Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation, New York
Pastinya suasana Ramadan itu masih terasa pada setiap detak nadi kehidupan kita. Sesuatu yang telah menjadi narasi kehidupan dalam masa tiga puluh hari. Tentu Ramadan harusnya telah menjadi bagian dari ‘ma’ruf’ kehidupan yang mengalir pada setiap titik kehidupan kita.
Tidak lupa sekali lagi saya sampaikan tahniah, mubarak, selamat, atau juga dalam bahasa kampung saya; congratulations. Bahwa dengan izin dan qudrah-Nya juga kita telah menyelesaikan pelatihan yang dahsyat itu. Pelatihan “imsak” dalam kehidupan yang harusnya dirayakan dengan rasa bahagia, senang dan penuh kemenangan.
Kali ini saya ingin kembali mengingatkan diri saya dan kita semua tentang “keberkahan” Ramadan. Sebenarnya ini lanjutan dari reminder (pengingat) yang pernah saya sampaikan dalam beberapa tulisan selama Ramadan; memaknai keberkahan Ramadan. Walau judul berbeda tapi secara substansi sama.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Seperti yang pernah disampaikan bahwa puasa Ramadan memiliki keberkahan yang mencakup segala titik nadi kehidupan manusia. Dan karenanya sangat disayangkan jika keberkahan itu dibatasi pada keberkahan (kemanfaatan) ta’abbudiyah (ritual) semata.
Satu keberkahan yang ingin saya garis bawahi kali ini adalah bahwa Ramadan adalah bulan restorasi kehidupan. Maknanya bahwa di bulan Ramadan insan-insan Mukmin diberikan peluang emas untuk melakukan “ishlahaat” (perbaikan-perbaikan) mendasar dalam hidupnya.
Restorasi kehidupan menjadi bagian esensial dalam ajaran Islam. Bahkan sejatinya konsep taubat itu esensinya adalah restorasi. Restorasi kehidupan yang membawa kepada restorasi relasi, baik secara vertikal (dengan Pencipta) maupun secara horizontal (dengan sesama makhluk).
Di antara hal-hal mendasar yang memerlukan restorasi, khususnya dengan puasa Ramadan adalah restorasi “kemanusiaan” manusia.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Restorasi kemanusiaan menjadi sangat esensi karena selain menjadi identitas dasar kehidupan manusia, juga menjadi fondasi dalam menjalani misi kehidupan itu sendiri. Tanpa kemanusiaannya manusia menjadi makhluk yang nampak manusia tapi secara esensi telah kehilangan identitasnya sebagai manusia.
Kemanusiaan yang biasa disebut “insaniyat” atau lebih populer dalam bahasa agama dengan fitrah merupakan identitas dasar manusia. Artinya manusia jadi manusia karena kefitrahannya. Hal itu karena memang manusia diciptakan di atas kefitrahan itu.
“Dengan fitrah itu Allah menciptakan manusia. (Dan fitrah itu) tiada tergantikan dalam penciptaan” (Ar-Rum).
“Semua manusia terlahir di atas fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani, atau Majusi” (hadits).
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Kemanusiaan itulah sesungguhnya yang menentukan wajah perilaku manusia. Ketika kemanusiaan berfungsi secara baik, akan terlahir apa yang disebut dengan “furqan” (pembeda) dalam hidupnya. Dengan furqan ini manusia akan mampu memilah dan memilih mana yang baik (benar) dari hal yang buruk (salah) dalam kehidupan.
Inilah pula makna utama dari diturunkannya Al-Quran. Bukan untuk membawa sesuatu yang asing/baru bagi kehidupan manusia. Tapi lebih kepada memainkan peranan “dzikra” (mengingatkan) sekaligus mengkonfirmasi akan kefitrahan manusia itu. Sehingga Al-Quran selain dikenal dengan “dzikra” (inna nahnu nazzalna adzikra wa inna lahu lahafizhun), juga dikenal sebagai “Al-Furqan” (Al-Baqarah: 185).
Pada sisi lain kita sadari bahwa kerusakan yang terjadi di alam ini disebabkan oleh tangan-tangan jahil manusia yang fitrahnya telah terkontaminasi oleh berbagai najis kehidupan akibat dorongan hawa nafsu yang tiada terkendali.
“Kerusakan telah nampak di darat dan di laut akibat tangan-tangan manusia” (Ar-Rum).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Di sìnilah puasa yang beresensikan al-imsak (menahan diri) melatih manusia untuk melakukan reparasi atau restorasi kefitrahan tadi. Fitrah yang biasa diterjemahkan dengan “puritas” atau kesucian itu terjadi dengan melatih diri untuk menahan segala hal yang dapat menjadikan seseorang terjatuh ke dalam jebakan nafsu yang tak terkontrol.
Dengan menahan atau mengontrol (bukan mematikan) dorongan hawa nafsu, manusia akan mampu menata hidupnya sesuai dengan rasa kemanusiaannya. Rasa kehidupan yang terpoles keindahan (beauty), cinta (love), kasih sayang (compassion) dan tentunya dengan nilai (value) dan manfaat (benefit).
Inilah restorasi yang akan terjadi dengan puasa Ramadan. Puasa yang esensinya menahan hawa nafsu (ammarah) menumbuhkan batin yang furqan (membedakan mana baik dan buruk). Sehingga hidup semakin bertanggung jawab, bermakna dan bermanfaat. (AK/RE1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?