Mengembangkan Aneka-ragam Sumber Pangan Lokal Berbasis Komunitas (Bagian 1)

Dr. Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH & SDA MUI).(Foto: Doc. MINA)

Oleh: Dr. Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH & SDA )

Sistem pangan nasional yang tangguh dan kuat akan mendukung kesejahteraan masyarakat. Negara atau pemerintah memiliki banyak keterbatasan. Oleh karenanya pembangunan sistem pangan nasional sangat terkait dengan pembangunan ketangguhan sosial. Melalui ketangguhan masyarakat sosial kita, setiap turbulensi yang terjadi bisa dihadapi langsung oleh masyarakat.

Sayangnya masyarakat kita selama ini di didik dengan pola yang sentralistik, termasuk pola konsumsi yang secara kolektif merespon sesuatu dengan respon yang sama, berfikir secara homogen.

Budaya diversifikasi boleh dikatakan hilang dengan adanya industrialisasi dan impor, budaya diversifikasi pangan tererosi.

Seharusnya keberagaman cara berfikir yang dikembangkan sehingga memberikan keleluasaan dan kewenangan mengelola secara penuh kepada komunitas lokal guna membuat kebijakan pangan mereka secara berdaulat. Kekuatan sosial jauh lebih penting dbandingkan dengan kekuatan teknis.

 

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak azasi manusia.

Indonesia memiliki kekayaan alam yang luar biasa sehingga masyarakatnya bisa bercocok-tanam dengan sistem pertanian pangan yang beraneka-ragam sesuai dengan kondisi tanah, sumberdaya hayati, ragam budaya dan kebutuhan khas masing-masing masyarakat setempat.

Namun, sampai saat ini Indonesia masih saja bersandar pada beras sebagai makanan pokok, padahal Indonesia dikenal kaya akan keanekaragaman hayati yang potensial untuk berbagai sumber pangan yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan selera masyarakat lokal.

Tapi entah mengapa, beras sudah lama ditetapkan sebagai sumber makanan pokok bangsa ini, dimanapun is berada, apapun etnik, budaya dan selera makannya.

Selama ini diversifikasi pangan termasuk pangan lokal selalu terpusat kepada karbohidrat, karena pemikirannya adalah homogenisasi pada padi. Padahal kita juga sedang terancam dari diversifikasi untuk sumber protein.

Sebagai contoh: (1) ayam lokal sudah hampir sudah tergeser semuanya oleh ayam-ayam yang didatangkan dari industri, kemudian (2) ikan sebagai sumber protein hewani daratan itu sekarang sudah mulai terpinggirkan juga dari budaya masyarakat kita.

Baca Juga:  Pendudukan Israel Larang Pejabat UNRWA Masuki Gaza

Maka harus segera dan terus dicari terobosan agar diversifikasi pangan dapat tumbuh berkembang. Pertanyaannya, mengapa beraneka-ragam sumber pangan lokal itu seperti sulit bisa berkembang dan tak pernah bisa menjadi “makanan nasional” seperti beras? Apakah masalah ketergantungan Indonesia kepada beras itu hanya karena soal prioritas dan kebijakan pemerintah saja, atau ada faktor dan masalah lain yang membuat diversifikasi pangan itu seperti mustahil bisa terwujud dinegeri ini ?

Tulisan ini akan memberi gambaran umum tentang sistem pertanian pangan di Indonesia, menjelaskan mengapa tanaman beras menjadi begitu dominan sebagai sumber makanan pokok, serta mengulas mengembangkan diversifikasi pangan lokal berbasis sistem komunitas lokal (community based food farming system).

Sebuah simbiosis pertanian antara apa yang terbaik dari hubungan manusia dengan alam yang dilakukan berdasarkan kebutuhan pokoknya berlandaskan kearifan lokal komunitas tersebut.

1.Tren Dunia Dalam Mengkonsumsi Makanan Lokalnya

Dahulu kala, semua manusia mengonsumsi dari bahan pangan yang tumbuh disekitarnya, dan semua yang kita makan adalah pemberian dari bumi. Dari situ juga tumbuh berkembang beragam kearifan lokal.

Memiliki sesuatu untuk dimakan adalah suatu berkah. Hal ini juga mengingatkan kembali pada “masa lalu yang indah” ketika leluhur kita tidak memiliki kelimpahan harian yang disediakan oleh supermarket – mereka menggunakan keanekaragaman hayati pangan lokal dalam memenuhi kebutuhannya yang lebih sehat dan lebih banyak akal serta kreatif.

Selain itu, melalui praktik pertanian tersebut, masyarakat di tiap daerah akan mampu menjalankan sistem produksi pangan yang efisien, berkelanjutan, adil bagi kaum petani dan berintegrasi baik dengan ekosistem sekitarnya, sekaligus menjaga keanekaragaman hayati sumber pangan.

Guna mendorong pencapaian tujuan ini, konsumen perlu berperan dengan meningkatkan permintaan atas produk pangan lokal, membatasi penggunaan bahan kimia berbahaya dan berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi kaum petani dan produsen.

Namun secara global, varietas dan memelihara tanaman lokal dan hewan peliharaan telah sirna. Hilangnya keragaman, termasuk keragaman genetik, menimbulkan risiko serius bagi ketahanan pangan global karena rusaknya ketahanan sistem pertanian terhadap ancaman seperti hama, patogen, dan perubahan iklim.

Baca Juga:  Renungan Hardiknas 2024: Pendidikan Bermutu untuk Memperkuat Daya Saing Bangsa

Makin sedikit varietas dan budidaya tanaman dan hewan ternak, dibesarkan, diperdagangkan, dan dipelihara di seluruh dunia, meskipun ada banyak upaya lokal, yang termasuk yang dilakukan oleh masyarakat adat dan komunitas lokal.

Pada 2016, 559 dari 6.190 ternak peliharaan yang digunakan untuk pangan dan pertanian (lebih dari 9 persen) telah punah dan setidaknya 1.000 lebih terancam.

Selain itu, banyak rumpun tanaman liar yang penting untuk ketahanan pangan jangka panjang tidak memiliki perlindungan yang efektif, dan status konservasi rumpun liar dari mamalia dan burung peliharaan semakin memburuk.

Penurunan keanekaragaman hayati dari budidaya tanaman, rumpun tanaman liar dan ternak peliharaan akan mengurangi ketahanan agro-ekosistem terhadap perubahan iklim, hama dan patogen di masa depan (Hayu Prabowo, 2018).

2. Membangun Ketangguhan Sosial dan Pangan Nasional

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mendifinisikan sistem pangan berbasis masyarakat sebagai Sistem pangan yang memberikan keleluasaan dan kewenangan mengelola secara penuh kepada komunitas lokal guna membuat kebijakan pangan mereka secara berdaulat dalam mengelola produksi, penyimpanan, distribusi, serta konsumsi padi dan bahan pangan lainnya sehingga masyarakat lebih tahan atau lentur terhadap tantangan dan ancaman baik pasar maupun bencana (perubahan iklim, bencana alam dan lain-lain).

Diversifikasi pangan lokal sebagai akar kemandirian pangan perlu dibangun berdasarkan paradigma ekologi kebebasan, di mana lingkungan dipandang sebagai sumber nilai dan keidealan.

Diversifikasi pangan lokal penting bagi generasi era bonus demografi dalam membangkitkan peradaban. Eropa dan sekarang di makan usia tua, yang merupakan tantangan bagi kita, bagaimana mendorong generasi era bonus demografi ini supaya tidak ada dalam kerangka dominasi, bisa terlepas dari kolonialisasi termasuk dari kegandrungannya terhadap pangan-pangan impor.

Prasyarat kembali pada diversifikasi pangan lokal adalah kemandirian subyek, tiap orang itu harus benar-benar menyadari. Kemudian kemandirian komunitas, termasuk untuk layanan kemandirian lokal untuk komoditasnya. Kemandirian komunitas, kemandirian ekologis, kemandirian logistik, kemudian kemandirian bangsa.

Untuk memantapkan sistem pangan nasional, kemandirian dibangun dengan diversifikasi pangan pertama kali dilakukan melalui Kemandirian Subyek atau otonomi pangan petani. Selama pangan masih dikontrol oleh pemerintah maka tidak akan terealisasi kemandirian pangan. Hampir sepanjang kita dijajah era kolonialisme, tidak sedikit pemimpin daerah itu yang ikut menenggelamkan petani ke dasar jurang kesengsaraan. Karena mereka bermain dari upeti, bermain dari penyewaan sawah.

Baca Juga:  Ratusan Massa Gelar Aksi Solidaritas Palestina di Paris

Selain peningkatan produksi, tiap individu itu harus memiliki kesadaran untuk mengurangi konsumsi. Indonesia negara paling tinggi tingkat konsumsinya dibanding dengan negara-negara di Asia Tenggara. Indonesia rata-rata sekarang 125 kg/kapita/tahun. Dibandingkan dengan Vietnam dan Malaysia 70 kg/kapita/tahun, Thailand mendekati 60 kg/kapita/tahun.

Iwan Setiawan (2020) menyatakan bahwa bila otonomi pangan lokal dikembangkan maka akan terbentuk Kemandirian Lokal. Setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik spesifik. Mengambil contoh dari Turki dan India tadinya homogen juga terhadap gandum, tetapi pada perkembangannya sekarang menjadi negara yang mandiri dalam pangannya.

Dari Kemandirian Lokal akan akan berkembang menjadi Kemandirian Komunitas yang merupakan ruang sejati bagi implementasi otonomi pangan serta ruang berbagi & berkolaborasi (berinovasi) – bukan pada negara.

Contoh kongkritnya Ciptagelar yang sangat mandiri karena filosofinya produksi itu untuk konsumsi.

Pada tahap selanjutnya, sistem produksi pangan tersebut perlu didukung dengan Kemandirian Logistik untuk pemenuhan konsumsi. Logistik yang baik diperlukan untuk bisa saling bertukar antar daerah.

Saat ini rantai pasok pangan dari petani setidaknya ada 9 titik sampai ke konsumen. Ketika ada rantai yang terganggu maka selruh sistem akan terganggu yang mengakibatkan kerugian pada petani dan konsumen.

Dengan diterapkannya PSBB, maka ada gangguan distribusi terutama di level pedagang eceran dan pedagang grosir. Walaupun memang ada kemudian di kota-kota besar muncul penggunaan teknologi informasi dengan pesan antar pangan lewat ojek online. Sayangnya ini hanya muncul di beberapa wilayah kota belum di level desa.

Bila diversifikasi pangan dapat terwujud secara utuh maka akan terbentuk Kemandirian Komoditas atau kemandirian ekologis terjadi. Indonesia merupakan negara nomor dua untuk kekayaan biodiversitas daratan dan nomor satu untuk biodiversitas lautan atau perairan.

Tapi ironinya kita banyak mengimpor bahan pangan. Hal ini karena kita memandang rendah dan menggusur teknologi kearifan lokal dengan teknologi luar yang belum tentu cocok untuk daerah tertentu.(AK/R1/P2)

(bersambung)

 

Mi’raj News Agency (MIINA)

 

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.