Mengenal Sosok KH. Abdullah bin Nuh “Al-Ghazali dari Cianjur Indonesia”

Oleh Tatang Hidayat, Mahasiswa Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Universitas Pendidikan Indonesia

adalah sosok sekaligus pejuang yang memiliki kharismatik dimata Dunia Islam. Tapak sujudnya bertebaran di Indonesia maupun di dunia internasional. Cita-cita luhurnya dan seluruh hidupnya ia dedikasikan untuk mempersatukan umat Islam lintas madzhab. “Anda saudaraku, karena kita sama-sama menyembah Tuhan yang satu. Mengikuti Rasul yang satu. Menghadap kiblat yang satu. Dan terkadang kita berkumpul di sebuah padang yang luas, yaitu Padang Arafah. Sama-sama lahir dari hidayah Allah. Menyusu serta menyerap syariat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Kita sama-sama bernaung dibawah langit kemanusiaan yang sempurna. Dan sama-sama berpijak di bumi kepahlawanan yang utama”. Itu merupakan cuplikan sebait prosa yang ditulis oleh seorang Ulama besar bernama KH. Abdullah bin Nuh.

Selain merupakan guru para ulama, KH. Abdullahbin Nuh juga di kenal sebagai seorang ahli bahasa dan sastrawan, pendidik dan pejuang kemerdekaan. Sederet nama tokoh besar seperti Mohammad Natsir (Ketua Partai Islam Masyumi) dan KH. Wahid Hasyim (Ketua Nahdlatul Ulama) adalah sahabat-sahabat seperjuangannya.

Nama lengkapnya adalah Kyai Haji Raden Abdullah bin Nuh, yang biasa di sebut Mama Ajengan Abduullah bin Nuh oleh orang Bogor. Ia lahir di kampung Bojong Meron, Cianjur tangal 30 Juni 1905 dan wafat di Bogor pada 26 Oktober 1987. Pertama mendapat pendidikan agama yang sangat disiplin dari ayahnya, yakni KH. R. Muhammad Nuh bin Muhammad Idris yang juga seorang Ulama besar pendiri sekolah Al-I’anah Cianjur dan murid utama KH. Muhtar seorang guru besar di Masjidil Haram Makkah. KH. Abdullah bin Nuh pernah dibawa bermukim di Makkah kurang lebih dua tahun, pada saat itu ia masih balita, dan tinggal bersama Nyi Raden Kalifah Resti yaitu nenknya dari ayah.

Dari pengalaman tinggal di Makkah itu lah, menurut beberapa sumber, bakatnya berkembang untuk menjadi penyair dan sastrawan Arab. Dengan kecerdasan yang dimiliki dan keuletan beliau dalam belajar, menghantarkan R. Abdullah bin Nuh kecil menjadi murid yang sangat unggul, di usianya yang baru 8 tahun sudah menguasai bahasa Arab. Juara Al-Fiyah, sanggup menghafal Al-Fiyah Ibnu Malik dari awal sampai akhir, bahkan membaca dibalik dari akhir sampai awal.

Menjelang tahun 1928, Madrasah Al-I’anah memberikan gelar dakhiliyyah kepada enam orang murid pilihan dan salah satu yang terpilih adalah KH. Abdullah bin Nuh. Keenam orang murid tersebut diberangkatkan ke Pekalongan untuk bermukim di Pondok Pesantren Syamailul Huda, yang dipimpin oleh seorang Guru Besar yaitu Sayyid Muhammad bin Hasyim bin Tohir Al-Alawi Al-Hadromi. Pondok pesantren Syamailul Huda laksana Masjidil Harom dan Darul Arqam pada zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Sebagai murid kesayangan  Sayyid Muhammad bin Hasyim, R. Abdullah pada tahun 1922 ikut diboyong hijrah ke Surabaya dan di Surabaya tersebut Sayyid Muhammad bin Hasyim mendirikan “Hadrolmaut School” yang digambarkan bagaikan masjid Quba di Madinah sewaktu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mulai menginjakkan kakinya di bumi Madinatul Munawaroh. Setelah lulus dari “Hadrolmaut School” pada tahun 1925, Dalam upaya memperdalam ilmu agama di tingkat perguruan tinggi, Sayyid Muhammad bin Hasyim membawa R. Abdullah bersama 15 orang murid pilihan lainnya untuk belajar ke Mesir. Pada saat itu Mesir hanya ada dua perguruan tinggi yaitu Jamiatul Azhar (Syariah) dan Madrasah Darul Ulum Al-Ulya (Al-Adaab).

Di Mesir Mama tidak menjadi mahasiswa, tetapi melakukan proses belajar talaqqi (belajar ilmu agama secara langsung kepada guru yang mempunyai kompetensi ilmu, tsiqah, dhabit dan mempunyai sanad keilmuan yang muttashil sampai ke Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melalui para ‘Ulama ‘Amilin ‘Arifin) terhadap para guru dan ulama di sana, dan hal itulah yang membuat mama semakin matang, pengalaman tersebut di tuliskan dalam buka “Ana Muslim Sunniyyun Syafi’iyyun”. Di Mesir mama hanya dua tahun, namun beliau memanfaatkan waktu tersebut dengan sangat optimal.

Kiprah KH. Abdullah bin Nuh dalam Perjuangan Kemerdekaan

Pada bulan November 1943 atau lebih kurang setahun setelah tentara Jepang masuk ke Indonesia, mereka merangkul kalangan pesantren dan para ulama untuk membentuk tentara PETA (Pembela Tanah Air) dimana Abdullah bin Nuh menjadi salah satu anggotanya bahkan sempat menjabat komandan (daidanco) pada 1943-1945 untuk wilayah Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Situasi saat itu sangatlah kritis. Di Surabaya, Syaikh Sayyid Muhammad bin Hasyim yang merupakan guru tercinta KH. Abdullah bin Nuh, juga di Tasikmalaya ulama besar KH. Zainal Musthofa dan banyak lagi ulama dan pejuang yang di tangkap dan di penjara oleh Jepang. Tidak terima dengan kondisi seperti itu maka para pejuang PETA pun akhirnya memberontak melawan Jepang.

Dorongan untuk senantiasa tetap berada di medan perjuangan begitu kuat, sehingga tahun 1945-1946, beliau dipercaya untuk memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada saat agresi militer Belanda ke dua, KH. Abdullah bin Nuh telah aktif menjadi wartawan APB (Arabian Pers Borad) dan anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat cikal bakalnya MPR-DPR Indonesia di Yogyakarta). KH. Abdullah bin Nuh beserta rombongan wartawan APB ditangkap dan ditawan oleh Belanda di Bekasi. KH. Abdullah bin Nuh pun pernah ditangkap dan divonis hukuman mati, namun beliau dapat meloloskan diri dan bersembunyi, lalu dengan nama samaran menuju Jakarta dan berlindung di rumah Muhammad Asad Shahab.

Dalam mendirikan Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta, Abdullah bin Nuh mendapat kepercayaan sebagai pimpinan Desk Siaran Khusus dalam bahasa Arab, ia pernah menjabat sebagai kepala seksi siaran luar negeri berbahasa Arab di RRI pusat di Jakarta yang didudukinya cukup lama. Siaran tersebut bertujuan menggalang dukungan Internasional terhadap kemerdekaan RI yang baru saja di proklamasikan.

Kiprah KH. Abdullah bin Nuh dalam Dunia Pendidikan

Abdullah bin Nuh terlibat dalam proses mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang merupakan cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Tahun 1945-1950 beliau menjabat sebagai Lektor Muda Luar Biasa pada UII Yogyakarta. Tahun 1949 di mana ibukota RI kembali ke Jakarta, KH. Abdullah bin Nuh ikut pindah ke Jakarta dan ia pernah menjadi Dosen UI (Universitas Indonesia) bagian sastra Arab, Lektor Kepala pada Fakultas Sastra, Pemimpin Majalah Pembina, Ketua Lembaga Penelitian Islam (Islamic Research Institute), dan pernah menjabat pula sebagai ketua Yayasan Ukhuwah Islamiyyah di Jakarta. Ketika pindah ke Bogor, ia mendirikan sebauh majelis Ta’lim bernama Al-Ghazali, majelis ta’lim tersebut berkembang menjadi Yayasan Pendidikan Islam yang bernama Yayasan Islamic Centre (YIC) Al-Ghazali.

Karya-Karya Tulis KH. Abdullah bin Nuh

Abdullah bin Nuh adalah Ulama yang berwawasan luas, cakap dan produktif, disamping menyampaikan ilmu melalui lisan, baik sebagai dosen atau saat berdakwah, ditengah kesibukannya, ia juga banyak berkarya dalam membuat berbagai tulisan, baik berbahasa Arab, Inggirs, maupun bahasa Sunda. Siti Qomariyah, M.Pd.I menyusun karya-karya KH. Abdullah bin Nuh sebagai berikut: Al-Alam Al-Islami (Dunia Islam), Fi Zilal al-Ka’bah al-Bait al-Haram (Di Bawah Lindungan Ka’bah), La Thaifiyata al-Islam (Tidak Ada Kesukuan Dalam Islam), Ummah Wahidah (Umat Yang Satu), Ana Muslim Sunniyyun Syafi’iyyun (Saya Seorang Islam Sunni Pengikut Syafi’i), Mu’allim al-A’rabi (Guru Bahasa Arab) serta masih banyak lagi karya beliau.

Sebagai seorang ahli bahasa Arab, KH. Abdullah bin Nuh menyempatkan diri menyusun kamus bersama sahabatnya H. Umar Bakry di antara kamusnya adalah : Kamus Arab – Indonesia, Kamus Indonesia – Arab – Inggirs, Kamus Inggris – Arab – Indonesia, Kamus Arab – Indonesia – Inggris, Kamus Bahasa Asing (Eropa), berkisar hubungan diplomatik, politik, ekonomi dan lain-lain.

Cita-Cita KH. Abdullah bin Nuh untuk Menyatukan Umat Muslim

Cita-cita besar Mama adalah mempersatukan seluruh umat Islam, sehingga tidak dapat di cerai berai oleh musuh-musuh Islam, seperti seruan yang pernah dituliskan oleh KH. Abdullah bin Nuh “Bersatulah wahai kaum Muslimin sedunia. Dan jadikanlah kalian kekuatan tunggal menghadapi orang lain (musuh-musuh Islam)”. Dalam upayanya mempersatukan umat Islam di dunia, ia seringkali mengadakan perjalanan ke luar negeri dan bersahabat dengan berbagai kalangan dan madzhab, juga selalu menyempatkan diri untuk menghadiri berbagai pertemuan Islam Internasional di beberapa Negara, antara lain Arab Saudi, Yordania, Irak, Iran, Australia, Bangkok, Singapura, Malaysia, dan lain-lain.

Pada suatu hari KH. Abdullah bin Nuh mengatakan bahwa ia sudah sangat merindukan berjumpa dengan Al-Mahdi. Ketika ditanya, siapakah Al-Mahdi itu? (Man Huwa al-Mahdi), KH. Abdullah bin Nuh Menjawab “Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam”, rupanya itulah isyarat bahwa beliau akan segera meninggalkan dunia yang fana ini. walau keinginannya untuk mengumpulkan para ulama se Nusantra tidak tercapai, tetapi pada hari beliau tutup usia 3 Rabiul Awal 1408 H (26 Oktober 1987) pukul 19.15 WIB di rumah kediamannya di Jalan Cempaka 14 tidak sedikit ulama-ulama terkemuka yang datang melayat beliau. Wallohu ‘alam bi ash-Shawab

*) Tulisan ini diringkas dari Majalah Suara Ulama Edisi 3 tahun 2016

(AK/R01/RS3)

Mi’raj News Agency (MINA)