Oleh Muhammad Adnan Fairuz, Mudirus Shuffah Hizbullah, Ponpes Al-Fatah, Cileungsi Bogor
DI TENGAH derasnya arus informasi global dan gempuran budaya populer yang kerap menjauhkan generasi muda dari identitas dan kepedulian terhadap isu-isu umat, penting kiranya dunia pendidikan kembali memupuk kesadaran akan Palestina dan Masjidil Aqsa.
Kedua isu tersebut bukan sekadar narasi politik atau sejarah asing di tanah Arab, melainkan bagian dari identitas dan kehormatan umat Islam sedunia. Sayangnya, di institusi pendidikan di Indonesia, pelajaran tentang Palestina dan Al-Aqsa masih belum mendapatkan tempat yang layak.
Seperti dikatakan tokoh pendidikan Islam KH. Didin Hafidhuddin, “Pendidikan tidak hanya soal transfer ilmu, tapi juga penanaman sikap, termasuk kepedulian terhadap sesama Muslim dan tanah suci mereka.” Jika tidak ditanamkan sejak dini, generasi muda akan tumbuh tanpa pengetahuan dan empati terhadap penderitaan saudaranya di Palestina.
Baca Juga: Suriah dan Israel Menuju Perang Terbuka?
Palestina bukan sekadar isu keislaman, tetapi isu kemanusiaan universal. Pengajaran materi itu akan membentuk generasi yang tidak hanya berpihak karena agama, tetapi juga karena komitmen terhadap nilai-nilai keadilan global.
Dengan memberikan pengajaran tentang Palestina dan Al-Aqsa, kita dapat mencegah fanatisme sempit, sekaligus melahirkan pribadi-pribadi kritis, humanis, dan berpandangan global.
Palestina dan Al-Aqsa dalam Sejarah dan Keimanan
Latar belakang pentingnya pengajaran tentang Palestina dan Masjidil Aqsa tidak bisa dilepaskan dari posisi strategis tempat suci itu dalam ajaran Islam. Masjidil Aqsa adalah kiblat pertama umat Islam, tempat Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW, dan salah satu dari tiga masjid yang disunnahkan untuk diziarahi.
Baca Juga: Masjid Ibrahimi Warisan Nabi dan Wakaf Umat Islam
Palestina sendiri adalah tanah para nabi, saksi sejarah kebangkitan dan kehancuran umat-umat terdahulu, sekaligus tanah yang hari ini berdarah karena penjajahan. Ini bukan sekadar konflik wilayah, tetapi juga soal kehormatan umat.
Pendidikan tentang Palestina sejalan dengan pendidikan karakter yang dicanangkan pemerintah, yakni prinsip-prinsip embela yang lemah, menentang ketidakadilan, dan mencintai tanah suci adalah bagian dari akhlak Islami.
Buya Hamka pernah menegaskan, “Ilmu yang tidak membentuk akhlak adalah kesia-siaan.” Maka pengajaran Palestina harus menjadi sarana membangun keberanian, kesetiaan, dan kecintaan kepada umat.
Target Pengajaran, Menumbuhkan Kesadaran dan Identitas
Baca Juga: Ustaz di Depan, Tapi Rapuh di Malam Sunyi
Target utama dari pengajaran ini adalah membangun kesadaran historis, spiritual, dan kemanusiaan siswa atau santri. Mereka harus tahu bahwa membela Palestina bukan hanya soal solidaritas politik, tapi bagian dari iman dan identitas sebagai Muslim.
Seperti yang diungkapkan Prof. Dr. Syafiq Mughni, tokoh pendidikan dan intelektual Muhammadiyah, “Palestina adalah cermin wajah umat Islam. Jika di sana terdzalimi dan kita diam, berarti ada yang salah dalam keberagamaan kita.”
Pendidikan harus melahirkan generasi yang tidak sekadar tahu, tapi juga peduli dan siap berkontribusi dengan cara yang sesuai zamannya.
Untuk mencapai tujuan itu, metode pengajaran tentu hendaknya disesuaikan dengan usia dan jenjang pendidikan. Di tingkat dasar, pendekatan storytelling menjadi kunci. Kisah para nabi yang hidup di Palestina, perjalanan Isra’ Mi’raj, serta kisah keutamaan Masjidil Aqsa dapat membangun ketertarikan anak-anak.
Baca Juga: Sejarah, Islam dan Budaya Masyarakat Kazakhstan: Abai sebagai Inspirasi Bangsa
Sementara di tingkat menengah dan perguruan tinggi, pendekatan analitis bisa diterapkan. Diskusi sejarah, geopolitik, dokumenter tentang genosida di Gaza, hingga kajian ekonomi politik menjadi cara efektif menanamkan kesadaran kritis.
Kegiatan seperti seminar, bedah film, hingga diskusi publik akan menumbuhkan pemahaman yang lebih matang tentang krisis Palestina dan Masjidil Aqsa.
Kendala Pengajaran Palestina di Indonesia
Namun, upaya ini bukan tanpa kendala. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan kurikulum nasional yang belum memberikan porsi signifikan pada pendidikan geopolitik dunia Islam, termasuk Palestina.
Baca Juga: Boikot Produk Terafiliasi Zionis Tinjauan Fatwa Ulama
Ada pula kekhawatiran dari sebagian lembaga pendidikan yang takut dicap membawa agenda politik jika mengajarkan soal Palestina. Padahal, Anies Baswedan pernah menegaskan, “Pendidikan itu membangun kesadaran kritis. Jangan takut mendidik anak-anak kita tentang realitas yang terjadi di dunia, termasuk Palestina.”
Tantangan lainnya adalah keterbatasan pengetahuan guru tentang Palestina dan Al-Aqsa. Banyak pendidik yang belum memahami isu ini secara komprehensif sehingga kurang percaya diri dalam mengajarkannya.
Ini menjadi pekerjaan rumah bagi lembaga pendidikan dan organisasi keagamaan untuk melatih guru dan menyediakan modul-modul tematik yang tepat.
Beberapa pesantren di Indonesia sudah memulai langkah baik ini. Pesantren Al-Fatah di Cileungsi, misalnya, sudah memiliki kurikulum tentang Palestina dan Al-Aqsa yang diajarkan di bangku MI (madrasah ibtidaiayah) hingga perguruan tingginya. Selain itu mereka rutin mengadakan kajian, seminar, dan penggalangan dana untuk Palestina.
Baca Juga: Medsos, Ladang Amal Shaleh Yang Terlupakan
Model seperti ini perlu dicontoh oleh lembaga pendidikan lain agar kesadaran tidak berhenti di kepala, tetapi menjelma menjadi aksi nyata yang terorganisir.
Di tingkat kebijakan, sudah saatnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI membuka ruang dalam kurikulum untuk materi peradaban Islam, termasuk sejarah Palestina dan Al-Aqsa.
Ini akan membangun wawasan global sekaligus memperkuat identitas keislaman dalam kerangka kebangsaan. Pendidikan harus menjadi alat untuk memperkuat kesadaran nasional dan global secara bersamaan.
Mengajarkan Pancasila Melalui Palestina
Baca Juga: Jama’ah Adalah Benteng Terakhir di Tengah Badai Fitnah
Mengajarkan Pancasila melalui isu pembebasan Masjidil Aqsa dan Palestina yaitu mengajarkan nilai-nilai anti penjajahan sebagai amanat UUD 1945. Saat ini bangsa yang masih terjajah di dunia adalah Palestina. Maka pembelaan terhadap Palestina menjadi relevan dengan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab di sila ke-2 Pancasila dan semangat anti penjajahn sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Mengajarkan cinta Palestina berarti menumbuhkan keberanian untuk menolak segala bentuk penjajahan, sebagaimana amanat konstitusi negara kita. Dengan begitu, pendidikan tidak hanya mencetak lulusan cerdas, tetapi juga yang memiliki integritas moral dan komitmen kemanusiaan.
Pada akhirnya, pengajaran tentang Palestina dan Masjidil Aqsa adalah bagian dari jihad intelektual yang harus terus dihidupkan. Ini bukan soal politik belaka, tetapi soal harga diri, soal peradaban, dan soal masa depan umat.
Sebagaimana ungkapan Ali bin Abi Thalib, “Barang siapa yang tidur dalam keadaan tidak peduli dengan urusan umat Islam, maka ia bukan bagian dari mereka.” Pendidikan harus memastikan, generasi Indonesia adalah generasi yang terbangun, terdidik, dan siap menjadi pembela kehormatan umat di panggung dunia. []
Baca Juga: Rendah Hati di Zaman yang Mengagungkan Eksistensi
Mi’raj News Agency (MINA)