pro-pemerintah Suriah di Quneitra, di dekat Dataran Tinggi Golan pada 23 April 2017.
  2. Serangan di pusat pasokan senjata yang dioperasikan oleh Hizbullah dekat bandara Damaskus pada 27 April 2017.
  3. Pengeboman sebuah depot fasilitas pemerintah Suriah yang dianggap terkait dengan produksi senjata kimia negara tersebut pada 7 September 2017.
  4. Membunuh beberapa pejuang Hizbullah, termasuk Jihad Mughniyeh, anak seorang pemimpin militer yang tewas dalam serangan udara di Quneitra pada 19 Januari 2015.
  5. Pembunuhan Samir Kuntar Hizbullah di pinggiran Damaskus pada 19 Desember 2015.

Mengapa begitu sering?

Suriah dan Israel secara teknis telah dalam keadaan perang sejak 1948, setelah pembersihan etnis Palestina dan perang Arab-Israel yang terjadi tahun itu.

Pada tahun 1967, Israel menduduki wilayah Suriah di Dataran Tinggi Golan dan terus menduduki sebagiannya sampai hari ini.

Kedua negara menandatangani sebuah perjanjian pelepasan pada tahun 1974 setelah perang 1973 antara Israel, Suriah dan Mesir.

Wilayah perbatasan tetap relatif sepi sejak saat itu, tapi letusan perang di Suriah mengeluarkan sebuah babak baru dalam hubungan Israel-Suriah.

Metamorfosis perang sangat penting untuk memahami peningkatan serangan semacam itu selama beberapa tahun terakhir.

Kekuatan dan pengaruh yang berkembang dari Iran dan Hizbullah di Suriah adalah perhatian utama Israel, sebuah ketakutan yang tidak disembunyikannya.

Pada tahun 2006, Israel dan Hizbullah melakukan perang berdarah 34 hari yang mengakibatkan kematian lebih dari 1.100 orang Lebanon, yang sebagian besar adalah warga sipil. Diperkirakan 159 orang Israel, termasuk 43 warga sipil, juga tewas akibat serangan roket Hizbullah.

Khawatir bahwa Iran mengirimkan senjata ke Hizbullah, Israel telah sering menargetkan konvoi senjata dengan mengatakan akan terus memblokir upaya untuk mendukung gerakan Lebanon itu.

Netanyahu menuduh Iran “mengubah Suriah menjadi basis pertahanan militer” dan ingin menggunakan Suriah dan Lebanon sebagai front perang untuk membasmi Israel.

Siapa yang bertanggung jawab?

Di saat pemerintah Suriah mengatakan bahwa Israel bekerja sama dengan “kelompok teroris” di Suriah, Israel balik menyalahkan tentara Suriah karena ada roket yang berasal dari daerah-daerah yang berada di bawah kendalinya.

Menurut pengamat, kedua negara yang harus dipersalahkan atas eskalasi kekerasan perbatasan.

“Jika Anda berbicara tentang hukum internasional, maka Israel harus disalahkan karena menyerang negara lain. Tetapi rezim Suriah juga terlibat dalam memprovokasi Israel dengan mendukung Hizbullah,” kata Sobhi Hadidi, seorang analis politik Suriah yang independen di Perancis.

Omar Kouch, pengamat politik Suriah mengatakan bahwa milisi Iran yang bertanggung jawab.

“Ketika mendekati perbatasan, dia (milisi Iran) tahu bahwa Israel akan menanggapi. Ketika meluncurkan rudal di perbatasan, dia tahu bahwa Israel akan menanggapi. Ketika mencoba untuk mengirim senjata ke Hizbullah, dia tahu bahwa Israel akan memblokir ini. Ini semacam permainan,” kata Kouch.

Para pengamat menilai, serangan-serangan tersebut tidak akan mengarah kepada perang penuh, tatapi kemungkinan serangan tit-for-tat hanya menyebabkan perang skala rendah.

“Rezim telah diserang oleh Israel selama bertahun-tahun dan tidak pernah merespon sekali pun,” kata Kouch, karena menurutnya pemerintah Suriah berada dalam posisi lemah vis-a-vis Israel.

Meskipun ada ancaman berulang dari Assad, termasuk yang terakhir dalam sebuah surat kepada PBB yang memperingatkan tentang “konsekuensi serius dari serangan agresif berulang tersebut”, pasukan pemerintah telah macet akibat perang enam tahun tersebut.

Namun, ada yang mengatakan bahwa eskalasi masa depan seharusnya tidak dikesampingkan.

Menurut Zalzberg, awalnya, Assad memilih untuk mengabaikannya, tapi semakin banyak keseimbangan pertempuran di Suriah yang menguntungkannya, semakin dia merasa mampu dan berkewajiban untuk membalas Israel. (A/RI-1/RS3)

 

Sumber: tulisan Zena Tahhan di Al Jazeera

 

Mi’raj News Agency (MINA)