Banda Aceh, 30 Safar 1437/12 Desember 2015 (MINA) – Di antara hal yang terpenting dilakukan oleh da’i yang bertugas di daerah perbatasan Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara adalah membimbing aqidah para muallaf agar senantiasa kokoh dalam menjaga iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak akan kembali ke agamanya semula.
Hal ini penting karena ada upaya-upaya yang dilakukan oleh kalangan misionaris untuk kembali memurtadkan para muallaf yang masih rapuh imannya tersebut, demikian Tgk. Jamaluddin, seorang da’i perbatasan yang bertugas menjaga aqidah Aceh Singkil, saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Banda Aceh, beberapa waktu lalu.
Dalam keterangan pers yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA), untuk membendung upaya saling tarik-menarik umat tersebut, teratasi dengan adanya program pengiriman sejumlah da’i ke perbatasan oleh Gubernur Aceh. Dalam hal ini dilimpahkan tanggung jawabnya ke Dinas Syariat Islam Aceh.
“Adanya da’i sebagai pengayom ini penting, karena ada di sebagian Aceh Singkil, seperti Sesa Ujung Sialih, Kecamatan Pulau Banyak dan Desa Keras, Kecamatan Suro mayoritas pendyduknya adalah nonmuslim,” kata Jamaluddin.
Baca Juga: Tumbangnya Rezim Asaad, Afta: Rakyat Ingin Perubahan
Pengajian yang membahas tema, “Kearifan Lokal dalam Islam” itu juga turut menghadirkan Budayawan Aceh, Syamsuddin Jalil alias Ayah Panton.
Menurut da’i yang dikirim oleh Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh itu, berdakwah tauhid adalah misi kerasulan yang mesti dilanjutkan untuk memperkuat iman para muallaf.
Dalam pengamatannya, di Aceh Singkil ada oknum masuk Islam terkadang bukan karena kesadaran jiwa, namun ada kepentingan lain yang ingin dicapai, sebut saja seperti ingin menikahi wanita Muslimah, menjadi kepala desa di mayoritas Muslim bahkan ada juga hanya sekedar ikut-ikutan menyesuaikan diri dengan keyakinan masyarakat setempat.
”Dalam berdakwah tentunya ada hambatan-hambatan, salah satunya masih kentalnya kebiasaan lama sebelum memeluk agama Islam. Maka sering kita dapati walaupun sudah Muslim namun di pesta perkawinan masih diwarnai dengan acara musik yang dibarengi dengan mabuk-mabukan serta perjudian,” terangnya.
Baca Juga: Resmikan Terowongan Silaturahim, Prabowo: Simbol Kerukunan Antarumat Beragama
“Solusi yang kami lakukan saat ini, sudah mengirim 70 anak-anak muallaf ke berbagai pesantren di Aceh untuk membekali aqidah yang kuat dan menjadi juru dakwah di desanya masing-masing kelak,” tambahnya.
Oleh sebab itu, Tgk Jamaluddin mengajak pemuda Aceh untuk rajin berdakwah serta peduli terhadap upaya dakwah di pelosok-pelosok Aceh yang masih sedikit orang-orang yang memahami Islam.
Lebih lanjut ia menjelaskan, banyak keutamaan dari berdakwah untuk menyampaikan kebenaran ajaran Islam. Antara lain, sebut Tgk Jamaluddin, yaitu karena dakwah adalah Muhimmatur Rusul (tugas utama para Rasul).
Para rasul adalah orang yang diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk melakukan tugas utama mereka, yakni berdakwah kepada Allah. Keutamaan dakwah terletak pada disandarkannya kerja dakwah ini kepada manusia yang paling utama dan mulia yakni Rasulullah Shalallalahu ‘Alaihi Wasallam dan saudara-saudara beliau para Nabi dan Rasul.
Baca Juga: Konflik Suriah, Presidium AWG: Jangan Buru-Buru Berpihak
Selain itu, dakwah adalah Ahsanul A’mal (Amal yang Terbaik). Dakwah adalah amal yang terbaik, karena dakwah memelihara amal islami di dalam pribadi dan masyarakat. Para da’i akan memperoleh balasan yang besar dan berlipat ganda.
Da’wah, kata Tgk Jamaluddin, juga dapat menjadi penyelamat dari azab Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dakwah yang dilakukan oleh seorang da’i akan membawa manfaat bagi dirinya sebelum manfaat itu dirasakan oleh orang lain yang menjadi objek dakwahnya (mad’u). Manfaat itu antara lain adalah terlepasnya tanggung jawabnya di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sehingga ia terhindar dari azab Allah.
Selain itu, yang lebih penting, sebut Tgk Jamaluddin, Da’wah adalah Jalan Menuju Khairu Ummah. Rasulullah Shalallalahu ‘Alaihi Wasallam berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi umat terbaik sepanjang zaman dengan dakwah beliau.
Dakwah secara umum dan pembinaan Da’i sebagai aset SDM dalam dakwah secara khusus adalah jalan satu-satunya menuju terbentuknya khairu ummah yang kita idam-idamkan.
Baca Juga: Krisis Suriah, Rifa Berliana: Al-Julani tidak Bicarakan Palestina
Rasulullah Shalallalahu ‘Alaihi Wasallam melakukan tarbiyah mencetak kader-kader dakwah di kalangan para sahabat beliau di rumah Arqam bin Abil Arqam radliyallahu ‘anhu, beliau juga mengutus Mush’ab bin Umair RA ke Madinah untuk membentuk basis dan cikal bakal masyarakat terbaik di Madinah (Anshar).
“Jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shalallalahu ‘Alaihi Wasallam ini adalah juga jalan yang sepatutnya ditempuh untuk mengembalikan kembali kejayaan umat Islam,“ pungkas Tgk Jamaluddin yang telah tujuh tahun berdakwah di perbatasan pelosok Aceh Singkil.
Sementara Budayawan Aceh, Syamsuddin Jalil atau Ayah Panton lebih banyak mengulas kearifan lokal Aceh khususnya dalam menjaga syariat Islam yang selama ini sudah mulai dilupakan.
”Dalam membangun Aceh dalam bingkai syariat Islam, Aceh haruslah tetap menjadi Aceh. Kita jangan terpengaruh budaya atau gaya-gaya hidup di negara lain atau budaya barat,” jelasnya.
Baca Juga: AWG Selenggarakan Webinar “Krisis Suriah dan Dampaknya bagi Palestina”
Ayah Panton mengungkapkan, sejak dulu dalam membangun Aceh, orang-orang tua dan indatu (nenek moyang) kita hanya menanamkan empat hal yaitu beu sehat, beu malem (taat beribadah), beu kaya (sejahtera) dan beu bahagia.
Itulah sebabnya mengapa Aceh dijuluki dengan Negeri Serambi Mekkah, sehingga melahirkan sebuah filosofi yang menjadi acuan atau lambang budaya dan hukum Aceh zaman dulu yaitu, “Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusam Bak Laksamana“.
Po Teumeureuhom adalah lambang pemegang kekuasaan. Syiah Kuala adalah lambang hukum syariat atau lambang agama dari Ulama. Qanun adalah lambang perundang-undangan yang berdasarkan Islam dan adat istiadat. Reusam adalah lambang dari tata cara pelaksanaan adat dari para peutua adat dan juga berlandaskan pada Islam.
Pengembangan nilai-nilai hukum dan budaya ini mengacu pada sumber asas, yaitu: “hukom ngen adat lagee zat ngen sifeut“, suatu azas yang mendeskripsikan tentang roh dan jiwa masyarakat Aceh telah menyatu dengan pemahaman Islamnya.(T/R05/P2)
Baca Juga: Puluhan WNI dari Suriah Tiba di Tanah Air
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Menag Sayangkan Banyak yang Ngaku Ulama tapi Minim Pengetahuan