Hukuman Mati" width="300" height="168" />Oleh Ali Farkhan Tsani*
Hakim Pengadilan Mesir pada Senin (28/4) menjatuhkan vonis hukuman mati massal terhadap 683 warga Ikhwanul Muslimin (IM), pendukung presiden terguling Mesir, Mohamed Morsi, termasuk pemimpin tertinggi (mursyid aam) kelompok itu, Dr. Mohamed Badie.
Mohamed Elmessiry, seorang pengamat Amnesty International yang memantau kasus tersebut, mengatakan bahwa para penegak hukum Mesir tidak memiliki dasar jaminan bahwa peradilan berlangsung jujur.
Sementara itu, pengacara Mohamed Abdel Waheb mengatakan, putusan itu dijatuhkan dalam sidang super kilat yang hanya berlangsung kurang dari lima menit! Dalam persidangan sebelumnya, hakim menolak untuk mendengarkan argumen dari tim pembela.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Salah seorang keluarga terdakwa, Abdel Nasser Hassanien, mengatakan lima anggota keluarganya termasuk di antara mereka yang dihukum mati. Namun, menurut pengakuannya, dari lima keluarga tersebut, hanya satu yang berkaitan dengan aktivis IM, sedangkan empat lainnya tidak terlibat apa-apa, tapi tetap saja terkena vonis hukuman mati tersebut.
Kecaman Dunia
Presiden Turki Abdullah Gul adalah tokoh dunia yang pertama kali memberikan pernyatan kecaman atas putusan hukuman mati tersebut.
Menurut Gul, vonis mati oleh Pengadilan Mesir, apalagi dalam jumlah ratusan, tidak dapat diterima dalam situasi politik transisi pemerintahan saat ini.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
“Justru seharusnya sistem hukum lebih hati-hati, jangan sampai ada dominasi pemerintahan sementara, yang dapat cenderung bermuatan balas dendam,” ujarnya.
Menurutnya, justru keputusan sembrono itu merugikan masa depan Mesir itu sendiri. Padahal Mesir saat ini sedang memerlukan upaya-upaya perdamaian dan pembangunan ekonomi, serta transisi menuju periode pemilu yang akan datang. Secara internasional pun, sebagai warga dunia, hal tersebut tidak dapat diterima.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan Pemeintah Amerika Serikat ikut pula memperingatkan soal hukuman mati yang diputuskan sangat cepat tanpa didampingi pengacara itu.
Ban Ki-moon mencemaskan bahwa dampak vonis itu akan meluas menjadi konflik kawasan.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Di samping itu, vonis tersebut cenderung merusak prospek untuk stabilitas jangka panjang Mesir. Keputusan tersebut dapat membuat stabilitas Mesir tetap goyah. Padahal stabilitas di Mesir sangat penting untuk stabilitas keseluruhan kawasan seluruh Afrika Utara dan Timur Tengah.
Komisaris HAM PBB, Navi Pillay, menambahkan, vonis hukuman mati ratusan warga Mesir sendiri sebagai hal yang memalukan.
Menurut Pillay, selain memalukan, pengadilan vonis massal itu juga melanggar hukum internasional, karena vonis hukuman mati tidak bisa diterapkan secara kelompok, tetapi individu per individu.
Petinggi PBB itu berencana mendiskusikan lebih lanjut keprihatinannya dengan Menteri Luar Negeri Mesir Nabil Fahmy.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Kecaman lainnya, datang dari Gedung Putih, yang menyerukan kepada Mesir untuk membatalkan keputusan pengadilan tersebut, sebab dianggap bertentangan dengan standar dasar hukum internasional.
“Vonis ini tidak sesuai dengan kewajiban Mesir di bawah hukum kemanusiaan internasional,“ ujar pernyataan.
Menteri Luar Negeri Inggris William Hague ikut menyerukan Mesir agar meninjau ulang vonis tersebut, dan menyatakan bahwa keputusan itu justru dapat merusak reputasi sistem peradilan Mesir.
Lembaga hukum Amnesty International juga ikut mengutuk keputusan tersebut.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
“Peradilan Mesir berada dalam tekanan pemerintah, dengan mengeluarkan hukuman mati dalam skala besar-besaran,” kata Hassiba Hadj Sahraoui dari Amnesty International dalam pernyataannya.
Keprihatinan Indonesia
Indonesia menyatakan prihatin atas keputusan hukuman mati terhadap 683 warga Mesir.
“Tanpa sama sekali bermaksud untuk campur tangan urusan dalam negeri Mesir, kami prihatin dengan berita tentang keputusan hukuman mati terhadap 683 warga Mesir. Hal ini juga menjadi perhatian luas dari masyarakat Indonesia,” kata Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Marty M.Natalegawa, di Jakarta, Selasa (29/4).
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Menlu Marty menyatakan, sebagai negara sahabat dan sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia tentunya mengikuti perkembangan situasi di Mesir secara dekat dan bahkan dengan rasa keprihatinan.
Marty menambahkan, Indonesia sendiri sudah mengalami proses transisi ke arah demokrasi, sehingga Indonesia tentu menyadari bahwa situasinya memang sangat kompleks dan tidak sederhana.
Sungguh pun demikian, Indonesia percaya dan berharap Pemerintah Mesir akan dapat mengatasinya dengan baik, berdasarkan kepentingan dan aspirasi bangsa Mesir sendiri.
“Indonesia sungguh berharap agar proses penegakan hukum tetap bertumpu pada tata nilai dan kaidah-kaidah yang bersifat universal, termasuk dihormatinya azas praduga tidak bersalah dan pemenuhan hak-hak terdakwa dalam proses pengadilan,” imbuh Menlu Marty.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Bangsa Indonesia juga mendoakan agar proses demokratisasi di Mesir tetap bertumpu pada semangat rekonsiliasi dan bersifat inklusif dan mengharapkan agar proses itu berjalan secara damai tanpa kekerasan.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Hajriyanto Y Thohari mendesak agar pemerintah Indonesia bersikap tegas dalam hal tersebut.
Sebagai negara muslim terbesar yang peduli terhadap hak-hak asasi manusia, bangsa dan pemerintah, Indonesia harus mengecam keras vonis itu, ujarnya.
Menurut Hajriyanto, vonis mati secara kolektif yang masif seperti itu bukan hanya tidak lazim dalam praktik hukum di negara manapun. Tetapi juga anakronistis dan sarat dengan dimensi permusuhan politik, bertentangan dengan penegakkan hukum itu sendiri.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
“Rezim diduga sedang menjalankan agenda poltik balas dendan pasca kudeta terhadap Presiden terpilih Muhammad Mursi tahun lalu,” paparnya.
Hajriyanto menambahkan, sebagai negara yang memiliki tujuan luhur ikut serta mewujudkan ketertiban dunia, Indonesia harus mengambil lengkah-langkah dalam menyikapi hal itu. Salah satunya adalah dengan aktif dan proaktif bergabung dengan kekuatan internasional untuk mengecam dan menghentikan hukuman missal yang tidak menjunjung tinggi HAM tersebut. Sebab kasus vonis mati massal itu bukan lagi urusan internal Mesir, tetapi juga urusan kemanusiaan sejagad yang adil dan beradab.
Tuntunan Al-Quran
Mesir sebagai salah satu negeri muslim terbesar di dunia seyogianya mengedepankan tuntunan Al-Quran dalam memberikan fatwa atas suatu hukum kemanusiaan.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Di sini, peranan Mufti Besar Al-Azhar, dapat meluruskan dan menolak vonis hukuman mati secara massal tersebut.
Landasan Al-Quran, pegangan para mufti, tentu sangat mendasari hal itu. Seperti peringatan di dalam Al-Quran Surat Al-Isra ayat 3, yang maknanya, “Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu alasan yang benar”.
Juga landasan surat Al-Maidah ayat 32, yang artinya,”Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu [membunuh] orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Ketika Pengadilan Mesir mengumumkan vonis serupa akhir Maret 2014 lalu, Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah) Syaikh Muhyiddin Hamidy dengan tegas mengutuk keras hukuman mati Pengadilan Mesir terhadap 529 orang pendukung Ikhwanul Muslimin (IM) tersebut.
Muhyiddin Hamidy mengatakan, tidak sah hukumnya membunuh sesama umat Islam, karena tidak sesuai dengan Al-Quran. Untuk itu, Muhyiddin menyeru kepada dunia Islam untuk mengutuk hukuman tersebut, sebagai bagian dari kepedulian terhadap sesama muslim.
Menurutnya, seharusnya sesama umat Islam adalah bersaudara, maka sepantasnya mereka saling bersaudara karena Allah, bukan saling dendam dan saling bunuh.
Muhyiddin Hamidy, yang juga pimpinan bagi percepatan pembebasan Al-Aqsha berdasarkan Konferensi Al-Quds di Bandung 2012 lalu, menyeru kepada kaum muslimin seluruh dunia, untuk kembali pada Pimpinan Allah dan Rasul-Nya, serta bersatu-padu merapatkan barisan dalam satu shaf kaum muslimin secara berjamaah, tidak mudah diadu domba.
Semoga Mesir dapat mengatasi problematika umat di negerinya sendiri, yang merupakan bagian dari umat Islam secara keseluruhan, yang lebih mengedepankan nilai-nilai Al-Quran, ukhuwah Islamiyah, penghormatan terhadap HAM dan hukum yang adil. Wallahu a’lam. (R1).
*Penulis, Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Alumni Mu’assasah Al-Quds Ad-Dauly Shana’a Yaman, Dai Pesantren Al-Fatah Bogor.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)