Oleh: Dr. Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLH & SDA MUI)
Tidak perlu menyusun sesuatu sistem logistik nasional yang sifatnya sentralistis. Tapi yang perlu dilakukan adalah membuat neracanya, melalui format serta formulasi sumberdaya sosial yang ada di bawah.
Masyarakat akan mengatur dirinya sendiri, seperti apa yang terjadi pada gejala biologis yang ada secara alamiah di masing-masing daerahnya. Jadi harus berusaha menghindari intervensi yang terlalu jauh yang belum tentu cocok dengan sistem sistem-sistem sosial dan sistem sistem alamiah secara biologis dan secara fisik yang ada di tengah masyarakat.
Jadi perlu dipertimbangkan agar sistem pangan nasional itu basis utamanya itu ada pada masyarakat. Bila masyarakat sudah tidak memiliki kemampuan untuk menjaga sistem itu, kalau sistem sosial terjadi masalah, baru pemerintah ikut terlibat di dalamnya. Itulah fungsinya negara untuk memastikan agar sistem sosial itu terus berjalan.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Kedua, kehilangan kearifan lokal yang merupakan teknologi yang telah dikembangkan masyarakat secara turun temurun. Kita harus belajar pada masyarakat bagaimana mereka selama ini secara kolektif merespon semua turbulensi, bukan dengan pola yang ditawarkan oleh pihak luar.
Dalam pendekatan ini, pemerintah hanya akan melakukan kontrol pada sistem yang ada, melihat di mana yang lemah pada sistem itu, untuk dilakukan intervensi.
Pemerintah perlu belajar pada kenyataan sosial dari peristiwa yang benar-benar terjadi secara alamiah di masing-masing daerah. Jadi pemerintah tidak membawa modulnya sendiri untuk disuguhkan kepada masyarakat, tapi harus beradaptasi dengan masyarakat dengan mengekstrak mana sistem sosial yang baik, mana sistem sosial yang rapuh, atau mana sistem sosial yang belum ada.
Prioritas utama adalah meletakkan kapasitas sosial yang adaptif dengan semua perkembangan yang ada. Setelah itu barulah diikuti dengan peningkatan kapasitas teknis, misalnya melakukan improvisasi tentang produksi & pengolahan pangan serta penyiapan alternatif makanan lokal.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Dengan sendirinya kalau terjadi apa-apa, akan memilih sumber daya tidak dengan mereka. Tidak ada satu formula yang bisa digunakan untuk semua, kita membutuhkan banyak formula, banyak ragam pilihan yang merupakan refleksi kenyataan sosial di Indonesia.
Keragaman sosial ini termasuk keragaman cara berpikir serta ide dasarnya. Kita perlu memberikan penghargaan terhadap ide-ide yang berbeda itu. Semua orang punya pengetahuan, kita tidak menjejali pengetahuan, yang kita anggap benar padahal belum tentu benar dan bisa diterima oleh masyarakat. Tingkat penerimaan masyarakat isangat ditentukan oleh sosial embeded yang ada dalam mereka, apa yang melekat dalam kebudayaannya, kebiasaannya dan lain sebagainya.
Ketiga, menurunkan peran masyarakat petani yang ada di pelosok-pelosok itu sebagai pemain utama.
Mestinya peran masyarakat petani tersebut perlu ditumbuhkembangkan. Pemerintah dan para ahli hanyalah aktor pendamping atau aktor bayangan untuk membawa petani kepada arah yang mereka inginkan, bukan kepada arah yang pemerintah pikirkan.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Ini menjadi penting karena kita sedang memikirkan bagaimana membangun sebuah sistem, membangun sebuah pola yang bernama pangan nasional. Jadi kita harus banyak belajar, harus banyak mengetahui apa yang ada di masyarakat kita, dan dapat dipastikan itu akan sangat variatif, itu sangat berbeda antara satu entitas sosial dengan entitas sosial yang lain.
Untuk mewujudkan situasi dimana rakyat punya kedaulatan atas pangannya sendiri, perlu didorong agar masyarakat punya kontrol atas sumber-sumber produksi pangan. Kemudian ada gerakan rakyat terhadap perbaikan kebijakannya dalam konteks pangan pertanian.
V. Tantangan Teknis Membangun Kembali pangan/">Diversifikasi Pangan
Agar pangan lokal memiliki daya kompetitif yang mumpuni, tidak hanya harus mantap di suplai pangannya, tetapi juga harus memiliki keunikan sebagai sustainable competitiveness (daya saing berkelanjutan) untuk mengulangi kejayaan kita. Namun beberapa persoalan dalam membangun kembali pangan/">diversifikasi pangan diantaranya, pertama, Erosi budaya. Sejak preanger stelsel, tanam paksa kopi yang diberlakukan di wilayah Parahyangan pada tahun 172, budaya diversifikasi boleh dikatakan itu hilang dari masyarakat. dengan adanya industrialisasi dan impor, budaya pangan/">diversifikasi pangan tererosi.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Termasuk beternak dan budidaya ikan tererosi dari ruang formal, non formal dan informal. Ketika akan dibangkitkan, kembali pengembangan varitas lokal akan kesulitan untuk bisa membudayakannya dan dari mana memperoleh benihnya. Ini erosi budaya yang luar biasa, ketika muncul teknologi pangan baru tanpa disadari teknologi-teknologi pangan lokal ini melemah.
Paradoks dengan itu, terigu yang tidak sejengkal pun ada di kita lahannya, selama 30 tahun di literasikan, ditanamkan dari dari buaian sampai sekarang itu melembaga. Jawa Barat menjadi nomor dua untuk pangan mengalahkan komoditas lokal.
Kedua, Under Value yaitu penilaian rendah generasi terhadap ragam pangan lokal. Hal ini karena kita sudah dimanjakan dengan beras dan dengan pangan impor terutama terigu atau mie instan. Ini adalah implikasi minimnya literasi, secara formal, non-formal, maupun informal. Kita tidak mengajarkan di sekolah, kita tidak mengimbangi anarkisme modernitas dan impor dengan melakukan counter hegemony. Banyaknya impor terigu karena desakan konsumsi masyarakat terhadap makanan cepat saji, ini bisa dialihkan untuk mencintai produk pangan lokal.
Program pangan/">diversifikasi pangan dan peningkatan sumber pangan lokal perlu terus kita sosialisasikan agar masyarakat terbiasa mengonsumsi dari sumber pangan lokal. Untuk itu perlu terus mendorong modernisasi dan bisnis pangan berbasis pangan lokal.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Ketiga, Degradasi Ekologis, dimana keragaman pangan lokal sudah tererosi, baik dari ekosistem maupun sosiosistem. Untuk karbohidrat, kita hanya puas kalau makan nasi.
Walaupun sudah makan singkong, talas dan sebagainya, kita menyebutnya belum makan. Ini masalah literasi ke masyarakat.
Kemudian sumber protein hewani maupun sumber protein nabati, boleh dikatakan melemah oleh homogenisasi, melalui bahan impor dan produk-produk industri. Ini bukan hanya di Jawa tapi boleh dikatakan di seluruh Indonesia.
Keempat, Langka, karena pangan lokal itu sudah tidak melembaga sehingga benih atau bibit nya tidak mudah untuk didapat ketika ketika orang mulai tertarik untuk mengembangkannya.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun
Kemudian langka karena tereduksi oleh keseragaman sehingga ditinggalkan. Misalnya kacang-kacangan atau biji-bijian dimana dalam sejarah Jepang maupun dalam sejarah Korea Selatan ada yang disebut dengan sindrom Jepang, itu pergeseran pola konsumsi dari yang tadinya bias pada padi kemudian bergeser kepada serealia non-padi dan itu terjadi sekarang di Korea Selatan.
Kenapa konsumsi beras sangat minim karena mereka itu mengkonsumsi beragam serealia. Kita pun sekarang sudah mulai tumbuh terutama di generasi era bonus demografi, generasi milenial ini harus dibangun.
Kelima, Sulit Diakses, pangan-pangan lokal (segar maupun olahan) sulit diakses, baik di supermarket, pasar, toko-toko maupun warung-warung. Menghambat individu maupun industri (UMKM) untuk mendapatkannya, bahkan menjadi mahal ketika dilembagakan. Ini meskipun dilakukan upaya untuk itu kemudian masyarakat di daerah didorong untuk melakukan diversifikasi, tapi kata masyarakat di mana kita bisa mendapatkan?
Kemudian konsistensi, kita masih ingat sampai sekarang ada tepung mocaf terbuat dari tapioka yang setara dengan terigu, tetapi tidak ada konsistensi dari pemerintah untuk menginternalisasikan di masyarakat. Padahal itu diproduksi oleh UMKM.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Di satu sisi sulit diakses terutama untuk pangan lokal segar maupun olahan. Kalau kita masuk ke supermarket kita susah mendapatkan ganyong untuk karbohidrat. Atau misalnya mencari ikan lokal, lele lokal susah juga, yang ada pasti produk industri atau produk-produk institusi.
Keenam, Murah, harga pangan lokal sangat murah karena rendahnya permintaan, sehingga tidak menarik untuk dikembangkan. Murah karena tidak ditingkatkan nilai tambahnya. Kita sedih rendahnya harga singkong.
Bagi petani lahan kering, singkong itu dipanen pada saat usia umurnya 8 sampai dengan 9 bulan, bahkan disimpan sampai 10 bulan. Itu bukan untuk keuntungan tapi cadangan pendapatan modal petani untuk usaha tani berikutnya, karena sangat murahnya. Sekarang jagung lumayan, tetapi pada umumnya pangan-pangan lokal ini dihargai murah karena memang tidak melembaga.
Ketika kita mewacananakan kembali kepada pangan/">diversifikasi pangan lokal, sesungguhnya kreasi dan anarkisme kapitalisme sedang dipersiapkan juga.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Maka kita harus hati-hati karena pada perkembangannya keragaman pangan tidak diserang frontal oleh anarkisme tersebut, tetapi dihabiskan melalui sibernetik konsumen, konsumen yang dikejar supaya ketergantungan terhadap impor misalnya, diserang dengan iklan, parallelism, simbol hiperrealitas kemudian hiperrealitas yang disajikan oleh media-media, bukan hanya di media-media massa tetapi juga di media media elektronik dan juga masuk di media digital.(AK/R1/P2)
(bersambung)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga