Mengenang Memori Gelap India 1947

Pengungsi Muslim di New Delhi, , berbondong naik kereta menuju pada September 1947. (Foto: AP)

 

“Bila Anda melihat ibu Anda berdarah dan perutnya terbuka, usus keluar, bagaimana perasaan Anda?” tanya Salahuddin Khalid

Salahuddin Khalid saat itu adalah seorang anak laki-laki ketika ia melihat ibunya dibunuh. Saat itu ia dan keluarganya tinggal di New Delhi di mana bencana kekerasan dan pertumpahan darah meletus.

Saat itu tahun 1947, perbatasan antara negara baru India dan Pakistan baru saja diadakan, setelah kedua fihak masing-masing menjadi negara merdeka terutama sekali karena alasan agama. Mayoritas penduduk Pakistan beragama Islam sedangkan mayoritas penduduk India beragama Hindu.

Salahuddin dan keluarganya berada di sisi perbatasan India. Mereka adalah Muslim di sebuah negeri yang didominasi oleh orang Hindu dan Sikh.

Ia mengisahkan kisahnya. Saat ia mendengar sebuah jeritan, seorang Sikh dengan pedang di tangan mengejar adiknya. Pertama, orang-orang Sikh itu memasuki kamar ibunya dan membunuh. Lalu mereka berlari ke arah dirinya. Ia pun kabur ketakutan.

Ketika Salahuddin kembali ke rumahnya, ia mendapati ibunya telah tergeletak dimutilasi.

“Rasanya seperti rumah pembantai,” kenangnya.

 

Sejarah “Banjir Darah”

Ibu Salahuddin tewas bersama setidaknya 1 juta lebih orang di seluruh benua India. Itulah hasil sejarah ketika penjajah Inggris menyerahkan kerajaan India-nya dan membelahnya menjadi dua negara baru berdasarkan garis agama.

Kini, 70 tahun kemudian, kenangan akan kengerian yang terjadi saat umat Islam, Hindu dan Sikh saling membunuh, tetap mentah dalam pikiran orang-orang yang selamat.

“Ketika saya mengingat semua itu, saya merasa sangat sakit dan jantung saya menyusut,” kata Salahuddin.

Penciptaan India dan Pakistan mendorong migrasi massal terbesar dalam sejarah manusia, karena Muslim yang tersebar di India, Hindu dan Sikh yang berada di Pakistan, dengan putus asa berusaha pindah ke sisi lain dari perbatasan.

Saat orang-orang meninggalkan rumah mereka, gelombang kekerasan terjadi.

Sejarawan William Dalrymple menggambarkan kengerian yang terjadi. Setahun sebelumnya, masyarakat berbeda agama itu saling menghadiri pesta pernikahan tetangganya. Namun, ketika konflik itu meletus, mereka saling membunuh, saling memperkosa anak perempuan umat lain hingga saling membakar bayi umat lain.

Stasiun kereta api di kota-kota seperti Lahore, di negara baru Pakistan, berubah menjadi adegan kematian massal.

Banyak umat Hindu yang menunggu di stasiun Lahore ingin pergi ke India, telah dibantai. Di saat yang sama, kereta yang tiba dari India telah penuh oleh orang Islam yang telah mati dibantai pula.

 

“Kemanusiaan telah meninggal”

Di tengah kekacauan itu, para wanita hidup dalam kondisi penuh ketakutan terhadap pemerkosaan.

Seperti yang dialami oleh Amolak Swani, seorang gadis Hindu berusia 17 tahun yang tinggal bersama orang tuanya di Peshawar, Pakistan. Ia mendengar bahwa satu gerombolan Muslim mendekati rumahnya.

Ayahnya mengatakan kepadanya dan ibunya bahwa penyerang membakar rumah dan membawa wanita pergi.

Sang ayah sangat ketakutan. Ia cepat memberi istrinya sebotol bensin dan beberapa korek api.

“Jika kita tidak bisa bertahan di lantai bawah, maka jangan serahkan kehormatan kamu. Tuangkan bensin pada dirimu dan anak perempuan kita,” kata ayah Amolak kala itu.

Namun, keluarga Amolak merasa lega, karena para penyerang akhirnya melewati rumah mereka. Ia dan keluarganya kemudian melarikan diri ke kota Amritsar di India.

Namun, wanita lain tak luput dari kemalangan.

Sardar Joginder Singh Kholi, seorang remaja Sikh pada saat itu, mengingat seorang wanita bernama Veerawaali yang tinggal di desanya di provinsi Punjab, Pakistan.

Veerawaali adalah wanita yang sangat cantik, tapi selama kerusuhan, penyerang mengejarnya. Ia berlari masuk ke dalam kuil yang ada di desanya. Ia memberi hormat kepada kitab sucinya lalu menyiram tubuhnya dengan minyak tanah dan membakar dirinya sendiri.

Veerawaali bukanlah satu-satunya tetangga Sardar yang meninggal. Sardar sangat ingat apa yang terjadi pada orang-orang di desanya saat penyerang tiba.

Sardar yang kini berusia 86 tahun, mengungkapkan bahwa ada 25 pria di desanya, 18 dari mereka tewas dibunuh.

“Saya banyak menangis. Sekarang saya memikirkannya, saya merasakan sesuatu terjadi pada kami semua, seolah-olah manusia telah mati, semua manusia menjadi setan,” katanya.

Pria Sikh pergi meninggalkan Pakistan menuju India dengan berjalan kaki pada Agustus 1947. (dok. Dailyo.in)

Amarah mengenang kepedihan

Kekejaman tersebut telah melahirkan puluhan tahun permusuhan antara Pakistan dan India. Namun, kini di kedua sisi perbatasan, ada upaya untuk menyingkirkan kebencian yang masih ada.

Di kota Amritsar di India, sebuah museum baru membantu menyimpan kenangan untuk masa depan.

Kurator Mallika Ahluwalia mengatakan, sangat penting Museum Pemisahan dibangun, karena masih ada hubungan antara mereka yang hidup dengan cerita-cerita pribadi pada masa 1947.

“Ini tentang dampak pada setiap orang yang melewatinya. Bagaimana rasanya meninggalkan rumah mereka, meninggalkan teman mereka, meninggalkan kehidupan yang mereka ketahui dan pindah ke tanah yang baru,” Kata Mallika.

Namun, Mallika ingin museum itu bukan sekadar tempat refleksi yang menyedihkan. Dia ingin memperingatinya sebagai tindakan kebaikan yang melintasi perbedaan agama. Ia ingin melihat Muslim, Sikh dan Hindu saling melindungi dari kekerasan.

Menurutnya sangat penting menyoroti kisah-kisah kemanusiaan yang terjadi. Banyak pula kisah teman membantu teman, sesama tetangga saling membantu, dan orang asing membantu orang asing.

Di sisi lain dari perbatasan, Arsip Warga Negara Pakistan telah mencatat lebih dari 2.200 korban selamat dalam dekade terakhir.

Aaliyah Tayyebi, seorang manajer proyek senior untuk proyek sejarah lisan, mengatakan bahwa mendengarkan pandangan warga biasa yang selamat melalui partisi 1947 sangat penting.

Menurutnya, sangat penting kisah orang-orang yang telah menderita dari kedua belah pihak, apakah itu seorang Hindu, Muslim atau Sikh, dimunculkan ke permukaan dan orang-orang bisa mendengarnya. Dengan mengetahui kisah memilukan itu, akan membuat orang-orang sadar akan kengerian perang.

“Itu akan membuat mereka mengerti bahwa membunuh satu sama lain tidak menyelesaikan apa pun,” katanya.

Aaliyah percaya bahwa generasi sekarang perlu belajar dari sejarah Pakistan.

Aaliyah berkeyakinan, menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang apa yang terjadi saat negara itu diciptakan, akan membantu menumbuhkan hubungan yang lebih baik dengan India.

“Kami adalah tetangga. Kita perlu memahami bahwa demi kebaikan kedua negara, akan menguntungkan kita untuk saling menghormati satu sama lain, saling menoleransi, memahami dari masa lalu kita dan mencapai masa depan yang lebih baik,” katanya.

Namun, beberapa korban selamat seperti Salahuddin Khalid, mengatakan bahwa tidak mungkin mereka bisa memaafkan kebrutalan yang mereka alami.

“Bagaimana bisa saya lupakan? Anda bisa memberi saya satu ton emas, satu ton uang, tapi dapatkah Anda memberi ibu saya kembali?” tanyanya. (A/RI-1/P1)

Sumber: tulisan Steve Chao di Al Jazeera

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.