DI TENGAH gelombang berita buruk dari Gaza, satu kabar baik berangkat dari laut: Global Sumud Flotilla kembali disiapkan untuk berlayar. Ini bukan sekadar armada kapal sipil; ini adalah deklarasi moral lebih 44 negara bahwa blokade Gaza, yang telah berlangsung lebih dari 17 tahun, harus diakhiri.
Dalam bahasa Arab, sumud bermakna keteguhan, kesabaran, dan ketegaran; tiga kata yang merangkum tekad jutaan orang yang menolak melihat Gaza terus dicekik.
Di Asia, Sumud Nusantara mengonsolidasikan organisasi kemanusiaan dari sembilan negara, yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Maladewa, Bangladesh, Bhutan, Thailand, Sri Lanka, dan Pakistan, untuk mengirim delegasi dan logistik.
Mereka bergerak dari darat, menyatu di laut, lalu mengangkat layar bersama armada global menuju Mediterania Timur. Pesannya sederhana namun tegas: No more silence. No more siege (Tak boleh lagi ada pembiaran, jangan ada lagi blokade).
Baca Juga: Tragedi 21 Agustus, Masjid Al-Aqsa Dibakar Ekstremis Zionis Australia
Jejak Panjang Perlawanan Damai Melalui Laut
Gerakan Flotilla bukanlah sesuatu yang baru. Dunia masih mengingat kapal Mavi Marmara pada 2010, yang menjadi ikon perlawanan damai terhadap ketidakadilan.
Saat itu, ratusan aktivis internasional mencoba memecah blokade Gaza untuk mengirim bantuan, namun konvoi tersebut diserang oleh militer penjajah Zionis Israel, menewaskan sembilan orang dan melukai puluhan lainnya.
Tragedi itu menjadi sorotan global, memperlihatkan kerasnya tembok politik dan militer yang mengurung Gaza, sekaligus menegaskan bahwa solidaritas kemanusiaan bisa mengguncang opini dunia.
Baca Juga: Shepherd Leadership, Gaya Kepemimpinan yang Terpinggirkan di Era Modern
Sejak itu, berbagai konvoi kemanusiaan melalui laut terus diorganisir, menunjukkan konsistensi perlawanan damai terhadap blokade yang melanggar hukum internasional.
Kini, Global Sumud Flotilla 2025 melanjutkan estafet itu dengan dimensi yang lebih besar. Puluhan kapal dari Asia, Afrika, hingga Eropa direncanakan berlayar, menyatukan berbagai bangsa dalam sebuah narasi tunggal: Palestina adalah luka kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab bersama dunia.
Mengapa jalur laut?
Pertanyaan ini sering muncul: mengapa bantuan tidak dikirim melalui jalur darat? Jawabannya sederhana: karena penjajah Zionis Israel telah menutup semua jalur darat dan udara Gaza dengan pengawasan ketat. Jalur Rafah yang menghubungkan Gaza dan Mesir pun kerap dibatasi atau bahkan ditutup dalam jangka panjang.
Baca Juga: Refleksi 17 Tahun AWG: Bergerak Berjamaah Buka Blokade Gaza, Bebaskan Al-Aqsa, dan Palestina
Bantuan yang masuk melalui jalur resmi sering kali ditunda, dibatasi, bahkan berisiko dialihkan menjadi jebakan yang mematikan. Atas dasar itu, jalur laut dipandang sebagai satu-satunya alternatif untuk menembus blokade secara langsung.
Namun, lebih dari sekadar distribusi logistik, jalur laut ini membawa simbol politik yang kuat. Setiap kapal yang berlayar adalah pernyataan bahwa dunia tidak tinggal diam terhadap pengepungan kolektif yang memutus 2,3 juta warga Gaza dari kebutuhan dasar hidup: pangan, obat-obatan, listrik, dan air bersih.
Karena koridor darat nyaris buntu dan udara dikendalikan ketat, akses bantuan ke Gaza berulang kali tertahan, dipangkas, bahkan berujung mematikan. Jalur laut lalu dipilih sebagai alternatif kemanusiaan dan simbol politik: setiap kapal adalah seruan agar blokade berhenti. Flotilla membawa makanan, logistik, dan obat-obatan dengan kapal-kapal sipil kecil yang muatannya mungkin terbatas, tetapi dampak politik dan kemanusiaannya besar. Sejarah menunjukkan, intervensi berbasis flotilla dapat memaksa dibukanya celah-celah bantuan yang sebelumnya tertutup rapat.
Fakta Terbaru Skala Krisis
Baca Juga: Israel Raya dan Mimpi Gelap Zionisme: Ancaman Global yang Mengintai Umat Manusia
Agar advokasi tidak berhenti sebatas seruan moral, inilah angka-angka terkini yang menegaskan urgensi misi kemanusiaan di Gaza.
Kelaparan meluas. Analisis Integrated Food Security Phase Classification (IPC) yang didukung PBB menegaskan lebih dari 500.000 warga Gaza kini terperangkap dalam kondisi kelaparan ekstrem, dengan proyeksi penyebaran dari Kota Gaza ke Deir Al-Balah dan Khan Younis dalam beberapa pekan ke depan. WHO pada 22 Agustus 2025 memperkuat temuan tersebut: situasi ini telah mencapai definisi teknis famine, yang berarti kelaparan massal yang ekstrem dan meluas hingga menyebabkan angka kematian tinggi dalam suatu populasi.
Sementara kematian akibat gizi terus meningkat. WHO mencatat 74 kematian terkait malnutrisi hingga akhir Juli 2025, 63 di antaranya hanya dalam bulan Juli, termasuk 24 balita, 1 anak di atas lima tahun, dan 38 orang dewasa. Angka itu diperbarui menjadi 99 kematian per 29 Juli, sementara Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan jumlah yang lebih tinggi.
Anak-anak di ujung krisis. UNICEF melaporkan lebih dari 5.000 anak terdiagnosis malnutrisi pada Mei 2025, meningkat hampir 50% dibanding April, dan melonjak 150% sejak Februari, ketika jeda kemanusiaan sementara memungkinkan aliran bantuan. UNICEF menegaskan, kondisi terburuk “sedang berlangsung” bagi anak-anak.
Baca Juga: Napas Perjuangan Umat dan Perlawanan Rakyat Palestina
Sistem kesehatan runtuh. OCHA mencatat 44% permohonan tim medis darurat internasional (EMT) ditolak pada paruh Juni, memperparah fasilitas yang sudah bekerja jauh melampaui kapasitas. UNRWA menambahkan, bahan bakar tidak diizinkan masuk sejak 2 Maret 2025, membuat rumah sakit lumpuh, listrik padam, dan air bersih sulit diakses.
Air menjadi barang mewah. Pada paruh pertama Juni, UNRWA hanya mampu menyalurkan 26.500 m³ air untuk sekitar 88.000 orang, setetes di samudra kebutuhan bagi 2,3 juta jiwa.
Pengungsian tanpa henti. Ratusan ribu orang kembali terusir akibat perintah evakuasi dan operasi militer sepanjang Juli–Agustus, menambah kerentanan pada aspek pangan, air, hingga kesehatan publik.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik; ini potret kehidupan yang ditahan di ambang. Mereka menjelaskan mengapa koridor kemanusiaan laut, dengan seluruh risiko, tetap relevan dan mendesak.
Baca Juga: Penjajahan di Palestina: Potret Perjuangan Panjang yang Juga Pernah Dirasakan Indonesia
Apa yang Dibawa Armada Sumud Flotilla?
Kapal-kapal dalam armada ini tidak sebesar kapal kargo niaga atau tanker minyak. Mereka adalah kapal-kapal sipil kecil yang sarat makna simbolik. Bantuan yang diangkut berupa makanan, logistik, dan obat-obatan, cukup untuk menegaskan bahwa solidaritas internasional bukan isapan jempol.
Lebih dari itu, kehadiran armada adalah sebuah bentuk pressure politics, tekanan moral kepada pemerintah-pemerintah dunia untuk tidak menutup mata terhadap blokade Gaza. Sejarah membuktikan, meskipun bantuan yang sampai tidak dalam jumlah masif, kehadiran armada flotilla mampu memaksa pembukaan jalur bantuan.
Contohnya, pasca insiden Mavi Marmara, Mesir pernah membuka penyeberangan Rafah tanpa syarat. Begitu pula pada misi-misi terbaru, di mana meski kapal diadang, efek domino diplomasi membuat jalur masuk bantuan ke Gaza dibuka secara terbatas.
Baca Juga: Solidaritas Umat Islam Sejak Awal Kemerdekaan Indonesia
Rencana Perjalanan Global Sumud Flotilla 2025
Agenda tahun ini terjadwal dengan rinci. Pada 31 Agustus 2025, kapal akan berangkat dari Barcelona, Spanyol. Disusul kemudian pada 4 September 2025, rombongan lain bertolak dari Tunisia. Seluruh armada dari berbagai titik keberangkatan dijadwalkan berkumpul di Laut Mediterania pada 5 September 2025, untuk kemudian bergerak bersama menuju Gaza.
Di Asia Tenggara, Sumud Nusantara menjadi motor penggerak regional. Aliansi kemanusiaan dari sembilan negara Asia, turut mengirim delegasi. Rangkaian konvoi darat Sumud Nusantara mengarusutamakan kampanye publik dari berbagai wilayah di Indonesia, Maladewa, Sri Lanka, hingga Thailand, sejak 15 Agustus 2025. Sementara puncak kegiatan Sumud Nusantara, pada 22-24 Agustus, konvoi darat di Malaysia, digelar dalam empat zona, seperti dari Kelantan hingga Kuala Lumpur, sebelum bergabung dengan armada global. Inisiatif tersebut menyatukan organisasi lintas iman dan negara, menegaskan bahwa Palestina adalah isu kemanusiaan universal, tidak dibatasi identitas.
Bagi Indonesia, partisipasi ini bukan hal baru. Aqsa Working Group (AWG), misalnya, menjadi salah satu penggerak utama yang mengoordinasikan dukungan masyarakat Indonesia. Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memikul tanggung jawab moral untuk terus bersuara bagi Palestina.
Baca Juga: Ambisi “Israel Raya” Netanyahu, Bahaya Bagi Palestina, Ancaman Bagi Dunia
Flotilla membawa dua lapis pesan. Pertama, pesan kemanusiaan: ada orang-orang yang kelaparan, sakit, dan kehausan, dan bantuan harus masuk sekarang. Kedua, pesan kebijakan: hukuman kolektif melalui pengepungan melanggar hukum humaniter internasional; pemerintah-pemerintah yang memiliki pengaruh wajib mendorong gencatan senjata berkelanjutan, akses kemanusiaan tanpa hambatan, dan pemulihan layanan esensial (listrik, air, bahan bakar, fasilitas kesehatan). Tanpa tiga hal ini, semua angka di atas akan bertambah buruk dari minggu ke minggu.
Mengubah gelombang: apa yang bisa dilakukan?
Advokasi publik efektif ketika berbasis data dan diteruskan ke pengambil keputusan. Ada tiga langkah praktis:
Dorong pemerintah untuk mengakui temuan IPC/WHO dan menuntut akses kemanusiaan yang aman dan berkelanjutan, termasuk penerbitan izin bagi EMT internasional serta pemasukan bahan bakar bagi rumah sakit, air, dan sanitasi.
Baca Juga: Solidaritas 80 Tahun HUT RI, Bersama Sumud Flotilla Tembus Blokade Gaza
Dukung armada kemanusiaan, baik melalui kontribusi logistik, advokasi hukum maritim, maupun pengawalan diplomatik, agar flotilla dapat berlayar tanpa intimidasi dan membawa pesan ke pelabuhan-pelabuhan yang strategis.
Perluas koalisi lintas iman dan profesi. Fakta bahwa dukungan juga kuat dari komunitas non-Muslim di sejumlah negara menunjukkan ruang persatuan yang perlu diperbesar demi hasil kebijakan yang nyata.
Layar yang membawa harapan
Global Sumud Flotilla dan Sumud Nusantara tidak mengklaim diri sebagai pahlawan. Mereka adalah pengingat, bahwa di balik angka-angka statistik, ada manusia yang menunggu air bersih, listrik untuk alat bantu napas, dan makanan untuk bertahan sehari lagi. Ketika jalur darat macet dan udara terkunci, laut menjadi kalimat terakhir yang masih bisa diucapkan kemanusiaan.
Baca Juga: Merawat Rahmat Kemerdekaan Republik Indonesia
Kini, ketika layar siap dikembangkan dan kapal-kapal kecil bersiap menuju Mediterania, pilihannya jelas: diam atau ikut mendorong perubahan.
Blokade Gaza telah berlangsung lebih dari 17 tahun. Generasi demi generasi lahir dalam keterkungkungan, tanpa pernah merasakan kebebasan yang layak dimiliki setiap manusia. Dunia tidak boleh lagi berpura-pura tuli terhadap jeritan Gaza.
Global Sumud Flotilla dan Sumud Nusantara adalah pengingat bahwa perjuangan Palestina adalah perjuangan kemanusiaan dunia. Armada ini mungkin hanya membawa kapal-kapal kecil, namun pesan yang dikibarkan jauh lebih besar daripada muatannya: blokade Gaza harus diakhiri.
Kini, saat layar sudah terkembang dan angin perubahan mulai berhembus, pertanyaan yang tersisa adalah: apakah dunia akan tetap diam, atau ikut mengangkat suara untuk membebaskan Gaza?
Saatnya kita bersatu, memperkuat solidaritas, dan menegaskan bahwa Palestina tidak pernah sendirian.
Dukung misi kemanusiaan Global Sumud Flotilla. Suarakan di ruang publik, dorong pemerintah Anda untuk bersikap tegas, dan ambil bagian dalam solidaritas global. Karena setiap suara, sekecil apa pun, adalah bagian dari gelombang besar yang kelak akan meruntuhkan tembok ketidakadilan di Gaza.[]
Mi’raj News Agency (MINA)