بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لِلْفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحْصِرُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِى ٱلْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ ٱلْجَاهِلُ أَغْنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَٰهُمْ لَا يَسْـَٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ (البقرة [٢]: ٢٧٣)
“(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 273)
Baca Juga: Program 100 Hari Kerja, Menteri Abdul Mu’ti Prioritaskan Kenaikan Gaji, Kesejahteraan Guru
Dalam tafsir Kementerian Agama RI, ayat di atas menjelaskan tentang orang-orang yang hendaknya diprioritaskan untuk dapat menerima bantuan, baik dari infak, zakat, sedekah, maupun lainnya.
Prioritas penerima infak itu adalah orang-orang fakir, karena sudah tua, sakit atau yang terhalang usahanya karena disibukkan dengan berjihad di jalan Allah. Selanjutnya mereka yang terluka atau cedera (karena berjihad), sehingga mereka tidak dapat berusaha untuk memenuhi kehidupan hidup.
Ahmad Mustafa Al-Maraghi menjelaskan ayat di atas berkaitan dengan Ahlus-Shuffah (orang yang tekun belajar) dengan keistimewaan-keistimewaan yang mereka miliki. Mereka menyibukkan diri menekuni ilmu sehingga tidak sempat untuk berma’isyah (bekerja). Mereka juga termasuk dalam prioritas penerima infak.
Infak, selain untuk memenuhi kebutuhan primer, pendidikan juga merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan langsung dengan generasi sesudahnya. Bahkan saat ini, pendidikan juga merupakan kebutuhan primer selain pangan, sandang dan papan (tempat tinggal).
Baca Juga: Delegasi Indonesia Raih Peringkat III MTQ Internasional di Malaysia
Sementara itu, dalam konstitusi negara kita, Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan Pemerintah RI untuk menyelenggarakan sistem pendidikan nasional guna meningkatkan keimanan, ketakwaan, serta akhlak mulia. Tujuannya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Menurut UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya guna memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan itu sendiri pada dasarnya adalah menjadi hak, sekaligus sebagai kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia. Dikatakan sebagai hak, karena setiap warga negara berhak untuk mendapat serta menempuh pendidikan (formal). Sedangkan kewajibannya ialah menempuh atau mengikuti pendidikan dasar.
Pendidikan memiliki peran sangat vital dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan tidak dapat dipisahkan dari proses kehidupan. Dengan kata lain, kebutuhan manusia terhadap pendidikan bersifat mutlak dalam lingkup pribadi, keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Baca Juga: Matahari Tepat di Katulistiwa 22 September
Ancaman Komersialisasi Pendidikan
Komersialisasi pendidikan bermakna memperdagangkan pendidikan atau menjadikan penyelenggaraan pendidikan sebagai barang dagangan sehingga menghasilkan keuntungan materi (profit).
Adapun bentuk komersialisasi pendidikan bisa berupa mahalnya Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) yang tidak dibarengi dengan kemajuan fasilitas pendukung, atau iuran di luar kepentingan kebutuhan pembelajaran. Dalam perguruan tinggi, hal ini bisa dilihat dari tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) yang harus dibayar oleh mahasiswa.
Jamaluddin Arifin, dalam jurnal “Komersialisasi Pendidikan” yang diterbitkan jurnalunismuh.ac.id menyebutkan dampak positif dan negatif dari hal itu. Adapun dampak positif adanya komersialisasi pendidikan yaitu; beban pemerintah dalam membiayai pendidikan semakin berkurang, lembaga pendidikan semakin kompetitif sehingga berlomba meningkatkan fasilitas dan mutu pendidikan, dan menambah keuntungan dan pemasukan kas lembaga pendidikan.
Baca Juga: Roma Sitio Raih Gelar Doktor dari Riset Jeruk Nipis
Sedangkan dampak negatif dari komersialisasi pendidikan yaitu; biaya pendidikan semakin mahal, pendidikan sebagai ladang bisnis, gejala stigmatisasi dan diskriminasi antara kaya dan miskin, rantai kemiskinan yang sulit diputuskan melalui pendidikan, terciptanya privatisasi pendidikan, dan perubahan misi pendidikan dari budaya akademik menjadi budaya ekonomi.
Dalam jangka panjang, komersialisasi pendidikan akan melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang berorientasi pada kemakmuran diri dan keluarganya. Gelar dijadikan sebagai komoditas dan selanjutnya digunakan sebagai alat tawar memperoleh posisi dan jabatan di lembaganya.
Untuk mencegah dampak negatif di atas, prinsip nirlaba dalam sebuah lembaga pendidikan harus menjadi roh dalam penyelenggaraan pendidikan dalam segala tingkatannya. Karena prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan pendidikan menekankan bahwa tujuan utama pendidikan adalah meningkatkan ilmu dan karakter mulia peserta didik dan mutu layanan pendidikan, bukan sekadar penyematan gelar dan keuntungan materi yang dinikmati oleh individu atau kelompok tertentu. Hal itu juga ditegaskan dalam tujuan Merdeka Belajar yakni membentuk pribadi yang bertaqwa dan berkarakter mulia sebagaimana digagas Mendikbud Nadiem Makariem.
Komersialisasi pendidikan terjadi karena beberapa faktor. Namun, menurut pendapat penulis, faktor utamanya adalah ketidaksanggupan pemerintah selaku penanggung jawab penyelenggara pendidikan untuk membiayai seluruh dana operasional pendidikan.
Baca Juga: [BREAKING NEWS] Pria Amerika Bakar Diri Protes Genosida di Gaza
Adapun jika memang pemerintah memberi kewenangan lembaga pendidikan swasta untuk menarik biaya pendidikan dari orang tua/wali, maka harus ada peraturan yang jelas dan pengawasan ketat agar tidak terjadi tindak komersialisasi.
Menjaga Pendidikan dari Komersialisasi
Menurut Imam Al-Ghazali, tujuan pendidikan adalah mencapai kesempurnaan manusia di dunia dan akhirat. Manusia dapat mencapai kesempurnaan melalui ilmu untuk meraih kebahagiaan di dunia dan sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Prinsip pendidikan dalam Islam adalah mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan pendidikan itu, diharapkan akan terbentuk individu-indidivu bermoral dan berkualitas, menyadari tugas dan tanggung-jawab kepada Tuhan-nya dengan melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan (taqwa), sehingga mampu memberi manfaat kepada dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan umat manusia.
Baca Juga: Universitas Lampung Sepakati MoU dengan Chosun University of Korea
Ilmu yang diajarkan dalam lembaga pendidikan haruslah berlandaskan wahyu. Kurikulumnya mencerminkan integritas ilmu dan amal, fikir dan zikir, akal dan hati nurani.
Sementara itu, perlu disadari oleh setiap insan pendidik bahwa menjadi guru itu bukan semata-mata profesi, tetapi ia adalah panggilan jiwa dan pengabdian. Jadi, gaji (uang) bukan menjadi faktor utama dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik, namun hal itu hanyalah sebagai trigger (pendorong) untuk melaksanakan pengabdian yang lebih baik.
Pendidikan harus mampu menumbuhkan budaya ilmu dan meletakkan ilmu pada tempatnya yang mulia. Karena rusaknya suatu masyarakat berawal dari rusaknya ilmu. Sebaliknya, kebangkitan umat juga dimulai dari tumbuhnya budaya ilmu yang benar di tengah-tengah masyarakat.
Guru Besar Ilmu Pendidikan di University of Chicago, AS, Arnold Anderson mengingatkan, pendidikan bukan “ramuan ajaib” yang bisa cepat mengubah keadaan, khususnya ekonomi dan kesejahteraan hidup manusia. Meskipun pendidikan mengajarkan keahlian mencari nafkah, mempersiapkan lulusan untuk bekerja, dan melatih calon pemimpin negara, tetapi pendidikan harus dilihat dalam konteks memelihara kemampuan nalar dan dunia intelektual secara luas.
Baca Juga: Tingkatkan Literasi Anak, Kemendikbudristek Sediakan Konten Edukatif di Platform Digital
Pembiayaan Pendidikan
Dalam Islam, sistem pendidikan formal diselenggarakan dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam tarikh pemerintahan Islam, dana operasional lembaga pendidikan ditanggung oleh Baitul Maal. Sebagai contoh, Khalifah Umar bin Khattab membangun madrasah, dan menggaji guru anak-anak (SD) dengan 15 dinar (sekitar Rp.70 juta) perbulan yang diambil dari baitul maal.
Pemerhati dan praktisi Pendidikan Indonesia, Husein Yatmono berpendapat, pendidikan harus dimaknai sebagai kawah condro dimuko (tempat menempa generasi) agar menjadi generasi yang siap memajukan masyarakat, bangsa dan negara dalam dunia global. Ketersediaan sekolah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang bisa diakses oleh semua warga negara menjadi kewajiban pemerintah sebagai bentuk pelayanan kepada warga negara untuk mencetak generasi unggul.
Tokoh Ikatan Guru Indonesia (IGI) itu menuturkan, menyerahkan urusan pendidikan kepada pihak lain (swasta), dan negara berlepas dari tanggung jawab mencerdaskan warganya, merupakan kesalahan, bertentangan dengan undang-undang. Inilah bahaya liberalisasi dunia pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang kini sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga: MUI Gelar Forum Ukhuwah Islamiyah, Minta Presiden Jokowi Ganti Kepala BPIP
Selain itu, masyarakat Indonesia yang dikenal dunia sebagai bangsa yang memiliki tingkat kedermawanan yang tinggi, baik secara pribadi maupun lembaga (perusahaan) melalui Social Corporate Responsibility (CSR)-nya, hendaknya dapat membantu menyalurkan dananya untuk membantu pemberdayaan Pendidikan.
Oleh karena itu, penyediaan program beasiswa yang sudah dilakukan oleh pemerintah, mulai dari program beasiswa Supersemar pada masa Orde Baru dan Bidik Misi pada era sesudahnya, sudah sepantasnya dilanjutkan dan diperluas jangkauannya sehingga mampu menjangkau semua masyarakat yang membutuhkan.
Program beasiswa seperti di atas terbukti mampu meringankan beban masyarakat kurang mampu untuk dapat menggapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti yang penulis sendiri merasakan manfaatnya.
Sementara itu, potensi zakat masyarakat Muslim Indonesia yang cukup besar juga diharapkan mampu menutup kekurangan anggaran pendidikan bagi masyarakatnya. Berdasarkan data yang dirilis Badan Zakat Nasional (Baznas), memperkirakan potensi zakat di Tanah Air pada 2021 mencapai Rp327,6 triliun. Angka tersebut terdiri atas zakat perusahaan (Rp144,5 triliun), zakat penghasilan dan jasa (Rp139,07 triliun), zakat uang (Rp58,76 triliun), zakat pertanian (Rp19,79 triliun), dan zakat peternakan (Rp9,52 triliun).
Baca Juga: [BREAKING NEWS] Yahya Al-Sinwar Terpilih Sebagai Kepala Biro Politik Hamas
Wallahu a’lam bisshawab
(A/P2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ismail Haniyeh Dikabarkan Terbunuh di Iran