Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

MENGHIDUPKAN KEMBALI KONSEP KOTA ISLAMI

kurnia - Kamis, 3 September 2015 - 06:48 WIB

Kamis, 3 September 2015 - 06:48 WIB

911 Views ㅤ

Kota Islam di Baghdad

kurnia huzaifahOleh: Kurnia Muhammad  Hudzaifah, Wartawan Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Pengantar

Koordinator Tim Indeks Kota Islam (IKI) Maarif Institute, Ahmad Imam Mujaddid Rais, mengatakan, indeks kota Islami merupakan upaya untuk menyusun parameter dan memeringkat kinerja pemerintah kota berbasis nilai-nilai Islam dalam pelayanan masyarakat.

“Kepemimpinan dan tatakelola pemerintah yang berlandaskan hukum, peradaban, kemakmuran, dan keunggulan ini merupakan perintisan awal, dan akan disusun secara komprehensif serta khas Indonesia,” kata Mujaddid Rais dalam diskusi Ekspose Publik Indeks Kota Islami yang diselengarakan Maaruf Institute di Aula Muhammadiyah, Jakarta, Kamis malam (27/8).

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Ada hal yang menarik dari diskusi menggagas kembali kota Islam tersebut. Apalagi jika dikaitkan dengan kota Islam pada masa Nabi sebagai kota Islam pertama.

Ajaran-ajaran agama Islam diturunkan sejak 610 Masehi ketika Nabi Muhammad berusia 40 tahun. Ayat pertama turun disampaikan ketika Nabi Muhammad di Gua Hira. Sejak itulah Muhammad resmi menjalankan Kerasulannya bagi seluruh ummat manusia menyiarkan ajaran yang tauhid (Keesaan Allah).

Tiada Tuhan selain Allah dan manusia wajib menyembah satu-satunya Tuhan yakni Allah. penyebaran ajaran Islam berlangsung selama hidup Rasulullah tidak pernah lepas dari ancaman gangguan dan tekanan-tekanan dari pimpinan kaum Quraisy, demikian hebatnya tekanan tersebut hingga akhirnya turun perintah Allah agar Muhammad berikut pengikutnya melakukan hijrah ke Yatsrib, kemudian bernama Madinah al-Munawwarah (Kota yang damai).

Di tempat inilah dalam waktu yang relatif singkat Islam menjadi kuat baik aqidah dan tauhid maupun secara kemasyarakatan. Termasuk pdalam membangun kota Islam.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

masjid nabi masa awal

Masjid Nabi masa awal sebagai pusat madinah/">kota Madinah. (image: infopediapk.weebly)

Tata madinah/">Kota Madinah

Secara deskripsi mengenai tata letak masjid dan madinah/">kota Madinah seperti yang digambarkan oleh Haykal yang bersumber pada hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa masjid Nabi tersebut berdinding bata dan lumpur.

Di sekitar masjid inilah kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membangun rumah tinggal, yang juga terbuat dari bata dan lumpur serta beratapkan anyaman daun palm (kurma). Di sekitar masjid itulah Nabi tinggal bersama isteri-isterinya. Di tempat itu pulalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beraudensi dengan para sahabat pengikutnya yang setia untuk menyiarkan ajaran-ajaran Allah. Serta dari tempat itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merencanakan dan merancang kelanjutan pengembangan madinah/">kota Madinah.

Perlu ditambahkan bahwa lahan untuk mendirikan masjid dan pemukiman Rasulullah beserta keluarganya ini dibeli oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari penduduk asli Madinah.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Pusat pemukiman menjadi embrio madinah/">kota Madinah sekaligus kota Islam pertama yang dirancang dan dibangun disesuaikan dengan kondisi sifat lingkungan setempat yakni ekosistem gurun. Maka dikenal bangunan-bangunannya dikembangkan dengan halaman yang luas dan didirikan dengan mengikuti arah angin.

Sehingga secara relatif udara segar dan angin yang sedikit sejuk khususnya pada malam hari tetap memasuki rumah-rumah yang ada di sekeliling halaman pusat yang luas. Atas konsep dasar inilah yang kemudian menjiwai rancang bangun masjid, rumah, istana, dan kota-kota Islam khususnya di Arab, Persia, dan Afrika Utara yang memiliki ekosistem gurun pasir.

Deskripsi tata letak kota Islam pertama ini pernah disampaikan oleh Creswell (1979) yang didasarkan pada riwayat hidup Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang disusun oleh Ibn Sa’ad (845 M).

Rekontruksi tata letak tersebut berhasil menggambarkan perkembangan masjid dan madinah/">kota Madinah al-Munawwarah sebelum dan sesudah terjadinya perubahan kiblat, hingga pengembangan-pengembangan yang dilakukan oleh Umar bin Khattab pada tahun 638 M dan Khalifah Usman bin Affan pada tahun 644 M.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Ukhuwwah dan Kesederhanaan

Konsep adaptasi terhadap ekosistem gurun yang diperkenalkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperkuat oleh fondasi ajaran persaudaraan Islam (ukhuwwah Islamiyyah) serta kesederhanaan yang mencerminkan persatuan dan ras sederajat dalam wujud komunitas “ummah”.

Dalam perencanaan kota Islam, maka pasar pun didirikan serentak setelah selesainya pembangunan masjid dan rumah tinggal bagi Nabi beserta keluarganya.

Pembangunan pasar ini dipimpin oleh Abdurahman bin Auf. Ia pun menjadi pedagang ulung, yang ia mulai dari menjual keju, hingga kemudian ia berhasil mengirimkan kafilah dagang untuk memperluas usaha perniagaannya.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Pada perkembangan banyak penduduk mengikuti usaha dari Abdurahman bin Auf tersebut. Madinah dengan cepat berubah dari sebuah kota kecil menjadi kota Islam yang luas dan besar. Jadi, masjid dan rumah-rumah yang didirikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat merupakan arsitektur Islam pertama yang diikuti oleh pendirian unit-unit pemukiman lainnya di sekitar masjid sebagai pusat kota, termasuk pembangunan pasar.

Walaupun terus berkembang, tetapi nilai-nilai dan perwujudan ukhuwwah Islamiyyah dan konsep hidup sederhana tetap berlangsung di masyarakat. Sehingga warga merasakan kenyamanan dalam beribadah, bermasyarakat dan berusaha.

Kota Mandiri dan Budaya

Perpindahan kekhalifahan Islam dari Damaskus ke Baghdad pada masa selanjutnya sejajar dengan perpindahan pusat peradaban Islam dari Mediterrania Timur ke “fringe of Asia”. Abad -abad IX dan X Masehi, memperlihatkan kecenderungan kuat muncul dan tumbuh berkembangnya identitas dari Persia dan kota-kota dalam dunia Islam.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Kerajaan otonom tumbuh di kawasan sebelah timur kekhalifahan Abbasiyah, adalah kerajaan Persia. Kerajaan Persia sejak menjadi menganut Islam, dengan cepat menjadi mandiri dan berkembang serta menjadi patron kebudayaan dan peradaban Persia, yang memiliki pengaruh dan dominan di dunia Islam Asia.

Kemandirian kota didukung aktivitas ekonomi numat, menjadi penting agar dapat terus berkembang. Sementara budaya masyarakat tetap terjaga dari infiltrasi luar yang dapat merusak.

Sejak awal Islam sejumlah kota menjadi pusat administrasi pemerintahan yang luar besarnya, ciri-cirinya seringkali dipengaruhi oleh ciri-ciri atau penampilan dari suatu pemerintahan. Sementara itu bentuk-bentuk lainnya mungkin pula dipengaruhi oleh katalistik lingkungan. Misal kota Isfahan dibentuk dari sejumlah desa dan pusat-pusat urban berkala kecil.

Sesuatu kota terbentuk karena perkembangan tempat maupun faktor-faktor pengaruh dari luar. Disepakati bahwa sementara kota lainnya, terbentuk sebagai kreasi-kreasi resmi yang dimiliki oleh kelompok-kelompok korporasi (Michrob, 1987).

Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel

Secara umum ciri-ciri dan perkembangan kota-kota Islam memperlihatkan ciri dan perkembangan dari bagian-bagian kota, komunitas, keagamaan, kemakmuran, kedudukan dan keadaan penghuninya.

Kota-kota Islam awal dengan beberapa pengecualian pada umumnya tidak memiliki tembok-tembok pertahanan, tetapi pada abad X M kota Islam berkembang menjadi semakin sistematik dan merupakan sesuatu yang baru pada kota-kota lama. Pintu gerbang merupakan lambang dari kebangsawanan dan gerbang-gerbang itu seringkali dihiasi oleh pahatan.

Pada tahun 754 M Bahgdad dibangun sebagai suatu kota berdenah bulat yang mungkin mengacu pada kota-kota perbentengan masa pemerintahan Assyria. Istana kerajaan dan masjid terdapat di tengah lapangan terbuka di mana juga terdapat rumah-rumah para pangeran dan dapur-dapur.

Sistem perlindungan dilengkapi dengan tembok keliling dan jalan keliling yang menghubungkan setiap rumah. Juga terdapat jalan-jalan patroli yang dilengkapi dengan kamar-kamar penjaga pada  pintu utama. Hampir seluruh bagian atau sistem dalam pemukiman ini dikaitkan dengan masalah pertahanan/perlindungan karena banyak terjadi peperangan.

Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara

Secara kronologis, Islam berkembang pesat dan secara harizontal Islam berkembang ke arah barat, utara, selatan dan timur Makkah dan Madinah. Berselang kurun waktu sejarah, Islam melebarkan sayapnya ke timur.

Oleg Grabar menegaskan hubungan integratif antara karakter fiaik kota dengan cara-cara hidup, kegiatan-kegiatan dan pranata-pranata seperti yang tercermin pada sub-sub urban elitis. Areal perkantoran administratif dipisahkan atau terpisah dari kawasan-kawasan yang dari segi fungsionalnya bersifat formal, seperti terlihat bukti di kota Baghdad, di mana perkantoran berlokasi di sepanjang tembok dalam kota.

Baghdad-300x197.jpg" alt="Kota Islam di Baghdad" width="300" height="197" /> Kota Islam di Baghdad

Istana dalam Kota

Di Baghdad, istana kekaisaran yang resmi merupakan istana bersifat pribadi (private), yang sering disebut dengan qosr, yakni istana dalam kota, atau juga seringkali disebut sebagai Istana Mahkota, Pleiades atau Eternity.

Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu

Seringkali pula istana-istana itu dikelilingi kebun atau taman, sehingga istana itu juga menampilkan fungsi lebih dari pada sebagai pavilun yang nyaman/ menyenangkan. Seperti yang terlihat pada istana Safavid, Ottoman, Ishfahan atau Istambul.

Namun, bagaimanapun, walaupun terdapat istana dalam kota, pada dasarnya terdapat dua pusat perhatian bagi siapa pun yang mengkaji kota-kota Islam awal. Kedua pusat perhatian teraebut adalah:

1. Masjid Besar, tempat dilakukan shalat Jumat berjamaah bagi warga setempat dan pendatang.

2. Pasar, di mana terdapat toko-toko memperlihatkan kecenderungan keletakan yang hierarkis terhadap masjid. Pada jarak terjauh dari masjid terdapat bagian untuk tempat tinggal para pengunjung atau kafilah pedagang dari luar kota.

Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud

Adapun perumahan di kota-kota Islam bervariasi atas dasar pengaruh tipe-tipe rumah pada masa pra-Islam, berbentuk ekonomi regional, perbedaan iklim, material dan teknik-teknik pembuatan rumah.

Alun-Alun Kota

Menjelang abed X M, nampak sekali bahwa unsur-unsur istana, tembok pertahanan, pintu-pintu gerbang, masjid, saluran-saluran dan alun-alun (lapangan besar), menjadi unsur-unsur penting yang memperlihatkan karakteristik kota-kota Islam. Alun-Alun atau lapangan yang dalam bahasa Arab disebut sebagai maydan, merupakan tanah lapang dan luas yang digunakan bagi parade militer maupun dalam fungsinya sebagai tempat pertemuan bagi dewan peperangan, pertahanan, dan keamanan, serta acara-acara masyarakat secara massal.

Pembangunan alun-alun ini jelas merupakan salah satu bagian dari kegiatan kerajaan. Lapangan atau alun-alun yang dibuat oleh Ibn Tulun di dekat Fustat, terletak di dalam kota. Lapangan dibangun dengan teliti, terinci dan dilengkapi dengan gerbang-gerbang yang indah, sekaligus seringkali digunakan sebagai  tempat penyelenggaraan upacara-upacara tertentu.

Kota Komunitas

Dalam perkembangan berikutnya, terdapat pula sintesis antara kota-kota Islam dengan elemen-elemen bangunan yang bersifat Hinduistis, seperti dapat diamati pada istana Akbar di Fatehpur (kota kemenangan) Sikri. Dalam sintesis tersebut kota-kota Islam yang strukturnya ramping (untuk kemudahan lintasan perputaran udara segar), bercampur dengan prinsip-prinsip bangunan Hindu yang bersifat masif. Penyerapan unsur-unsur Hinduistis tersebut merupakan bagian dari kebijaksanaan Sultan Akbar yang toleran.

Sampai sejauh ini informasi dan sumber-sumber mengenai kota-kota Islam awal di Asia, termasuk Asia Timur, lebih memperlihatkan ciri-ciri sebagai kota perdagangan, di mana di dalamnya terdapat keluarga-keluarga luas (extended families) dan assosiasi-assosiasi profesi, yang sekaligus merupakan wahana bagi kegiatan-kegiatan komunitas.

Perubahan-perubahan yang terjadi dari tradisi Hinduistis, ke Islamistis, bersifat cair dan lentur, yang kemudian berhasil mengembangkan pemukiman-pemukiman yang lebih besar, yang dihuni ratusan ribu bahkan jutaan jiwa.

Sementara itu, sejumlah kota-kota Islam di Asia Tenggara, ditandai oleh meluasnya komunitas Islam, sebagai salah satu akibat meluasnya perdagangan. Hal ini berlangsung dari abad XIII sampai abad XVIII M, di mana para pedagang Muslim memperoleh posisi yang menguntungkan, dari sebelumnya abad XV M telah dapat menguasi seluruh lalu lintas perdagangan internasional.

Sedangkan di sisi lain, perkembangan Islam di kepulauan Indonesia bagian timur, telah memungkinkan bagi peranan mempelopori penetrasi Islam.

Kota-kota Islam di Asia Tenggara merupakan pengimpor bahan pangan, khususnya beras. Sejumlah kota dihuni antara 50.000 sampai 100.000 jiwa, telah menjadi kota Islam awal di Asia Tenggara, yang menjadikan besaran populasi kota-kota tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan populasi kota-kota pra-industri di Eropa.

Seperti halnya kota-kota semasa di mana pun, maka kota-kota Asia Tenggara juga terbentuk dari unit-unit rumah tinggal, yang dapat diidentifikasikan sebagai unit-unit pemukiman etnis. Peta-peta yang dapat dianalisis memperlihatkan kesan tentang besar dan jumlah bagian-bagian kota yang membentuk kelompok-kelompok penghunian dari para saudagar, bangsawan (bangsawan pedagang), yang masing-masing memiliki tembok keliling.

Pasar pada umumnya dibangun di bagian selatan kota. Pusat-pusat kegiatan panting lainnya, adalah pemerintahan, istana, pasar dan kota itu sendiri.

Kekuatan agama di Asia Tenggara digambarkan baik secara fisik maupun ritual. Karena itu, maket kota-kota di Asia Tenggara, khususnya pada kota-kota pantai karakterisasinya dapat dibedakan dengan fungsi-fungsi ruang kota, atas dasar kualitas dan teknisnya, menjadi beberapa bagian. Yaitu, pertama, adanya unit-unit pelabuhan, pasar serta perdagangan, dan kedua, adanya tempat ibadah, istana dan lapangan (alun-alun), di mana berlangsung kegiatan pemerintahan, militer dan keagamaan.

Sungai juga merupakan salah satu unsur penting, baik bagi kepentingan penyediaan air, transportasi dan pertahanan militer.

Jadi dari uraian-uraian di atas, tampak bahwa kota adalah salah satu ujud sub-sistem pemukiman, di mana berlangsung sejumlah besar kegiatan, seperti administrasi, perdagangan, pemerintahan, keagamaan dan sebagainya. Kota sebagai sub-sistem pemukiman merupakan perkembangan lebih lanjut dari desa-desa pertanian atau desa-desa nelayan.

Kota sekaligus merupakan kawasan atau unit ruang bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembentukan kota dipengaruhi oleh sejumlah variabel, seperti besaran populasi, latar belakang keagamaan, pola subsistensi, pranata- pranata sosial, sikap pandang terhadap dunia/jagat (kosmologi), ‘fisiografi, iklim dan sebagainya.

Kota-kota Islam juga memiliki karakteristik sesuai dengan pola-pola dan mekanisme penduduknya dalam mengelola alam dan sumberdaya alam.

Ciri Kota Islami

Kota Islam tertua, adalah kota yang dibangun oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alahi Wasallam dengan misi kerasulannya, yaitu membentuk dan membangun kota atas dasar konsep ummah dalam tata ukhuwah Islamiyah.

Sebagai designer dan arsitek kota, Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam juga menyediakan data bagi ilmu arkeologi, yang masih dapat dikaji lagi dengan sumber-sumber tulisan, terutama hadits-hadits yang menggambarkan pengertian kota baik secara langsung, maupun tak langsung.

Ciri utama kota Islam adalah kehadiran unsur-unsur arsitektural : masjid, istana (kantor pemerintahan), pasar, (dan kemudian) tembok pertahanan, lapangan, gedung pertemuan, pelabuhan dan sebagainya.

Etnisitas penduduk kota-kota Islam juga semakin beragam, akibat meningkatnya aktivitas perdagangan regional mau pun internasional.

museum situs kepurbakalaan winnyradc

Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama. (foto: winnyradc)

Banten Lama sebagai Kota Islami

Situs Arkeologi Banten Lama memiliki monumen-monumen arsitektur yang merupakan produk Banten-Islam, yang bermula berpusat di Banten Girang dan kemudian berpindah ke kawasan pantai. Banten mengalami puncak keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Awal pendirian kota Banten Lama dirintis oleh Sultan Hasanuddin dan puteranya Maulana Yusuf

Situs Arkeologi Banten Lama, ternyata telah menjadi kawasan pemukiman komunitas nelayan-pertanian pra-Islam, yang boleh jadi telah berkembang sejak Banten memasuki proto-sejarah atau tingkat kehidupan masa prasejarah akhir.

Situs Arkeologi Banten Lama, atau wilayah budaya Banten merupakan salah satu wilayah yang dalam perjalanan sejarahnya, berkali-kali mengalami pasang naik dan pasang surut. Ayunan perjalanan sejarah Banten dipengaruhi oleh sejumlah faktor, baik bersifat alami, maupun prilaku kultural masyarakatnya (HalwanyMichrob, 1991). Banten setelah mengalami puncak perkembangannya, mengalami penurunan legalitas ekonomi, militer dan akhirnya politik (Michrob, 1990).

Fungsi Banten Lama sebagai kota antara lain tampak dari kompleksitas masyarakat, yang menurut Richard H. Hall mengandung pengertian adanya diferensiasi masyarakat baik secara harizontal maupun vertikal, menyebarnya aktivitas melalui pemisahan pusat-pusat otoritas (spatial dispertion) sebagai salah satu masyarakat kompleks.

Dalam konteks budaya Banten, maka masyarakat kompleks penghuni kota Banten, secara arkeologis antara lain tampak dari berbagai indikator, seperti: pemukiman berdasarkan peta L, adanya keberagaman (horizontal dan vertikal), pola-pola susunan masyarakat (mulai dari pengelompokan menurut jabatan dan pangkat dalam birokrasi, jenis-jenis profesi, ras/etnik, dan sekaligus penafsiran pengorganisasiannya keberagaman pola penggunaan/tata-guna lahan dalam sejarah perkembangan kota Banten Lama).

Ada beberapa keunikan Banten Lama antara lain:

  • Adanya tata ruang kota Banten yang baik,
  • Pola penggunaan mata uang,
  • Keberagaman fasilitas/bangunan publik,
  • Keberagaman produk
  • Keberagaman arsitektur
  • Keberagaman teknologi
  • Pola-pola distribusi dan redistribusi barang dan jasa melalui penganalisaan terhadap pasar, pabean, alat transportasi, pergudangan, pabrikasi dan sebagainya.

Tata ruang kota Banten, baik seperti diperlihatkan pada gambar-gamrbar “artist” data arsitektur dan data arkeologi memang secara sederhana akan beri pengertian sebagai kota bandar dengan ciri menonjol pada aktivitas perdagangan.

Tataruang Banten Lama tampak seperti duplikasi sebagian konsep kota Islam, yakni Madinah sebagai kota pertama Islam. Tentu dengan perkembangan lebih lanjut dari rancang bangun pra-Hindu yang menyebar di pelosok-pelosok Banten dan Banten Selatan.

Harapan

Seperti di dalam diskusi Indeks Kota Islami (IKI), maka pada prinsipnya pengembangan kota-kota Islami bertujuan sesuai dengan tujuan syariat itu sendiri, yakni untuk menjaga peribadatan umat (hifzh addin), menjaga keberlangsungan keturunan  (hifzh al-nasb) serta menjaga kelestarian lingkungan  (hifzh al-bi’ah).

Apalagi, kota-kota di Indonesia berpeluang besar menuju kota Islami. Hanya saja semua pihak terkait tidak menunjukan semangat dan keseriusannya dalam mewujudkan hal tersebut. Namun, memang semangat melakukan revitalisasi pemerintah kota dan pengusaha seringkali kalah dengan semangat kapitalis dan pragmatis. Sehingga proses revitalisasi tidak pernah berlangsung.

Dengan digagasnya kembali kota-kota Islami, kita berharap akan terwujud masyarakat yang sejahtera, terjaga dan terlindungi dalam beribadah, terjaminnya kelangsungan hidup ekonomi berbasis syariah, terciptanya persaudaraan yang lebih luas, serta kuat, mandiri dan tidak mudah terinfiltrasi budaya luar yang merugikan. Konsep Kota Islami juga dapat diberlakukan di kota manapun.

Seperti disimpulkan oleh Prof. Muhammad Ali, Associate Professor University of California, Riverside, Amerika, dalam diskusi IKI, bahwa indeks kota islami nantinya bisa digunakan oleh masyarakat luas, karena indeks-indeks ini berdasarkan nilai-nilai islami yang bersifat universal. Itu karena memiliki kesamaan dengan nilai-nilai universal yang bisa dipakai untuk kota yang bukan mayoritas muslim.

Semoga saja. Dari berbagai sumber. (T/P002/R02/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

MINA Health
Kolom
Internasional
Kolom