Oleh: Bahron Ansori
Tulisan singkat ini, tak bermaksud menyinggung siapa pun, apalagi anda yang merasa bujangan. Tulisan ini sekedar sharing buat memotivasi saudara seiman agar benar-benar mempersiapkan diri untuk menyambut hari-hari bahagia itu : MENIKAH. Menikah adalah hal terindah yang pasti dirindukan setiap insan. Terlebih lagi menikah adalah sunnah yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Nabi SAW bersabda, “Bukan golonganku orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya karena menikah kemudian ia tidak menikah.” (HR Thabrani).
Ada seorang teman yang baru sehari melangsungkan pernikahannya. Saat itu, ada teman lain yang bertanya kepadanya, “Bagaimana perasaanmu setelah menikah?” Teman yang menikah itu menjawab sambil sedikit mengerenyitkan dahi, “Sungguh, saya menyesal menikah.” Tentu teman yang bertanya itu terkejut dan menyusul dengan pertanyaan lagi, “Menyesal bagaimana maksudmu ?”
Teman yang sudah menikah itu menjawab, “Saya benar-benar menyesal menikah, kalau tahu rasanya begitu nikmat dan indah, hemm…sudah dari jauh-jauh hari mestinya saya menikah,” jawabnya sambil menebar senyum tanda bahagia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Ilustrasi di atas sering kali dijumpai dalam kehidupan ini. Tak sedikit orang yang takut untuk melangkah ke jenjang pernikahan, hanya karena alasan ini itu. Segudang alasan itu akan pada akhirnya akan terus menumpuk seiring bertambahnya usia. Mengapa banyak pemuda-pemudi yang belum siap menikah ? Padahal usianya sudah terbilang sangat memungkinkan ?
Pernikahan memang menjadi dambaan banyak orang, terutama bagi ikhwan akhwat yang sudah lama menanti masa-masa indah itu datang. Secara naluri manusia, pernikahan adalah sunnatullah yang menjadi harapan ketika fungsi-fungsi hormonal anak cucu Adam sudah matang. Pernikahan menjadi harapan terindah ketika jiwa-jiwa tak lagi mampu dipuaskan dengan sebuah hobi. Bahkan pernikahan menjadi jawaban nyata atas berbagai “tekanan” masyarakat yang terus menghantui kaum hawa di Timur.
Menikah merupakan akad besar nan mulia yang merupakan warisan para nabi. Karena itu setiap orang yang mengaku hanya beriman kepada Allah SWT, tentu tak akan melakukan hal sakral itu dengan main-main. Mengapa? Karena bagi sebagian orang, menikah merupakan perjanjian agung yang hanya ingin dilakukannya sekali seumur hidup (bukan untuk nikah cerai lalu menikah lagi dan cerai lagi).
Siapa pun dia, pria maupun wanita yang hendak menikah, mau tidak mau harus menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Ada beberapa hal besar yang mesti diperhatikan sebelum mengambil keputusan berumah tangga itu. Nah, untuk melangkah ke jenjang rumah tangga itu, mau tidak mau harus menyiapkan segala sesuatunya dengan baik. Paling tidak sebelum memutuskan untuk mengambil keputusan besar itu (berumah tangga), ada empat (4) hal yang harus dipersiapkan antara lain sebagai berikut:.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Pertama, kesiapan pemikiran. Kesiapan pemikiran ini mencakup paling tidak mencakup tiga hal antara lain,
pertama, kematangan visi keislaman. Orang yang mempunyai kematangan visi keislaman berarti memiliki dasar-dasar pemikiran yang jelas tentang identitas ideologinya. Ketika seorang Muslim ingin menikah, ia harus mengetahui dulu bahwa ia adalah Muslim. Namun, di atas itu ia juga harus mengetahui mengapa ia menjadi Muslim, sehingga ia mampu dihadapkan kepada berbagai pilihan dalam kehidupan nyata.
Masalah pernikahan bukan perkara yang sulit (karena Islam sendiri sudah memudahkan masalah ini) tapi bukan pula merupakan perkara yang sembarangan. Disinilah kematangan visi keislaman sangat dibutuhan. Karena setelah akad nikah terlewati akan ada status qowam (pemimpin) yang menempel pada diri seorang suami dan status bunda pada diri seorang istri yang di situ memerlukan kematangan visi keislaman.
Nantinya akan terlihat peran qowam dalam memimpin bahtera rumah tangga, mau dibawa ke mana isteri dan anaknya, dan akan ada peran seorang bunda sebagai ustadzah pertama bagi anak-anaknya. Siapkah seorang qowam dan seorang bunda akan pengetahuan Islam; pengetahuan tentang pernikahan (sebelum dan sesudah akad nikah ditunaikan); pengetahuan tentang tauhid, akhlak, dan sebagainya yang nantinya akan diajarkan kepada jundi-jundi kecilnya; pengetahuan tentang hukum Islam, etika Islam, dan masih banyak lagi.
Akad nikah merupakan launcing berdirinya sebuah madrasah. Akad nikah barlangsung bersamaan dengan pengguntingan pita tanda dibukanya sebuah madrasah baru, bersamaan pula dengan dilantiknya sepasang ustadz dan ustadzah yang diwajibkan untuk siap mendidik jundi-jundi kecil yang nanti akan meramaikan madrasah itu. Sepasang ustadz dan ustadzah yang bersatu dalam sebuah ikatan suci ini nanti akan mengajarkan banyak hal pada jundi-jundi kecil-nya dan sekaligus akan mengecap pembelajaran-pembelajaran yang akan mendewasakan keduanya. Begitulah waktu bergulir. Akankah menjadi sebuah madrasah favorit yang akan dijadikan cerminan madrasah-madrasah lainnya ataukah akan menjadi madrasah yang buruk bahkan ambruk (na’udzubillah!) tergantung sematang apa visi keislaman yang ia punya.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Kedua, kematangan visi kepribadian. Dua hambatan terbesar dalam berhubungan dengan orang lain yaitu bila kita tidak memahami orang lain dengan benar dan bila kita tidak mampu memahami diri kita sendiri dengan benar. Seseorang yang mempunyai konsep diri yang jelas artinya ia mengetahui kepribadiannya sendiri dengan baik. Orang semacam itu akan mampu memahami keadaan dirinya sendiri sehingga akan melahirkan penerimaan diri yang baik. Ketika seseorang mampu menerima dirinya dengan baik, setelah menikah pada umumnya ia juga akan mampu menerima pasangannya dengan baik.
Ketiga, kematangan visi pekerjaan. Poin ini lebih khusus ditujukan untuk calon suami. Seorang ikhwan ketika memutuskan untuk menikah maka ia harus mempuyai perencanaan yang matang tentang bagaimana ia nanti akan menghidupi anak dan istrinya. Artinya, ia mempunyai visi yang jelas tentang pekerjaan yang akan dilakoninya kelak.
Kedua, kesiapan psikologis. Ketika seseorang berumah tangga, tanggungjawab (sebagai seorang qowam atau bunda) akan memberikan beban secara psikologis. Orang yang tidak sanggup menerima beban tidak akan kuat menghadapi beban kehidupan rumah tangga. Kesiapan psikologis di sini adalah kematangan tertentu secara psikis untuk menghadapi berbagai tantangan besar dalam hidup. Orang yang tidak matang secara psikologis akan menyebabkan banyak sekali masalah dalam keluarga ketika memasuki perkawinan.
Contoh, ketika Rasulullah SAW bersama sahabat di rumah ‘Aisyah, datang sahabat lain membawa nampan berisi makanan. Nampan itu dikirim oleh salah seorang istri Rasul yang lain. Ketika ‘Aisyah mengetahui hal itu, ia langsung menghancurkan isi nampan di depan Rasul dan para sahabat. Kita dapat membayangkan betapa malunya seorang pemimpin yang terganggu dalam situasi seperti itu. Sambil meneguk secangkir kopi, Rasulullah SAW mengatakan kalau kita sekarang membutuhkan laki-laki yang bisa menghadapi masalah yang paling pelik dengan cara sederhana. Saat itu Nabi SAW berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Ketiga, kesiapan-kesiapan fisik. Apakah fisiknya sudah siap untuk menikah. Kita harus meyakini bahwa fisik kita sudah siap untuk menikah. Itulah sebabnya nikah terlalu dini juga tidak terlalu bagus (pada umur 12 tahun misalnya). Dalam kitab “al Hijab”, Maududi menjelaskan tentang hubungan seksual. Ketika alat reproduksi kita belum matang, hal itu bisa mempercepat perapuhan fisik secara umum.
Di barat, orang yang melakukan hubungan seksual terlalu muda, pada umumnya setelah di atas usia tiga puluhan akan mengalami hambatan-hambatan fisik. Lain halnya dengan orang yang telat nikah (menikah di atas umur 30 tahun). Menurut ahli kandungan, daya seksual di atas usia 30 tahun sedang menurun. Karena itu laki-laki yang telat menikah, ketika berumur 40 tahun merasa masih harus membuktikan kelelakiannyanya. Hal ini dibenarkan oleh para psikolog dengan menghembuskan isu puber kedua. Ini tidak benar di dalam Islam sehingga penting diketahui dengan baik.
Keempat, kesiapan finansial. Yang ada dalam perkawinan bukan hanya cinta. Aspek ekonomi juga sangat terlibat. Namun tidak berarti ketika seorang ikhwan yang ingin menikah ia harus menjadi ikhwan yang berkepribadian; ikhwan dengan rumah pribadi, mobil pribadi, perusahaan pribadi. Bukan itu. Tapi bagaimana seorang ikhwan siap menafkahi anak dan istrinya secara rasional, artinya dapat mencukupi kebutuhan keluarga.
Jangan sampai kita memasuki dunia perkawinan hanya dengan semangat baja, “kalaupun mereka fakir nanti Allah yang akan membuat kaya”. Kita harus tetap ingat bagaimana cara Allah membuat orang kaya. Prosedurnya tetap manusiawi. Walaupun ada yang tidak menusiawi. Allah mengatakan, “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, Ia akan memberikan jalan dari arah yang tidak disangka-sangka”. Tapi sebagian besar kerjanya manusiawi. Seperti yang dikatakan Umar bin Khatab bahwa langit tidak akan menurunkan emas.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Jadi, untuk para ikhwan dan akhwat, mengapa takut jika harus menikah. Bukankah ada tiga golongan yang pasti Allah SWT akan membantu mereka, satu di antaranya adalah seseorang yang akan menikah karena mengharapkan kemuliaan dari Allah SWT. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Tiga golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Seorang mujahid yang memperjuangkan agama Allah, seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah demi menjaga kehormatannya.”(HR. Thabrani).
Hadits di atas, pendek, jelas dan sangat menyejukkan. Janji pertolongan yang akan diberikan Allah SWT kepada tiga golongan manusia. Allah berjanji akan menolong seorang yang ingin menikah demi menjaga kehormatannya. Luar biasa bukan. Menikah sendiri jelas-jelas tidak untuk siapapun, untuk sang pelaku.
Belum lagi ditambah untuk menjaga kehormatannya. Subhanallah. Namun kenapa banyak pemuda dan pemudi, dalam hal selalu saja mengatakan belum siap untuk menapaki kehidupan baru ini? Kalau menurut pendapat penulis, yang terjadi bukanlah para pemuda pemudi “TIDAK SIAP” untuk menikah. “Tapi mereka tidak pernah berusaha untuk MEMPERSIAPKAN DIRI,” dan itu adalah fakta sebenarnya.
Para pemuda, bukan belum siap, tapi tidak pernah mempersiapkan diri. Sepertinya pertanyaan itulah yang harus ditanyakan jika anda para bujangan. Tapi ingat, hadits di atas bukan mengajarkan anda nekat melakukan nikah tanpa persiapan karena janji pertolongan Allah akan tiba. Tugas kita adalah melakukan persiapan-persiapan sembari berharap ridha-Nya meringankan dan membantu perjalanan kita. Persiapan yang mesti dilakukan adalah, “MENTAL dan MORAL, MATERI dan SPIRITUAL.” Jika semua itu perlahan-lahan anda siapkan, Allah akan menurunkan tangan (kekuasaan/rahmat) membantu membuat ringan.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Ingat, orang yang paling buruk adalah seorang yang masih atau senantiasa hidup membujang. Seperti yang diingatkan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya, “Orang yang paling buruk di antara kalian adalah seorang bujangan, dan mayat yang paling buruk di antara kalian adalah bujangan.” (HR. Imam Ahmad).
Jadi, kenapa takut untuk menikah…? Wallahua’lam. (R2/IR)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina