Menghayati Kembali Makna Takwa

Oleh: , Asatidz di PKBM Kuttab Cimahi, Bandung, Jabar

Allah telah berfirman dalam QS. Ali Imran  ayat 102:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS Ali Imran/3: 103).

Dalam Tafsir ibn Kathir dijelaskan: Abdullah ibnu Mas’ud menyampaikan sehubungan dengan makna ayat ini Yaitu (takwa adalah) dengan kepada-Nya dan tidak maksiat terhadapnya, selalu mengingat-Nya dan tidak lupa kepada-Nya, selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak ingkar terhadap nikmat-Nya.

Takwa mempunyai banyak bentuk, sebagaimana yang telah disebutkan Ibnu Mas’ud, salah satunya adalah taat dan tidak maksiat. Dalam arti lain, kita perlu mempelajari dan mengetahui apa saja perbuatan yang Allah sukai dan apa yang tidak Allah sukai. Hal ini membawa kita kepada kewajiba belajar, sebagaimana yang Rasulullah sabdakan bahwa kewajiban belajar itu dari lahir hingga mati.

Dan dua hal tersebut, yaitu taat dan tidak maksiat, diwakilkan dengan bagian awal ayat, yaitu “haqqa tuqatih”.

Masih dalam tafsir Ibnu Katsir, Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan ayat ini bahwa yang dimaksud dengan haqqa tuqatih ialah berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benar demi membela agama Allah, dan janganlah kalian enggan demi membela Allah hanya karena celaan orang-orang yang mencela, tegakkanlah keadilan, sekalipun terhadap diri kalian dan orang-orang tua kalian serta anak-anak kalian sendiri.

Jihad bukanlah sebuah hal yang mudah, namun juga bukan hal yang sulit. Tidak mudah karena akan datang banyak cobaan, tidak sulit karena Allah sudah menunjukkan jalannya.

Salah satu cobaan jihad adalah celaan orang lain. Seperti halnya Nabi Nuh yang dicela ketika membuat bahtera diatas bukit ketika musim panas. Bila dinalar dengan akal sehat tentu saja itu tidak masuk akal, namun Allah Maha Kuasa.

Orang-orang yang mencela jihadnya Nabi Nuh akhirnya tenggelam dalam banjir besar yang Allah turunkan sebagai adzab. Bahkan putra beliau sendiri: Kan’an.

Di akhir ayat di atas, Allah memerintahkan agar kita tidak mati kecuali dalam keadaan muslim. Lebih spesifiknya lagi dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah.

Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tiga hari sebelum wafat, yaitu: “Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian meninggal dunia melainkan ia dalam keadaan berbaik prasangka kepada Allah”.

Di dalam hadits lain disebutkan, seorang lelaki dari kalangan Ansar mengalami sakit. Maka Nabi datang menjenguknya. Di lain waktu Nabi bersua dengannya di pasar, lalu beliau mengucapkan salam kepadanya dan bertanya kepadanya, “Bagaimanakah keadaanmu, hai Fulan?” Lelaki itu menjawab, “Dalam keadaan baik, wahai Rasulullah. Aku berharap kepada Allah, tetapi aku takut akan dosa-dosaku.” Maka Rasulullah bersabda: “Tidak sekali-kali berkumpul di dalam kalbu seorang hamba yang dalam keadaan seperti ini (yakni sakit), melainkan Allah memberinya apa yang diharapkannya, dan mengamankannya dari apa yang dikhawatirkannya.”

Maksudnya, sahabat anshar ini berbaik sangka kepada Allah dalam sakitnya. Dia berdoa akan kesembuhan dan pengampunan, maka Allah kabulkan. Karena Allah sendiri berfirman bahwa Dia adalah menurut prasangka hamba-Nya.

Sedangkan kalimat Rasul terakhir bermakna bahwa tidak bisa berkumpul rasa takut dan cinta dalam hati seorang hamba kecuali untuk Allah.

Makna Bertakwa

Berkaitan dengan takwa, bila kita cermati, di dalam Surat Al Baqarah ayat 2, menyebutkan ciri orang bertakwa adalah menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk. Tidak hanya sebagai bacaan atau aktivitas biasa.

Jika digambarkan kita akan mendatangi sebuah tempat yang asing, kita pasti akan memerhatikan petunjuk dengan sebenar-benarnya. Begitupun orang yang bertakwa, akan memperhatikan Al-Quran sebagai petunjuk.

Tentang takwa ini, Umar bin Khattab pernah ditanya tentang takwa oleh seorang sahabat. Umar balik bertanya, “Apakah engkau pernah berjalan di jalan yang penuh duri? Apa yang akan kamu lakukan?”

“Saya akan sangat berhati-hati, saya akan menghindari atau melewatinya. Atau mundur agar tidak menginjaknya.”

“Itulah takwa,” kata Umar.

Buya Hamka berpendapat bahwa takwa bukan hanya takut namun memelihara. Memelihara diri dari berbagai amal buruk. Memelihara hubungan kita dengan Allah. Memelihara hubungan kita dengan manusia lain.

Tentang menjaga takwa ini, dikisahkan tentang seorang sahabat bernama Abdullah bin Umar. Abdullah hijrah ke Madinah saat masih umur 10 tahun.

Ketika masa Khalifah Utsman, Khalifah memanggil Abdullah dan memintanya menjadi hakim. Namun Abdullah bin Umar menolaknya dengan alasan ketika hakim mengambil keputusan tanpa ilmu, tempatnya di neraka. Bila mengambil keputusan dengan hawa nafsu, tempatnya di neraka. Bila memerintahkan berdasarkan ijtihad, maka baginya tidak ada dosa namun juga tidak ada pahala.

Melihat ketakwaan Abdullah yang begitu tinggi, maka Utsman mengalah.

Orang-orang yang hidup bersama Abdullah menuturkan bahwa Abdullah sama dengan ayahnya, Umar bin Khattab Al-Faruq.

Abdullah hidup pada masa ketika tidak ada orang yang ilmu, iman, dan ketakwaannya sebanding dengannya. Abdullah wafat pada  usia 80 tahunanan ketika Khalifah Ali menjabat sebagai khalifah. Abdullah juga sahabat terakhir yang meninggal di Mekkah, yang senantiasa konsisten menjaga takwanya kepada Allah.

Semoga kita dapat menghayati kembali dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Aamiin. (A/usa/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.