Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengembangkan Aneka-ragam Sumber Pangan Lokal Berbasis Komunitas (Bagian 2)

Rana Setiawan - Jumat, 29 Desember 2023 - 06:07 WIB

Jumat, 29 Desember 2023 - 06:07 WIB

20 Views

Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA MUI) Dr Hayu Prabowo.(Foto: Dok. MINA)

Oleh: Dr. Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH & SDA MUI)

III. Kontribusi Diversifikasi Pangan Terhadap Pemantapan pangan/">Ketahanan Pangan

Secara umum diversifikasi pangan akan memberikan kontribusi terhadap kemantapan pangan/">ketahanan pangan. Menurut Yadi Heryadi (2020), pertama adalah peningkatan kapasitas produksi pangan.

Apabila konsumsi pangan terdiversifikasi menjadi bahan pangan sesuai dengan karakteristik lokalnya, termasuk lokasi, maka luas lahan baku khususnya pangan lokal akan meningkat karena tidak terfokus pada lahan sawah.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari

Diversifikasi makanan lokal akan meningkatkan perluasan di sentra-sentra produksi pangan ke lahan kering potensial. Berbudidaya di lahan kering berpotensi biaya lebih murah dibanding lahan sawah. Tetapi harus ada dukungan pemerintah terkait dengan infrastruktur pasar, transportasi, SDM, permodalan, teknologi pengolahan untuk memberikan nilai tambah).

Kedua adalah perbaikan dan peningkatan pendapatan petani melalui kewirausahaan pertanian kecil dan menengah masyarakat pedesaan, yang akan memperkuat ekonomi lokal dan akan langsung menggiatkan ekonomi lokal. Sehingga akan meningkatkan keadilan sosial dan pemerataan pendapatan dengan membentuk alternatif dari penguasaan pertanian oleh korporasi.

Bila sudah ada perluasan lahan kering yang potensial muncul sentra produksi yang baru harapannya adalah menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang baru, khususnya dilokasi yang dibuka.

Sekarang banyak petani-petani yang mengusahakan komoditas di lahan kering juga sudah mendaptkan manfaatnya dengan inftrastruktur yang lebih baik dari sebelumnya. Bertambahnya unit-unit usahatani penghasil pangan. Berdasarkan BPS 2018, Rumah Tanga Pertanian (RTP) saat ini adalah 26,14 juta, di mana 17,73 juta (67,82%) RTP Pangan.

Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman

Sehingga bila kemudian bergeser ke lahan kering sudah tentu unit usaha tani penghasil pangan akan jauh lebih besar dibanding hanya 17,73 juta RTP. Keseluruhannya akan mengkatkan peluang pendidikan dan pembelajaran untuk peningkatan pengalaman,

Ketiga akan meminimalisasi resiko dan juga ada berbagai tantangan adaptasi terhadap perubahan iklim, salah satunya adalah peningkatan konservasi air.

Bila sudah bergeser ke komoditas pangan  yang non beras, khususnya di pangan lokal, maka kebutuhan air untuk tanaman lahan kering akan lebih irit dibanding dengan sawah. Misalnya untuk menghasilkan 1 Kg beras memerlukan 1900 – 5000 liter air dibanding kentang 500-1500 liter air. Ketika komoditas pangan yang dikembangkan itu  adalah pangan lokal yang ditanam di lahan kering, dari sisi konsumsi air, akan meningkatkan produktivitas pertanian.

Selain itu dengan mengkonsumsi pangan lokal akan berdampak positif pada lingkungan hidup, termasuk mengurangi emisi untuk transpor, menjaga pelestarian varietas lokal dan keanekaragaman hayati  melalui kearifan lokal, mengurangi sampah karena makanan ditanam secara lokal dan dikirim lebih cepat, lebih sedikit yang rusak saat menuju meja makan.

Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah

Kesadaran seperti ini akan membawa konsekuensi pada perubahan pola atau gaya kehidupan kita sebagai warga masyarakat dalam kaitannya dengan kebutuhan generasi masa depan. Karena selama ini hubungan kita dengan alam hanya bisa “mengambil”, tidak pernah “mengembalikan” apapun kepada alam.

Perilaku tersebut merupakan sesuatu yang amat bertentangan dengan semua kearifan yang ada di bumi ini. Yakni kearifan lokal yang dibawa oleh kelompok dan komunitas tradisional dalam merawat planet bumi di era globalisasi dewasa ini.

IV. Persoalan Diversifikasi Pangan Lokal

Sistem pangan nasional yang tangguh dan kuat akan mendukung kesejahteraan serta kebaikan umat manusia. Pembangunan sistem pangan nasional sangat terkait dengan pembangunan ketangguhan sosial.

Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia

Sistem merupakan bagian yang saling berhubungan yang berada dalam satu kesatuan tertentu atau wilayah tertentu yang memiliki komponen-komponen penggerak yang ada pada masyarakat sosial. Kekuatan sosial itu adalah kekuatan pada yang timbul terutama saat masyarakat didera oleh turbulensi, seperti Covid-19 ini.

Negara atau pemerintah memiliki banyak keterbatasan. Seandainya saja masyarakat sosial kita memiliki ketangguhan, turbulensi ini akan bisa dihadapi langsung oleh masyarakat kita.

Sayangnya masyarakat kita selama ini didik dengan pola yang sentralistik, termasuk pola konsumsi. Tadinya kekuatan sosial itu ada pada keragaman masyarakat kita serta kearifan lokal sebagai kelebihan masing-masing daerah. Tapi dalam kehidupan kita bernegara selama ini justru menghilangkan keberagaman tersebut dengan menseragamkan pola konsumsi secara sentralistik.

Imam Mujahidin Fahmid (2020) berpendapa bahwa akibat pola homogenisasi bahan pokok makanan yang sentralistik tersebut kita mengalami, pertama, Defisit Inovasi.

Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis

Masyarakat kita mengalami semacam kehilangan kreativitas untuk merancang bangun perspektif tentang kehidupannya. Semuanya diatur, semuanya diberikan gambaran secara topdown oleh pemerintah.

Saatnya bagi kita menghidupkan kembali sistem-sistem sosial yang ada di masyarakat kita dengan menggunakan kekuatan-kekuatan lokal. Jadi sistem pangan nasional melalui lumbung pangan desa, lumbung pangan kecamatan, lumbung pangan kabupaten dan provinsi.

Pemerintah Pusat hanya mengatur regulasi agar terjadi keseimbangan pangan di Indonesia, misalnya kalau terjadi ketimpangan pangan akan sama-sama berkoordinasi dengan kekuatan-kekuatan lokal yang ada. Jadi pemerintah pusat semestinya sudah harus melakukan, merumuskan neraca pangan nasional berbasis pada sumberdaya sosial yang ada pada masing-masing daerah, tidak ditentukan oleh pusat.

Pusat menyusun neraca pangan nasional dengan melihat potensi yang ada di bawah kemudian di naikan ke atas, misalnya desa A menyusun sendiri tentang sistem pangan, Kecamatan B menyusun sendiri apa yang kurang apa yang kelebihan apa yang lebih nanti akan kita tukarkan dengan kecamatan di sebelahnya atau kabupaten di sebelahnya. Sehingga terjadi keterkaitan atau keterhubungan secara  ekonomi dan sosial, antara satu kabupaten yang lain dan kabupaten yang lain.

Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global

Jadi mereka akan memiliki ketergantungan tidak perlu diatur pemerintah pusat. Misalnya kalau terjadi kekurangan pangan di Papua, Bupati dan Gubernur itu punya tanggung jawab yang paling utama untuk memastikan agar kebutuhan pokok rakyat nya terpenuhi, bukan diatur dari pemerintah pusat.

Jadi polanya itu harus dari bawah ke atas (bottoms-up) bukan top-down.  Pola sistemnya harus menggabungkan dari sistem-sistem sosial yang ada yang paling bawah, naik yang meso, naik yang makro yang akan berjalan secara alamiah semestinya karena mereka memiliki level-level sosial yang sudah terbentuk dan mereka pada umumnya tidak akan pernah melanggar posisi itu.

Bila posisinya di bawah dia akan mengatur dirinya di bawah. Kemudian dikembangkan ke level yang lebih luas mereka akan mengatur posisinya juga pada level yang lebih luas.(AK/R/P1)

(bersambung)

Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
MINA Preneur
Sosok