Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

MENGENANG PERJUANGAN SYEIKH AHMAD YASIN (BAGIAN1)

Admin - Ahad, 23 Maret 2014 - 00:44 WIB

Ahad, 23 Maret 2014 - 00:44 WIB

2490 Views ㅤ

Syeikh Ahmad Yasin, ulama dan Mujahid pendiri gerakan Perlawanan Islam HAMAS. (Sumber: occupiedpalestine)

Oleh: Rana Setiawan*
Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Syeikh Ahmad Yasin, bernama lengkap Ahmad Ismail Hasan Yasin, lahir di Desa Al-Joura, Distrik Majdal, Asqalan, Palestina, pada 1938 (tanggal kelahiran tidak dapat dipastikan, menurut Paspor Palestina milik Syeikh Ahmad Yasin terdaftar tanggal lahir, yaitu 1 Januari 1929, namun sumber-sumber Palestina lainnya menyebutkan tahun kelahirannya pada 1937).

Saat itu, Palestina berada di bawah mandat Inggris setelah runtuhnya Khilafah Ustmaniyah dalam Perang Dunia Pertama.

Dia lahir ketika Palestina diancam gerakan kolonisasi golongan Yahudi berfahaman Zionis yang berupaya mendirikan Eretz Israel (Israel Raya), negara impian mereka di tanah penuh berkah itu.

Baca Juga: Menangkap Pesan Kuat Hamas di Balik Pembebasan Sandera AS

Saat berumur 10 tahun, konflik berkelanjutan antara Zionis Yahudi dan rakyat Palestina telah memaksa Syeikh Ahmad Yasin dan keluarganya bersama ribuan pengungsi lainnya hijrah ke Jalur Gaza untuk mencari perlindungan setelah kelompok teroris ekstrimis Yahudi -Haganah, Irgun dan Stern Gang (Lehi)- menyerang perkampungan-perkampungan Arab serta mengusir penduduknya agar Zionis Yahudi dapat mendirikan negara Israel sebagaimana yang tercantum dalam Resolusi PBB 181. Hasilnya, Israel -sebuah negara entitas Zionis- berdiri secara sepihak pada 14 Mei 1948.

Tempat kelahirannya itu kemudian dibuldoser Zionis Israel, tidak luput juga hampir 500 kota dan desa Palestina lainnya dihancurkan, menandakan pendudukan wilayah Palestina oleh penjajah Zionis Israel.

Berada di Jalur Gaza semua berubah, Syeikh Ahmad Yasin dan keluarganya menjalani kehidupan sebagai pengungsi, menetap di kamp pengungsi Shati’ di pantai Jalur Gaza. Sebagian besar warga Palestina pada saat itu, merasakan pahitnya kelaparan dan serba kekurangan. Selama tinggal di permukiman, Syeikh Ahmad Yasin putus studi sampai tahun 1950, karena sibuk memberikan kontribusi keberlangsungan hidup keluarganya yang terdiri dari tujuh orang, dengan bekerja di sebuah restoran di Kota Gaza.

Syeikh Ahmad Yasin yang selamat dari bencana Palestina (Al-Nakbah) 1948 mendapat pelajaran penting dari pengalaman buruk dialaminya dan memiliki dampak sangat kuat dalam membentuk psikologis dari seorang anak yang kemudian menjadi salah satu musuh Zionis paling ditakuti.

Baca Juga: Air Haji: Benarkah Air Zamzam yang Dibawa Pulang dari Tanah Suci? Ini Penjelasan Lengkapnya

Di saat konflik tersebut, Syeikh Ahmad Yasin masih tetap menghabiskan masa kanak-kanaknya tanpa keluh-kesah.

Tiga hal sebagian besar mempengaruhi hidupnya: pertama menjadi yatim karena ayahnya meninggal saat dirinya tidak lebih dari lima tahun. Kedua, dipaksa meninggalkan kampung halamannya juga meninggalkan jejak dalam hatinya dan selalu bermimpi untuk kembali ke kampung halamannya. Ketiga, kecelakaan di masa kecilnya yang membuat badannya lumpuh total.

Saat berumur 12 tahun dia telah mengalami kecelakaan saat sedang berlatih di pantai Gaza, menyebabkan lumpuh pada seluruh badan (quadriplegic) yang mengharuskan dirinya duduk di atas kursi roda.

Menginjak remaja, Syeikh Ahmad Yasin melanjutkan studinya pada tahun 1955 dan menyelesaikan studinya di Sekolah Menengah Palestina yang merupakan sekolah paling bergengsi di Jalur Gaza pada 1958 dan berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai guru meskipun terkendala karena kondisi kesehatannya.

Baca Juga: Haji Maqbul dan Mabrur

Hambatan untuk bergerak bebas tidak pernah membatasi impiannya. Syeikh Ahmad Yasin, seorang yang memiliki cita-cita tinggi. Dia berazam untuk memasuki universitas terkemuka. Sehingga, dia meluangkan banyak waktu untuk membaca buku dalam berbagai bidang termasuk filosofi, politik, ekonomi, dan sosiologi. Berkat ketekunannya, dia diterima masuk sebagai pelajar di Universitas Al-Azhar, Mesir, pada 1959.

Di sanalah dia mendapat pemaparan lebih jauh tentang gerakan Islam Ikhwanul Muslimin (IM) -didirikan di Mesir pada tahun 1928 oleh Syeikh Hasan Al-Banna- dan aktivitas dakwah mereka yang selalu dia temuinya saat kuliah. Dia menyambut seruan dakwah IM dan akibatnya dia dipenjara selama sebulan pada tahun 1966. Pihak berwenang Mesir menahannya di dalam sel isolasi sehubungan dengan aktivitasnya dalam Ikhwanul Muslim yang bertentangan dengan rezim Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser pada waktu itu.

Menurunnya kondisi kesehatannya kemudianmemaksa Syeikh Ahmad Yasin kembali ke Jalur Gaza. Semangat kemandiriannya yang tinggi telah menarik perhatian Syeikh Mohammad Al-Shawa, guru besar sebuah sekolah terkemuka di Ramal, Kota Gaza, untuk mengajak Syeikh Ahmad Yasin bekerja sebagai guru bahasa Arab di sekolahnya.

(Sumber: occupiedpalestine)

Meski Syeikh Mohammad Al-Shawa tidak menempatkan harapan tinggi kepada Syeikh Ahmad Yasin, namun dia terkesan saat acara pengajian yang digelar Syeikh Ahmad Yasin mendapat sambutan dari para siswa. Bahkan, para orang tua memuji kelas pengajian Syeikh Ahmad Yasin setelah melihat perubahan yang positif pada sikap anak-anak mereka.

Baca Juga: Masjid Al-Aqsa Semakin Mengkhawatirkan

Syeikh Ahmad Yasin terkenal karena rasa humor dan kebaikannya kepada anak-anak di Gaza. Dia mencintai dan bersimpati dengan anak-anak tersebut bahkan menganggap Syeikh Ahmad Yasin seperti ayah mereka sendiri yang lembut dalam mendidik mereka.

Dia adalah seorang guru dan ulama yang setia mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah, Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alihi Wa Salam. Karena sopan santun dan kesiapannya untuk membantu dan mendengarkan orang lain, orang-orang yang mengenalnya sangat menghormatinya.

Syeikh Ahmad Yasin semakin dikenal dan mendapat kesempatan menjadi khatib dan menyampaikan ceramah-ceramah di masjid-masjid sekitar Jalur Gaza. Dia menjadi salah satu khatib paling gencar dan paling terkenal di Jalur Gaza menyusul pendudukan Israel pada tahun 1967.

Pesan yang disebarkannya adalah bahwa hilangnya Palestina pada tahun 1948 hanyalah merupakan gejala stagnasi umat Islam. Dia menuntut solusi pembebasan Palestina dan Al-Aqsha terletak pada pemulihan umat Islam untuk bersatu menggalang kekuatan dengan menggulingkan semua rezim sekuler yang berada di kawasan Arab yang ia pandang tidak Islami atau anti-Islam.

Baca Juga: Krisis Kemanusiaan di Palestina: Solusi dan Tantangan Global

Setelah perang tahun 1967, di mana kaum Zionis menduduki semua wilayah Palestina termasuk Jalur Gaza, Syeikh Ahmad Yasin terus menginspirasi kaum Muslimin dan rakyat Palestina dari mimbar Masjid Al-Abbasi di Kota Gaza, menyerukan perlawanan terhadap pendudukan Israel.

Pada saat yang sama dia terlibat dalam mengumpulkan sumbangan untuk membantu keluarga para syuhada dan tahanan Palestina.

Kestabilan ekonomi Syeikh Ahmad Yasin pada saat itu juga telah mendorongnya untuk mendirikan rumah tangga dengan Halimah Yasin. Dia dan pasangannya dikaruniai 11 orang anak dari pernikahan yang penuh berkah itu. Bersama keluarganya, Syeikh Ahmad Yasin tinggal di rumah yang sederhana di lingkungan Al-Sabra di Kota Gaza.

Berdirinya Hamas

Baca Juga: Bergabung dalam Perlawanan Palestina Melalui Hari Keffiyeh Sedunia 

Kemajuan dakwahnya telah memberi ilham kepada Syeikh Yasin  mendirikan Akademi Islam pada 1973. Pendirian pusat Islam itu mendapat sambutan yang sangat baik dan dalam waktu yang singkat telah muncul sebagai institusi agama yang paling berpengaruh di wilayah Jalur Gaza. Rejim Zionis Israel tidak membatasi perkembangan ini karena mereka merasakan aktivitas dakwah Syeikh Ahmad Yasin setidaknya dapat mengurangi pengaruh gerakan nasionalis Yasser Arafat, pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization/PLO) yang mengambil jalan perlawanan bersenjata dengan Israel. Namun, tanpa Israel sadari, Syeikh Ahmad Yasin sudah mulai menyusun langkah untuk mendirikan gerakan jihad al-Mujahidun al-Falastiniyun untuk menentang penjajahan Israel.

Syeikh Ahmad Yasin sangat percaya pada hak-hak sebagai seorang Palestina, bahwa (satu hari, cepat atau lambat) semua orang Palestina, termasuk yang terpaksa meninggalkan tanah mereka dapat memperoleh kembali hak-hak mereka. Hak Kembali merupakan hal terpenting bagi Syeikh Ahmad Yasin sebagai hak dasar bagi penduduk Palestina. Dia selalu mengatakan pengungsi adalah prioritas.

Saat gerakan Syeikh Ahmad Yasin itu terbongkar, pada 1983, Israel menjatuhi hukuman penjara padanya selama 13 tahun. Namun, dua tahun kemudian ia dibebaskan saat PLO berhasil membuat perjanjian pertukaran tawanan dengan Israel.

Pendiri Gerakan Perlawanan Islam di Palestina, Hamas, Syeikh Ahmad Yasin (kanan atas) dan Dr. Abdul Aziz al-Rantisi (kiri atas). (Sumber: occupiedpalestine)

Ketika intifadah Palestina Pertama meletus pada pertengahan 1987, Syeikh Ahmad Yasin bersama dengan sekelompok pemimpin Islam (termasuk Dr. Abdul Aziz al-Rantisi) telah mengambil kesempatan tersebut untuk menyatakan pembentukan Gerakan Perlawanan Islam (Harakat al-Muqāwamah al-ʾIslamiyyah/Hamas) di Jalur Gaza. Hamas berarti semangat dalam bahasa Arab. Hamas telah terlibat memastikan intifadah Palestina Pertama mencapai tujuannya.  

Baca Juga: Harapan Perdamaian di Palestina, Realita atau Mimpi?

Hamas bertujuan untuk melawan pendudukan Zionis dalam rangka untuk membebaskan tanah bersejarah Palestina, tanah para nabi, wakaf umat Islam. Hamas memiliki peran penting dalam Intifadah Palestina yang pecah pada waktu itu, dan dikenal sebagai “revolusi masjid”. Sejak saat itu, Syeikh Ahmad Yasin dianggap sebagai pemimpin spiritual gerakan Islam tersebut. Hamas melakukan sejumlah serangan yang efektif terutama pada pasukan pendudukan Zionis di Jalur Gaza, menewaskan sejumlah tentara dan petinggi pendudukan Zionis.

Saat agen intelijen Israel mengetahui gerakan yang dirintisnya, otoritas Zionis mulai memikirkan cara untuk menghentikan kegiatan Syeikh Ahmad Yasin, bahkan mengancam akan mendeportasinya ke Lebanon.

Pada 18 Mei 1989, dua tahun setelah Intifadah pertama, otoritas pendudukan Zionis kembali menangkap Syeikh Ahmad Yasin bersama dengan ratusan anggota Hamas. Pada 16 Oktober 1991, Pengadilan Israel menjatuhi dua kali hukuman penjara seumur hidup dengn tuduhan menyerukan perlawanan bersenjata, tuduhan menghasut untuk membunuh, menculik tentara pendudukan Zionis, serta mendirikan gerakan Hamas dan sayap militernya.

Sheikh Yasin menghabiskan waktunya di penjara dengan mengalami sejumlah cacat dan penyakit lainnya termasuk kehilangan fungsi penglihatan pada mata kanannya akibat pukulan pasukan Zionis selama interogasi, di samping kelemahan fungsi mata kirinya. Dia juga menderita peradangan kronis di telinga, infeksi paru-paru, dan penyakit lain pada perutnya disebabkan oleh kondisi penjara yang buruk di penjara Zionis.

Baca Juga: Benteng Syam dan Janji Langit: Melawan Dajjal dan Membebaskan Al-Aqsa

Penahanan Syeikh Ahmad Yasin di penjara Zionis Israel memperburuk kondisi kesehatannya, mengharuskan beberapa kali dibawa ke rumah sakit.

Namun, tidak ada yang mampu menandingi perencanaan Allah.

Pada 1997, kegagalan Israel dalam upaya pembunuhan Khalid Misy’al (Kepala Biro Luar Negeri Hamas) oleh dua agen Mossad di Amman, Yordania, telah membuka peluang negosiasi diplomatik antara Yordania (pemerintahan Raja Husein I) dengan Israel (pemerintahan Benyamin Netanyahu) yang memaksa Israel membebaskan Syeikh Ahmad Yasin.

Israel membebaskan Syeikh Ahmad Yasin dalam pertukaran dua agen Mossad yang ditangkap pengawal Misy’al yang diserahkan kepada pihak berwenang Yordania.

Baca Juga: Haji, Momentum Perbaikan Integritas Bangsa

Berita ini disambut gembira oleh seluruh rakyat Palestina. (P02/EO2)

Bersambung…

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Jama’ah dan Izin, Adab yang Menjaga Kita Tetap dalam Naungan Ilahi

Rekomendasi untuk Anda