SELAMA beberapa dekade terakhir, two-state solution atau solusi dua negara sering disebut sebagai jalan keluar paling ideal bagi konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Konsep ini membayangkan dua negara yang hidup berdampingan dalam damai: satu negara bagi rakyat Israel dan satu negara merdeka bagi rakyat Palestina.
Secara teori, ide ini terdengar penuh harapan. Namun, ketika melihat fakta di lapangan, banyak analis dan pengamat internasional mulai mempertanyakan: apakah solusi dua negara benar-benar realistis, ataukah sekadar mimpi politik yang terus dihidupkan demi menenangkan opini publik dunia?
Salah satu alasan mendasar mengapa gagasan ini sulit terwujud adalah karena ide dua negara bukanlah gagasan yang lahir dari internal Palestina, melainkan diciptakan oleh pihak luar. Proposal ini pertama kali digagas oleh kekuatan internasional seperti PBB dan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, yang memiliki kepentingan strategis di kawasan Timur Tengah.
Karena datang dari luar, gagasan ini kerap dipandang rakyat Palestina sebagai agenda yang dipaksakan, bukan hasil aspirasi atau dialog internal mereka sendiri. Akibatnya, sebagian besar masyarakat Palestina merasa tidak memiliki ikatan emosional ataupun politik terhadap gagasan tersebut.
Baca Juga: Ketika Para Pemimpin Dunia Berbicara tentang Palestina di PBB
Lebih jauh lagi, ide ini tidak pernah melalui mekanisme referendum yang sah dan transparan, baik di pihak Palestina maupun Israel. Prosesnya bersifat top-down: pemerintah asing dan lembaga internasional mendesak Palestina untuk menerima gagasan ini tanpa benar-benar mendengar suara rakyat.
Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan yang mendalam. Banyak kelompok di Palestina, terutama yang menentang penjajahan Israel secara tegas, memandang solusi dua negara sebagai bentuk kompromi yang merugikan dan melemahkan perjuangan mereka.
Di sisi lain, Israel juga tidak menerima ide dua negara. Sebagian besar elite politik, khususnya kelompok sayap kanan yang dominan dalam pemerintahan, menolak pembagian wilayah yang mengharuskan mereka menarik diri dari pemukiman ilegal di Tepi Barat atau menyerahkan kendali atas sebagian besar wilayah Palestina.
Mereka beranggapan bahwa pembentukan negara Palestina akan mengancam keamanan dan identitas nasional Israel. Kondisi ini menunjukkan bahwa kedua belah pihak sebenarnya sama-sama tidak memiliki kemauan yang kuat untuk menjalankan gagasan dua negara.
Baca Juga: Membungkam Suara Gaza: Serangan Israel terhadap Jurnalis sebagai Senjata Perang
Faktor geografis juga menjadi hambatan besar. Perluasan pemukiman Israel di Tepi Barat terus berlangsung dari tahun ke tahun, hingga wilayah Palestina kini terfragmentasi menjadi kantong-kantong kecil yang terpisah satu sama lain.
Secara praktis, hal ini membuat negara Palestina yang berdaulat dan layak hidup hampir mustahil diwujudkan. Luigi Scazzieri, peneliti dari Centre for European Reform menegaskan bahwa pertumbuhan populasi pemukim Israel adalah bukti nyata ketidakseriusan Israel dalam mewujudkan dua negara.
Masalah internal Palestina turut memperumit keadaan. Perpecahan politik antara faksi besar seperti Fatah dan Hamas membuat Palestina tidak memiliki kepemimpinan yang solid dan bersatu.
Ketika satu pihak setuju dengan suatu proposal, pihak lain bisa menolaknya dengan keras, sehingga tidak ada kesepakatan yang benar-benar memiliki legitimasi di mata seluruh rakyat Palestina. Perpecahan ini membuat posisi Palestina di meja perundingan selalu lemah dan mudah dimanfaatkan oleh pihak Israel maupun mediator internasional.
Baca Juga: Pacaran Bikin Gelisah, Nikah Mendatangkan Berkah
Selain itu, terdapat isu-isu fundamental yang menjadi batu sandungan permanen, atau yang sering disebut dealbreakers. Status Yerusalem misalnya, diklaim sebagai ibu kota oleh kedua belah pihak dan dianggap suci, sehingga hampir mustahil untuk dibagi secara adil.
Isu lain seperti hak kembali bagi para pengungsi Palestina, kontrol perbatasan, serta pembagian sumber daya air juga menjadi titik sengketa yang tak kunjung menemukan solusi.
Krisis kepercayaan yang sudah berlangsung lama memperburuk keadaan. Bertahun-tahun kekerasan, pelanggaran perjanjian, dan pembangunan pemukiman ilegal membuat kedua pihak saling mencurigai dan sulit mempercayai komitmen lawan.
Banyak pengamat internasional menilai bahwa proses perdamaian yang selama ini digembar-gemborkan justru memperburuk keadaan. Brookings Institution dalam salah satu analisanya menyebut bahwa perkembangan di lapangan seperti blokade Gaza, kontrol penuh Israel atas pergerakan rakyat Palestina, dan perluasan pemukiman ilegal telah membuat gagasan dua negara kian tak realistis. Alih-alih bergerak menuju solusi, proses perdamaian justru membuat ide solusi dua negara hanya tinggal slogan politik.
Baca Juga: Semua Orang Sudah Muak dengan Perilaku Biadab Zionis Israel
Tekanan dari dunia internasional juga sering kali tidak efektif. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat kerap mempromosikan two-state solution namun pada saat yang sama tetap mendukung Israel secara militer maupun ekonomi. Akibatnya, pihak Israel merasa tidak perlu benar-benar serius dalam perundingan, sementara pihak Palestina merasa terjebak dalam situasi tanpa pilihan.
Dengan semua faktor ini, semakin banyak pihak yang mulai menyatakan secara terbuka bahwa solusi dua negara sudah mati. Beberapa pakar bahkan berpendapat bahwa gagasan ini sejak awal hanyalah strategi untuk mempertahankan status quo, bukan benar-benar untuk mewujudkan perdamaian yang adil.
Israel semakin memperkuat kontrol atas wilayah Palestina, Palestina sendiri terpecah, dan dunia internasional tampak tak berdaya menghadapi kenyataan ini.
Pada akhirnya, dunia perlu melihat realitas dengan jujur. Solusi dua negara mungkin terdengar ideal dan penuh nilai kemanusiaan, tetapi tanpa kemauan politik yang tulus, kepercayaan yang dibangun kembali, dan dukungan nyata dari kedua belah pihak, gagasan ini tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Baca Juga: Suara dari Gaza: “Kami Manusia, Masih Layak Hidup”
Jika dunia terus berpegang pada harapan semu, maka setiap perundingan hanya akan menjadi kata-kata kosong yang menutupi penderitaan rakyat Palestina. Untuk mencapai perdamaian sejati, diperlukan pendekatan baru yang lebih realistis, adil, dan benar-benar berpihak kepada rakyat yang selama ini hidup di bawah bayang-bayang penjajahan. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Saat Pacaran Jadi “Tren”, Nikah Jadi “Beban”