Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengenal Ulumul Qur’an (Bagian I)

taufiq - Senin, 27 Februari 2023 - 15:21 WIB

Senin, 27 Februari 2023 - 15:21 WIB

300 Views ㅤ

دراسة القرآن - kayfa2z.com -

Oleh : Taufiqurrahman Makmun,Lc., Redaktur Kantor Berita MINA edisi Bahasa Arab

Definisi Ulumul Qur’an

Secara bahasa Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang merupakan gabungan dari dua kata, ‘Ulum dan Al Qur’an.

‘Ulum (علوم) adalah bentuk plural dari kata عِلم yang merupakan mashdar dari kata عَلِمَ يَعلَمُ yang diantara maknanya عَرَفَ يَعرفُ (mengetahui) dan فَقِهَ يَفقَهُ (memahami secara mendalam). Kata العِلمُ merupakan lawan dari الجَهلُ yang berarti kebodohan (Lisanul ‘Arab, jilid 12, hlm 417 dan 418).

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam

Syeikh Manna Al Qattaan dalam Mabahits fii ‘Ulum Al Qur’an mengartikan العلمُ dengan الفهمُ yang artinya pemamahan dan الإدراك yang berarti pengetahuan.

Kata itu kemudian dimaknai sebagai beragam masalah yang dikaji secara ilmiah (Mabahits fii ‘Ulum Al Qur’an, hlm 11). Syeikh Muhammad Az Zarqoni dalam Manahil ‘Irfan fii ‘Uluum Al Qur’an mengatakan العلم merupakan sinonim dari kata الفَهمُ (pemamahan) dan المَعرفَة (pengetahuan) (Manahil ‘Irfan fii ‘Uluum Al Qur’an, hlm 12).

Adapun maksud kata Ilmu dalam kaitannya dengan disiplin Ilmu Ulumul Qur’an, seperti dijelaskan Az Zarqoni, lebih merujuk kepada pandangan Ulama Tadwin (Ulama yang menyusun kitab-kitab) yang menyebut Ilmu dikonotasikan sebagai kumpulan masalah-masalah yang terikat dengan satu arah saja (hlm 13).

Sedangkan Al-Qur’an secara bahasa merupakan salah satu bentuk mashdar dari kata قَرأ يَقرأ قُرأنا yang artinya bacaan atau yang dibaca.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan

Pemaknaan tersebut berarti mengartikan mashdar dengan objek dari mashdar. Untuk itu dalam Taajul Arus lafadz القرآن dimaknai sebagai المقروء (yang dibaca) dan المكتوب yang ditulis (Taajul Arus, Muh Murtadha al Husaini Az Zabidi, hlm 363 jilid 1).

Sedangkan secara istilah Al-Qur’an yakni Firman Allah yang mengandung mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir (Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam) melalui perantara Ar Ruh Al Amin Jibril ‘alihissalam, yang tertulis di mushaf-mushaf, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, yang membacanya bernilai ibadah, yang dimulai dari Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas (At Tibyan, M. Ali Al Shobuni, hlm 8).

Berdasarkan paparan di atas Ulumul Qur’an dapat diartikan sebagai berbagai pembahasan yang bersifat universal dan terkait dengannya baik dari sisi Nuzulul Qur’an, penertiban Al Qur’an, pengumpulan Al Qur’an, penulisan Al Qur’an dan Tafsir, Mu’jizat, An Nasikh dan al Mansukh dan lainnya (Ulumul Qur’an al Kariim, Nurudin ‘Atar, hlm 8).

Definisi tersebut jelas menunjukan pembatasan objek kajian Ulumul Qur’an pada bahasan-bahasan tertentu saja yang mendapatkan perhatian dan penjelasan dari para Ulama serta mengeluarkan kemungkinan adanya bahasan-bahasan lainnya yang meski terkait dengan Al Qur’an, namun tidak masuk dalam objek kajiannya.

Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina

Dengan begitu pengetahuan umum seputar sains, misalnya, meski dapat digali dari Al Qur’an yang mengandung berbagai pengetahuan dan informasi yang tak terbatas namun tidak dimaksudkan sebagai bagian dari definisi Ulumul Qur’an dan objek kajiannya.

Penggunaan kata Ulum dalam bentuk plural yang berarti segala ilmu dan bukan satu ilmu secara menyendiri, alasannya adalah karena hal itu tidak ditujukan kepada satu ilmu saja yang terkait dengan Al Qur’an (Manahil ‘Irfan, 23).

Perkembangan Ulumul Qur’an

Bagian ini merupakan ringkasan dari Bab Sejarah Ulumul Qur’an dalam Kitab Manahil ‘Irfan fi Ulum Al Qur’an karya Syeikh Az Zarqoni. Secara global ia membagi perkembangan Ulumul Qur’an menjadi dua bagian besar, pertama masa sebelum pembukuan (tadwin) dan kedua masa pembukuan (tadwin).

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat

Masa sebelum Tadwin

Masa sebelum Tadwin berarti masa sebelum terjadi penyusunan Al-Qur’an dalam satu mushaf era Khalifah Utsman bin Affan. Di masa ini kebutuhan membukukan Al-Qur’an tidak muncul karena perintah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam kepada sahabat untuk tidak menulis selain Al-Qur’an. Dengan demikian, penulisan hadits dan begitu juga Ulumul Qur’an pun tidak dilakukan para sahabat. Perintah itu bertujuan membuat pemisahan yang nyata antara Al-Qur’an dengan hadits dan ilmu-ilmu lainnya.

Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam dan sahabat tentu merupakan sosok yang mengetahui Al Qur’an dan berbagai ilmu yang dikandungnya. Kemudian oleh beberapa generasi berikutnya pengetahuan tersebut dibukukan dalam kitab khusus membahasnya. Hanya saja pengetahuan mereka tentang Al-Qur’an saat itu tidak diletakkan sebagai sebuah disiplin ilmu agama, serta tidak dibukukan karena tidak ada kebutuhan untuk melakukannya.

Meski begitu mereka tidak pernah berhenti mengkaji dan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmunya melalui metode talaqqi dan bukan melalui buku-buku.

Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan

Masa Tadwin

Masa ini dimulai pada periode kekhalifahan Utsman bin Affan radliallahu’anhu. Luasnya wilayah kekuasaan dan akulturasi bahasa dengan bangsa lain memunculkan kekhawatiran perselisihan dalam membaca dan memahami Al Qur’an.

Kesadaran itu mendorong kuat Khalifah Utsman untuk melakukan pembukuan Al-Qur’an ke dalam satu logat bahasa, dalam satu mushaf. Ia memerintahkan sejumlah sahabat untuk menulis ulang semua lembaran-lembaran Al-Qur’an yang dikumpulkan di era Khalifah Abu Bakar. Khalifah Utsman menertibkannya secara tauqifi (berdasarkan wahyu) lalu menyatukannya ke dalam mushaf induk.

Pada saat bersamaan, mereka memusnahkan lembaran-lembaran Al-Qur’an yang masih tersisa. Lalu membuat salinan yang serupa dengan mushaf induk itu, baik dari sisi tertib ayat dan surat serta logat bahasa, dalam jumlah yang banyak untuk disebar ke berbagai wilayah.

Baca Juga: Pemberantasan Miras, Tanggung Jawab Bersama

Aktivitas ini yang kemudian dikenal dalam kajian Ulumul Qur’an sebagai Ilmu Tertib Ayat dan Surat dan Ilmu Rasm Utsmani.

Pada periode Khalifah Ali radliallahu’anhu muncul problem baru yakni kesalahan dalam membaca harakat dalam Al-Qur’an. Lalu ia memerintahkan Abul Aswad Ad-Duwali untuk merumuskan beberapa kaidah bahasa Arab. Khalifah Ali dengan begitu telah meletakkan sebuah dasar bagi pengetahuan yang sekarang kita namai dengan ilmu Nahwu. Lalu melahirkan Ilmu ‘Irab Al Qur’an. Meski demikian kebenaran riwayat tersebut masih diperselisihkan.

Usai periode Khulafaur Rasyidin berakhir, perjuangan penyebaran dan pengajaran Al-Qur’an serta ilmu-ilmunya terus gencar dilakukan sahabat dan tabi’in. Penyebaran itu masih dilakukan dengan metode talaqqi dan riwayat, bukan dengan tulisan atau buku.

Meski demikian, perjuangan itu dapat dikatakan sebagai dasar pembukuan Ulumul Qur’an. Di antara sahabat yang berperan meletakkan dasar-dasar itu adalah empat khulafaur Rasyidin, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari dan ‘Abdullah bin Zubair. Dari kalangan Tabi’in, yang berperan diantaranya Mujahid, ‘Atha, Qotadah, Ikrimah, Hasan Al Bashri, Sa’ib bin Jubair dan Zaid bin Aslam.

Baca Juga: Lima Karakter Orang Jahil

Tokoh-tokoh tersebut dapat dikatakan sebagai peletak dasar-dasar Ilmu Tafsir, Asbab Nuzul, Nasikh dan Al-Mansukh, Gharib Al-Qur’an dan selainnya (A/RA02/RS2).

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Ternyata Aku Kuat

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Indonesia
Indonesia
Khadijah
Kolom