Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengucapkan Selamat Natal Bagaimana Hukumnya? Simak Penjelasan Ini

Redaksi Editor : Widi Kusnadi - 24 detik yang lalu

24 detik yang lalu

0 Views

ucapan selamat (fot0: IG)

Oleh Imam Santoso, Dosen Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) STAI Al-Fatah, Cileungsi, Bogor

MESKIPUN memang tidak akan ditemukan dalil dari al-Qur’an maupun as-Sunnah secara spesifik tentang hukum ucapan selamat Natal. Polemik muncul di era kontemporer.

Hal itu banyak diperbincangkan karena keinginan sebagian umat Islam (terutama yang tinggal didaerah minoritas) yang hendak mengekspresikan sikap toleransinya kepada non-Muslim.

Maka, karena ia tidak ditemukan di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi. Namun hakikatnya, jumhur ulama (mayoritas ulama) dari 4 madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) telah sepakat akan keharaman pengucapan selamat Natal.

Baca Juga: Suami Saleh, Pilar Ketahanan Keluarga Islami

Meski demikian, ulama-ulama kontemporer kembali mengulas hukum tersebut dikarenakan kasus ini masuk dalam kategori Ijtihadi.

Dasar Hukum yang Membolehkan

Para ulama yang memilih sikap untuk membolehkan ucapan selamat Natal mendasari hukumnya pada firman Allah dalam surat al-Mumtahanah ayat 8: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8)

Mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.

Baca Juga: Jika Kamu Ingin Menyelesaikan Persoalan, Bacalah Shalawat ini

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Dahulu ada seorang anak Yahudi yang senantiasa melayani (membantu) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia sakit. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya untuk menjenguknya, lalu beliau duduk di dekat kepalanya, kemudian berkata: ‘Masuk Islam-lah!’Maka anak Yahudi itu melihat ke arah ayahnya yang ada di dekatnya, maka ayahnya berkata,‘Taatilah Abul Qasim (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). ’Maka anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar seraya bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.’” (HR. al-Bukhari no. 1356, 5657)

Ulama kontemporer yang mendukung pendapat ini diantaranya Yusuf al-Qardhawi, Musthafa Zarqa, Abdullah bin Bayyah, Ali Jum’ah, Habib Ali Aljufri, Quraish Shihab, Abdurrahman Wahid, Said Aqil Sirodj, dan lain sebagainya.

Dasar Hukum yang Mengharamkan

Para ulama yang memilih sikap untuk mengharamkan ucapan selamat natal bagi umat Nasrani mendasari hukumnya pada firman Allah subhanahu wa ta’ala di dalam surat al-Furqan ayat 72, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.S. al-Furqan [25]: 72)

Baca Juga: 10 Sebab Orang Banyak Dosa Namun Tidak Merasa

Pada ayat tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala menjanjikan bagi orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dengan martabat yang tinggi di surga. Sedangkan, apabila seorang muslim mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu dan membenarkan keyakinan umat Nasrani tentang hari Natal (kelahiran Yesus Kristus, salah satu Tuhannya umat Nasrani). Konsekuensinya adalah ia tidak akan mendapatkan martabat yang tinggi di surga. Dengan demikian, mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani tidak diperkenankan.

Selain itu, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian kaum tersebut.” (HR. Abu Daud, no. 4031).

Maka sangatlah jelas, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewanti-wanti umat Islam terhadap perbuatan tasyabbuh terhadap non-muslim. Dalam kaidah Bahasa Arab (ilmu Shorof), kata tasyabbuh berasal dari wazan Tafa’ul, yang bermakna muthawa’ah (nurut), takalluf (memaksa), dan juga tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga, dari wazan ini kata tasyabbuh memiliki faidah perbuatan yang dilakukan sedikit demi sedikit, yang awalnya barangkali ia merasa terpaksa/ikut-ikutan dengan perbuatan tersebut sampai kemudian ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.

Di sini dapat disimpulkan, siapa saja menyerupai suatu kaum maka ia lama kelamaan akan tunduk kepada mereka. Oleh sebab itu, hendaknya seorang muslim tidak bermudah-mudahan dalam melakukan perbuatan yang menyerupai orang non-muslim, sebab ia merupakan pintu menuju ketundukan kepada mereka.

Baca Juga: Tak Perlu Tunggu Akhir Tahun, Evaluasi Diri Bisa Dilakukan Kapan Saja!

Sikap tegas dengan kaidah saddud dzari’ah (menutup pintu keburukan) merupakan suatu kaidah yang tepat dalam kasus ini agar akidah kita tidak tergoyahkan akibat ikut-ikutan mengucapkan selamat Natal sebagaimana yang dilakukan oleh umat Nasrani.

Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum ucapan selamat Natal. Ada yang mengharamkan, ada pula yang membolehkan.

Maka, perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam di Indonesia semakin terpecah hanya diakibatkan oleh perbedaan pemilihan sikap dalam kasus ini.

Bagi yang memilih sikap membolehkannya, pastikan bahwa pembolehan tersebut demi menjaga kedamaian dan kerukunan antar umat beragama serta dengan tetap menjaga akidah kita sebagai seorang Muslim.

Baca Juga: Menghormati Ibadah Agama Lain dengan Tetap Menjaga Kemurnian Akidah

Sementara bagi yang memilih sikap untuk mengharamkannya, pastikan bahwa pengharaman tersebut merupakan bentuk ghirah kita dalam menjaga prinsip akidah umat Islam yang tegas namun tetap menjaga nilai-nilai toleransi antar umat beragama dengan bentuk yang berbeda.

Sikap apapun yang dipilih, mari senantiasa kita menjaga persatuan umat Islam diantara perbedaan yang ada. Sebab pada akhirnya nanti kita akan pertanggungjawabkan itu semua di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala pada yaumul hisab (hari kiamat).

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ ۖ وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ ۖ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-33] Adab Bersengketa dalam Islam

“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.“ [Az-Zumar/39 : 7].

Penulis pribadi berpendapat, lebih baik tidak natal/">mengucapkan Natal kepada umat Nasrani karena menghindari madharat lebih utama (apalagi dalam urusan aqidah) dibandingkan mengambil manfaat dari hal itu. []

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Fenomena Scrolling, Bagaimana Mengaturnya?

Rekomendasi untuk Anda