Mengukur Kenikmatan dan Kesuksesan

Jika kita mendengar ada telepon seluler keluaran/tipe terbaru yang sinyalnya kuat, daya tangkap jaringannya bagus, layarnya jelas, dilengkapi fitur-fitur terkini, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya hal yang lebih mahal dari itu semua adalah telinga kita. Semahal apapun telepon seluler, seluas apapun jaringan, dan sekuat apapun sinyalnya, jika telinga kita tuli, tidak ada manfaat sama sekali. Maka telinga itu Allah berikan kepada kita semua gratis, tanpa DP, tanpa pesan terlebih dahulu, bahkan tanpa kita memintanya.

Jarak antara mulut dengan telinga juga pas sehingga bentuk dan ukuran telepon seluler juga tidak terlalu panjang dan terlalu pendek. Jumlahnya yang sepasang di kanan dan kiri juga memungkinkan kita mendengar bergantian. Itu semua merupakan rancangan yang sempurna dari Yang Maha Sempurna.

Bagi Anda yang kuliah di jurusan jurnalistik, atau yang berprofesi sebagai wartawan dan fotografer, atau yang hobi foto selfi, ada jenis kamera yang paling bagus, sebutlah Sony Alpha A9 dengan resolusi 24 MP, sensor dan fitur, kamera mirrorless yang memiliki keunggulan berupa resolusi maksimal sebesar 6.000 x 4.000 piksel.

Dengan ukuran pixelnya paling besar, daya tangkap cahayanya paling pas dan otomatis, bisa mengatur banyak sedikitnya cahaya, bisa mengatur jarak objek dengan sendirinya, tetapi ketahuilah yang lebih mahal dan paling mahal dari itu semua adalah mata kita. Semahal apapun kamera yang kita beli kalau mata ini buta, tidak akan berguna teknologi itu.

Atau contoh lain kita sering menginginkan punya sepatu mahal yang tahan dengan panas, atau tahan terlindas truk, atau tidak tembus paku, atau  kelebihan-kelebihan lainnya yang bisa melindungi kaki kita, maka sesungguhnya yang paling mahal adalah sepasang kaki kita yang normal dan sehat.

Begitulah Allah menganugerahkan kenikmatan berupa anggota tubuh kita yang normal dan sehat sehingga kita bisa menggunakannya untuk beraktifitas. Semua itu hendaknya kita syukuri dengan beribadah dengan ikhlas dan maksimal. Jika seseorang mampu bersyukur atas nikmat Allah berupa sehatnya anggota badan itu, maka Allah akan menambah dengan nikmat-nikmat lainnya. Akan tetapi, bila manusia ingkar terhadap nikmat itu maka sesungguhnya siksa Allah sangatlah pedih.

Modal Kesuksesan

Setelah Allah anugerahkan anggota tubuh yang sehat, maka Allah juga memberi modal manusia berupa waktu untuk menggapai kesuksesan.  Sangatlah beruntung seseorang apabila ia mampu menggunakan semua anugerah itu untuk menggapai , Namun sangat rugi seseorang jika sudah diberi semua nikmat akan tetapi gagal menggapai sukses.

Setiap orang tentu menginginkan kesuksesan dalam hidupnya, baik sukses hidup di dunia maupun di kehidupan nanti. Tidak seorangpun yang menginginkan kegagalan, kecelakaan, dan kehancuran dalam hidupnya. Tidak hanya bagi dirinya, anak, cucu, pasangan, rekan, saudara, tetangga, seseorangpun ingin agar mereka menggapai jalan yang sama, sukses bersama, senang dan bahagia bersama, baik di dunia dan akhirat kelak.

Banyak yang mengira kesuksesan itu diukur dengan banyaknya harta, melimpahnya kekayaan, dan kemewahan memiliki fasilitas-fasilitas duniawi yang menunjang kehidupannya. Maka, jika seseorang memiliki ukuran sukses seperti ini, maka dia sudah pasti akan berlomba-lomba menumpuk kekayaan dan mengejar segala bentuk kemewahan demi mendapatkan fasilitas kehidupan dunianya.

Bahkan dalam bekerja, tidak jarang seseorang hingga melupakan ibadah dan lalai akan kesehatan, ia menimbun kekayaan, memperbanyak tabungan hingga lupa dengan zakat, infak dan sedekah. Ia sibuk mengejar kemewahan, sibuk mencari fasilitas kehidupan, hingga lupa dengan tetangga, saudara, anak yatim, orang miskin, padahal mereka ada di sekitarnya, rumah mereka tidak jauh dari pagar tanah pekarangannya, bahkan setiap hari mereka menemuinya.

Namun karena silaunya ia dengan kemewahan, sehingga tidak sadar akan itu semua. Hingga akhirnya, ketika usia sudah menua, badan sudah renta, fisik sudah lemah, kekuatan sudah menghilang dan nafas sampai tenggorokan, ia baru sadar akan ibadah, sadar pentingnya sedekah, maka itu semua terlambat sudah.

Malaikat maut sudah datang menjemput, di hadapannya nyawa akan segera dicabut, maka seseorang yang durjana akan berkata, undurkanlah ajalku walau hanya sesaat, aku akan bersedekah dan beramal shaleh, akan tetapi malaikat menjawab sesungguhnya aku hanya menjalankan perintah tuhanku untuk mencabut nyawamu, sesungguhnya ajalmu tidak bisa dimajukan pun juga tidak bisa dimundurkan walau hanya sekejap. Maka menyesallah orang itu dengan sebenar-benar penyesalan dan penyesalannya tidak bisa merubah nasibnya, tidak bisa memperbaiki takdirnya, dan jika sudah demikian, maka yang ia lakukan, yang ia janjikan, yang ia tekadkan, tiada guna sama sekali.

Sering juga orang memandang, bahwa kesuksesan itu dilihat dari tingginya pangkat dan jabatan, sehingga mati-matian orang mengejarnya, apapun ia lakukan, berapapun biaya ia sediakan, apapun persyaratan ia usahakan. Maka jika jabatan sudah menjadi sesuatu yang menyilaukan, halal dan haram tidak ia hiraukan, undang-undang dia terjang, ancaman tidak diindahkan, demi mendapatkan jabatan yang ia impikan.

Maka, jika manusia sudah tergila-gila dengan jabatan, sampai-sampai teman karib juga ia korbankan, ia relakan keluarga jadi tumbal kekuasaan, apalagi tetangga atau yang cuma sebatas kenalan.

Jika seseorang menganggap ketenaran merupakan ukuran kesuksesan, maka tidak jarang seseorang melakukan kesyirikan untuk dapat menjadi orang terkenal. Ia datang kepada dukun, paranormal, orang pintar karena menganggap mereka bisa membantu menjadi orang terkenal.

Perilaku-perilaku aneh dan tidak masuk akalpun, ia lakukan, pasang susuk, penglaris, pengasihan dan segala bentuk persyaratan agar orang terpikat kepadanya, agar orang luluh dan tunduk kepadanya, agar orang terpedaya dengan kecantikan dan ketampanannya.

Maka setelah ia mendapat ketenaran, pasti ia akan menjadi budaknya setan, ia akan terus menuruti permintaan-permintaan syetan dan ia akan terhina dan mati dalam keadaan kafir dan musyrik, Naudzubillah min dzalik.

Ketahuilah, sukses yang sebenarnya adalah apa yang didefinisikan oleh Allah dalam Al-Quran:

فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Dan barang siapa yang diselamatkan dari api Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, maka sungguh dia telah SUKSES. Dan kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. Ali Imron: 185).

Orang kaya bisa sukses, asalkan kekayaannya ia gunakan untuk beribadah, hartanya ia gunakan untuk berjihad dengan menunaikan zakat, infaq dan sedekah. Kekayaannya membuat ia semakin dekat dengan Allah, semakin rindu dengan Rasulullah SAW dan ia cinta dengan para ulama, santri dan pejuang-pejuang dakwah.

Orang miskin pun bisa sukses apabila dengan kemiskinannya itu membuat ia dekat dengan Sang Pencipta. Ia mampu bersabar, tetap istiqomah menjalankan ibadah, tidak mengeluh dan tidak menjadi peminta-minta. Maka kemiskinannya itu akan mempercepat hisabnya di hari kiamat dan kesabarannya akan Allah ganti dengan surga yang tiada ternilai keindahan dan kenikmatannya.

Seorang pejabat, yang punya kedudukan dan kekuasaan bisa menggapai sukses apabila dengan kekuasaan yang ia miliki mampu menjadikan orang yang dipimpinnya beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Amanah yang didapat ia tunaikan, dengan jabatan yang ia emban membuat masyarakat aman dan tenteram, ia tegakkan keadilan, hak-hak rakyat ia perhatikan dan muaranya adalah keberkahan bagi penduduk di negerinya.

Orang biasa, rakyat jelata pun bisa sukses apabila ia konsisten beribadah, tekun dalam bekerja dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan dan kedurhakaan.  Meski hanya orang biasa, namun tetap terus belajar, memperdalam ilmu agama dan mengamalkan sesuai kadar kemampuan. Maski rakyat jelata, namun ia berikan yang terbaik yang ia punya, ia lakukan yang terbaik yang ia bisa, meski tidak dihargai, meski tidak diapresiasi, meski tidak diberi penghargaan namun tetap istiqomah dalam beribadah.

Orang yang terkenal, para artis, selebritis, seniman, budayawan, mereka bisa sukses apabila dengan ketenarannya itu membuat ia dekat dengan Allah. Ia sadar bahwa ketenarannya bukan semata-mata karena kehebatan dan kepiawaiannya, akan tetapi itu adalah karunia dari Allah SWT. Ia tidak sombong, tidak jumawa, tidak besar kepala tidak pula meremehkan sesama.

Islam tidak pernah membeda-bedakan antara yang kaya dengan yang miskin, antara pejabat atau rakyat, orang terkenal atau orang pinggiran. Alah juga tidak pernah melihat dari mana kita berasal atau ketutunan siapa diri kita. Yang akan dijadikan tolak ukur dalam sukses menurut Islam adalah amal ibadah yang kita lakukan sampai tiba hari kematian. Apakah ia mampu menggapai husnul khatimah atau kandas di tengah perjalanan hingga berakhir su’ul khatimah. (A/P2/RS1)

Mi’raj News Agency (MINA)