Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengelola Kesehatan Mental di Era Digital: Antara Tantangan dan Solusi

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 1 jam yang lalu

1 jam yang lalu

0 Views

ERA digital menawarkan kemudahan luar biasa, namun di balik layar gawai, kesehatan mental kita sering terabaikan. (foto: ig)

ERA digital menawarkan kemudahan luar biasa, namun di balik layar gawai, kesehatan mental kita sering terabaikan. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat meningkatkan risiko depresi hingga 27%. Dunia maya yang semu membuat banyak orang membandingkan hidupnya dengan standar ilusi. Akibatnya, hati merasa hampa meski dikelilingi cahaya layar.

Hidup di tengah derasnya arus informasi memaksa otak bekerja tanpa henti. Data dari WHO mencatat bahwa 1 dari 8 orang di dunia mengalami gangguan mental, dan sebagian besar dipicu oleh stres digital. Notifikasi tanpa henti seringkali lebih berisik daripada suara hati sendiri. Kita lupa berhenti, lupa bernapas, dan lupa menyapa diri dengan kasih.

Media sosial yang awalnya diciptakan untuk menghubungkan manusia kini menjadi pemicu kesepian. Studi dari University of Pennsylvania menunjukkan bahwa membatasi penggunaan media sosial hingga 30 menit per hari menurunkan rasa cemas dan kesepian secara signifikan. Namun, berapa banyak dari kita yang mampu menahan jari dari scroll tanpa henti? Ironis, di era “terhubung”, banyak orang justru merasa paling sendiri.

Kesehatan mental bukan sekadar tidak adanya gangguan, melainkan hadirnya keseimbangan jiwa. Penelitian psikologi positif membuktikan bahwa rasa syukur dan mindfulness mampu memperbaiki kesehatan mental secara drastis. Namun, banyak orang lebih memilih mengejar validasi “like” daripada ketenangan batin. Kita kehilangan seni untuk hadir dalam momen yang sederhana.

Baca Juga: Menkes: Balita Sukabumi Meninggal Bukan karena Cacingan

Generasi muda adalah kelompok paling rentan dalam badai digital. Laporan dari American Psychological Association menunjukkan peningkatan kasus kecemasan pada remaja hingga 70% dalam satu dekade terakhir akibat penggunaan media sosial. Mereka tumbuh dengan layar, namun tidak selalu tumbuh dengan kasih sayang nyata. Kita lupa bahwa pelukan lebih menyembuhkan daripada emoji.

Tidur yang terganggu akibat penggunaan gadget adalah musuh besar kesehatan mental. Penelitian Harvard Medical School menegaskan bahwa paparan cahaya biru sebelum tidur menekan produksi melatonin hingga 50%. Akibatnya, tubuh lelah, pikiran kusut, dan emosi mudah meledak. Semua berawal dari layar yang tak rela ditinggalkan.

Namun, teknologi bukan musuh, ia hanyalah alat. Dalam jurnal Frontiers in Psychology, ditemukan bahwa aplikasi meditasi digital membantu ribuan orang mengurangi stres dan meningkatkan konsentrasi. Tantangannya bukan menolak teknologi, melainkan menggunakannya dengan bijak. Kita yang harus mengendalikan gawai, bukan gawai yang mengendalikan kita.

Mengatur waktu digital adalah salah satu solusi nyata. Studi dari University of California membuktikan bahwa orang yang rutin melakukan “digital detox” mengalami peningkatan kebahagiaan hingga 35%. Meletakkan ponsel sejenak bisa menjadi doa sunyi bagi jiwa yang penat. Kadang, istirahat dari layar adalah cara terbaik untuk menyembuhkan hati.

Baca Juga: Kesehatan Mental: Pilar yang Sering Terabaikan dalam Gaya Hidup Modern

Interaksi sosial nyata adalah vitamin terbaik untuk kesehatan mental. Penelitian dari Harvard Study of Adult Development, yang berlangsung lebih dari 80 tahun, menunjukkan bahwa hubungan sosial yang hangat adalah kunci kebahagiaan dan umur panjang. Sungguh, satu jam bercengkerama dengan keluarga jauh lebih bernilai daripada seribu menit di media sosial. Kasih sayang manusia nyata tak pernah bisa digantikan layar kaca.

Olahraga juga terbukti ampuh dalam menjaga kesehatan mental di era digital. Dalam jurnal The Lancet Psychiatry, ditemukan bahwa orang yang rutin berolahraga mengalami 43% hari-hari buruk mental lebih sedikit dibanding yang tidak berolahraga. Keringat yang menetes mampu mencuci resah yang menumpuk di pikiran. Saat tubuh bergerak, jiwa ikut menemukan kebebasan.

Spiritualitas dan ibadah adalah benteng terakhir yang tak tergantikan. Penelitian dalam Journal of Religion and Health menegaskan bahwa doa dan ibadah mampu menurunkan tingkat stres serta memberikan makna hidup lebih dalam. Saat dunia maya penuh kepalsuan, hanya hubungan dengan Tuhan yang menghadirkan kejujuran sejati. Jiwa yang tenang lahir dari hati yang bersandar pada-Nya.

Mengelola kesehatan mental di era digital adalah perjuangan setiap hari. Kita perlu kesadaran, disiplin, dan kasih pada diri sendiri agar tidak hanyut dalam gelombang maya. Teknologi bisa menjadi jalan berkah atau jurang gelap, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Mari kembali menata hidup, hadir untuk diri, orang lain, dan Tuhan, agar jiwa tetap utuh di tengah derasnya arus digital.[]

Baca Juga: Mengapa Kesehatan Tubuh Dimulai dari Apa yang Kita Makan?

Mi’raj News Agency

 

Baca Juga: Manis yang Menyehatkan: Mengungkap 7 Manfaat Tebu untuk Tubuh

Rekomendasi untuk Anda

MINA Health
MINA Health
Kolom
MINA Health
MINA Health