Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengenal Skizofrenia: Antara Gangguan Mental dan Miskonsepsi

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 28 detik yang lalu

28 detik yang lalu

0 Views

Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku.. (Foto: ig)

DALAM kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar kata “skizofrenia” disebutkan dengan nada yang menakutkan, bahkan kadang digunakan sebagai bahan candaan. Ada yang menyebutnya “penyakit gila” atau menganggapnya sebagai hukuman akibat dosa. Padahal, di balik semua miskonsepsi itu, skizofrenia adalah gangguan mental yang nyata, dapat dijelaskan secara ilmiah, dan yang paling penting: bisa dikelola dengan pengobatan serta dukungan sosial yang tepat.

Apa Itu Skizofrenia?

Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Penderitanya bisa mengalami kesulitan membedakan antara kenyataan dan halusinasi, memiliki pikiran yang kacau, serta kesulitan berinteraksi dengan lingkungan sosial. Gejalanya bervariasi, mulai dari halusinasi (mendengar suara atau melihat sesuatu yang tidak ada), delusi (keyakinan yang tidak sesuai kenyataan), hingga gangguan berbicara dan perilaku yang tidak teratur.

Namun, perlu dipahami: skizofrenia bukanlah “kegilaan”. Orang dengan skizofrenia bukanlah sosok berbahaya sebagaimana sering digambarkan di film atau berita. Sebaliknya, mereka adalah individu yang sedang berjuang melawan kondisi kesehatan yang kompleks, sama halnya dengan orang yang berjuang melawan diabetes atau hipertensi.

Akar Miskonsepsi

Sayangnya, stigma di masyarakat membuat penderita skizofrenia semakin tersisih. Ada keluarga yang menyembunyikan anggota keluarganya karena takut dianggap aib. Ada pula yang percaya bahwa skizofrenia disebabkan oleh kerasukan jin semata, sehingga pengobatannya hanya berfokus pada ritual tanpa memperhatikan aspek medis.

Baca Juga: Honje: Rahasia Herbal Nusantara untuk Sehat ala Thibbun Nabawi

Miskonsepsi ini sangat menyakitkan bagi pasien. Bayangkan seseorang yang sudah berjuang dengan pikirannya sendiri, tetapi justru mendapatkan penolakan dari orang-orang yang seharusnya memberi dukungan. Stigma itulah yang sering membuat penderita terlambat mendapat perawatan. Padahal, semakin cepat ditangani, semakin baik prognosis kesembuhannya.

Mengapa Skizofrenia Terjadi?

Skizofrenia bukan terjadi karena “kurang iman” atau “karma”. Penelitian menunjukkan bahwa gangguan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor:

  • Biologis: adanya ketidakseimbangan zat kimia otak (neurotransmitter) seperti dopamin dan glutamat.
  • Genetik: riwayat keluarga dengan gangguan serupa meningkatkan risiko.
  • Lingkungan: stres berat, trauma masa kecil, atau penggunaan narkoba tertentu bisa memicu munculnya gejala.

Dengan kata lain, skizofrenia adalah kombinasi kompleks antara faktor genetik, kimia otak, dan pengalaman hidup. Bukan sesuatu yang bisa dipilih atau dihindari begitu saja.

Bisa Disembuhkan?

Banyak orang bertanya, apakah skizofrenia bisa sembuh? Jawabannya: skizofrenia adalah kondisi kronis, namun bisa dikelola. Dengan obat-obatan antipsikotik, terapi psikososial, serta dukungan keluarga dan masyarakat, penderita bisa hidup produktif, bahkan sukses. Banyak tokoh dunia yang tetap berkarya meski pernah berjuang dengan skizofrenia.

Baca Juga: Kemenag dan Kemenkes Perkuat Program Pesantren Sehat

Yang lebih penting dari sekadar “kesembuhan” adalah kualitas hidup. Dukungan lingkungan yang penuh empati bisa menjadi “obat” yang tak kalah penting dibandingkan terapi medis.

Keluarga: Garda Terdepan

Peran keluarga sangat besar dalam perjalanan pemulihan. Penderita skizofrenia membutuhkan kesabaran, komunikasi yang hangat, dan dukungan emosional. Keluarga yang mampu menerima kondisi ini akan menjadi benteng utama agar pasien tidak merasa terasing.

Mendampingi orang dengan skizofrenia memang tidak mudah. Ada kalanya pasien menolak minum obat, atau muncul perilaku yang membingungkan. Tetapi ketika keluarga memandangnya bukan sebagai “beban” melainkan sebagai “amanah”, beban itu bisa berubah menjadi ladang kasih sayang dan pembelajaran tentang kesabaran.

Mengikis Stigma, Menumbuhkan Empati

Sudah saatnya masyarakat mengikis stigma terhadap skizofrenia. Daripada menertawakan, mari kita belajar memahami. Daripada menjauh, mari kita merangkul. Skizofrenia bukanlah kutukan, melainkan bagian dari keragaman pengalaman manusia.

Baca Juga: Olahraga: Investasi Kecil, Manfaat Besar

Bayangkan jika suatu hari saudara, sahabat, atau bahkan kita sendiri mengalaminya. Bukankah kita ingin diperlakukan dengan hormat, bukan dicemooh? Maka, perlakukanlah mereka dengan cinta dan empati sebagaimana kita ingin diperlakukan.

Di balik kesulitannya, skizofrenia mengajarkan banyak hal. Ia mengajarkan kepada kita bahwa otak manusia adalah anugerah yang begitu kompleks, dan rapuhnya kesehatan mental harus dijaga sebagaimana kita menjaga kesehatan fisik. Ia juga mengajarkan bahwa kasih sayang dan empati bisa menjadi kekuatan penyembuh yang luar biasa.

Bagi penderita, kisah mereka adalah kisah perjuangan luar biasa melawan bisikan batin yang tak terlihat oleh orang lain. Bagi keluarga, perjalanan mendampingi adalah ujian kesabaran sekaligus ladang pahala. Bagi masyarakat, hadirnya mereka adalah pengingat untuk tidak mudah menghakimi.

Mengenal skizofrenia dengan benar adalah langkah awal untuk menghapus stigma dan menghadirkan empati. Jangan biarkan miskonsepsi merenggut kesempatan pasien untuk hidup bermakna. Mereka bukan sekadar label “penderita skizofrenia” — mereka adalah manusia, dengan mimpi, cinta, dan harapan, sama seperti kita.

Baca Juga: 9 Kebiasaan Kecil yang Bisa Memperpanjang Umur

Pada akhirnya, kesehatan mental adalah tanggung jawab bersama. Mari kita wujudkan masyarakat yang lebih peduli, inklusif, dan penuh kasih. Karena di balik kata skizofrenia, ada jiwa-jiwa yang sedang berjuang, yang hanya butuh satu hal dari kita: pemahaman dan cinta.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Deteksi Dini Kanker Paru Jadi Prioritas, Menkes Siapkan Program Nasional

Rekomendasi untuk Anda

MINA Health
MINA Health
MINA Health