Menjaga Diri dari Ghibah dan Namimah

Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA

“Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain, apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertawakkal-lah kepada Allah, sungguh Allah Maha penerima tobat, lagi Maha penyayang.” (Qs. al-Hujurat [49] : 12).

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang masalah ghibah, perlu mengetahui lebih dulu apa itu ghibah. Makna ghibah telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW ketika beliau bertanya kepada para sahabatnya:

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أتدرون ما الغيبة قالوا الله ورسوله أعلم قال ذكرك أخاك بما يكره قيل أفرأيت إن كان في أخي ما أقول قال إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه فقد بهته

“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?” Mereka menjawab,“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui daripada kami. Berkata Rasulullah,“Ketika kau ungkap hal-hal/keadaan kawanmu (sedangkan) ia benci tentang pengungkapan hal itu kepada orang lain, maka itulah yang disebut ghibah.”Lalu ditanyakan, “Bagaimana kalau hal itu sesuai dengan kenyataan?” Jawab Nabi SAW, “Jika hal (yang kau ungkap) itu sesuai dengan kenyataan orang itu, berarti itu ghibah, tetapi jika tidak sesuai, malahan itu disebut “Buhtan”.

Buhtan = Memfitnah (menjelek-jelekan) orang dengan berbagai cara, seperti menghasut, berbohong/memalsu yaitu bersama ghibah, maka ghibah itu termasuk dari dosa-dosa besar yang tidak menghapus pahala shalat, shadaqah, puasa dan amal shalih lainnya, akan tetapi mengurangi timbangan amal kita.

Ibnul qawi rh berkata di dalam syairnya, “Dan telah dikatakan termasuk dosa kecil: ghibah dan namimah. Dan keduanya termasuk dosa besar menurut pendapat Ahmad”

Yang dimaksud Ahmad di sini adalah Imam Ahmad bin Hanbal rh, beliau berpendapat bahwa ghibah dan namimah (mengadu domba) termasuk dosa besar. Dan perkataan Nabi saw di dalam pengertian ghibah: “Engkau menyebutkan tentang saudaramu yang dibenci olehnya” meliputi apa-apa yang dia benci dari aib tentang perbuatannya atau aib tentang penciptaannya, aib tentang agamanya, dan segala sesuatu yang ia benci. Maka jika kamu menyebutkannya maka itu adalah ghibah.

Di antara aib tentang penciptaannya, misalnya: engkau menyebutkan tentang dia bahwasanya dia itu orang yang pincang, atau buta sebelah mata, atau tinggi, atau rendah, dan yang semisal dengan itu, maka ini termasuk ghibah. Atau dari aib tentang perbuatannya, misalnya: engkau menyebutkan tentang dia bahwasanya dia bukan orang yang menjaga kehormatan dirinya seperti sering melihat perempuan dan yang semisalnya, atau dari aib tentang agamanya, misalnya: engkau menyebutkan bahwasanya dia adalah ahli bid’ah, atau bahwasanya dia tidak melakukan shalat jamaah, dia tidak melakukan ini dan itu, engkau menghina dia dengan cara menggunjingnya, maka yang demikian itu dinamakan ghibah karena orang yang dibicarakan tentang aibnya tidak berada di tempat kejadian. Adapun apabila engkau membicarakan aib orang lain di depan orangnya, maka engkau telah memaki orang tersebut dan bukan dinamakan ghibah.

Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an yang artinya, “Dan janganlah sebagian dari kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Hujurat [49] : 12).

Pada ayat tersebut sudah sangat jelas bagi kita bahwasanya Allah SWT telah melarang kita untuk melakukan ghibah, sampai-sampai Allah SWT memberikan permisalan orang yang melakukan ghibah seperti orang yang memakan daging saudaranya sendiri yang tentunya kita sebagai manusia pasti akan merasa jijik untuk melakukannya.

Rasulullah SAW juga bersabda,“Janganlah kalian saling menghasut, dan janganlah saling membenci, dan janganlah saling mencari-cari kesalahan, dan janganlah saling membelakangi (tidak saling menyapa) dan janganlah saling mengghibah sebagian dari kalian dengan sebagian yang lain. Dan jadilah hamba Allah yang bersaudara.”‏ ‏

Kita tidak hanya dilarang oleh Allah SWT untuk melakukan ghibah, akan tetapi kita juga dilarang untuk mendengarkan orang yang melakukan ghibah.Adapun dalil tentang larangan mendengarkan perkataan ghibah telah dijelaskan di dalam al-qur’an tentang sifat orang-orang yang beriman, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perkataan dan perbuatan) yang tiada berguna.” (Qs. Al-mu’minun [23] : 3).

Dan disebutkan juga di dalam surat al-Qashas, Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya. (Qs. Al Qashas: 55).

Menjaga Pendengaran dari Nyanyian, Kata-kata Kotor dan Sejenisnya

“Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna dan menyesatkan (manusia) dari jalan Allah. (QS. Luqman [31]  : 6). Lagu atau nyanyian hukumnya haram menurut sebagian ulama Islam. Haramnya lagu atau nyanyian termasuk dalam madzhab Hanafi, Malik, Syafi’i dan Hanbali. Ibnu Mas’ud pernah bersumpah atas nama Allah, bahwa yang dimaksud dalam Qs. Al-Luqman : 6 adalah nyanyian.

Dan dari Abu ‘Amir dan Abu Malik Al-Asy’ary ra, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya akan ada di antara umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan alat-alat musik.” (HR. Bukhari).

Nabi SAW telah melarang memakai alat gendang, dan menggambarkan suara seruling sebagai suara setan bodoh dan durhaka. Sedangkan ulama-ulama terdahulu seperti Imam Ahmad –rahimahullah- telah menyatakan haramnya alat-alat permainan dan musik seperti kecapi, gitar, seruling, rebab, dan simbal. Termasuk juga alat-alat musik modern seperti biola, zither, piano, gitar dll.Bahkan sentuhan dan pengaruhnya lebih besar dari alat-alat musik klasik (kuno), yang telah diharamkan dalam hadits-hadits, apalagi kemabukan kepada musik lebih besar daripada kemabukan yang disebabkan oleh khamar, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh sebahagian ulama seperti Ibnul Qoyyim.

Dari Nafi’ maula Ibnu Umar ra Bahwasanya Ibnu Umar ra pernah mendengar suara seruling seorang penggembala. Maka beliau (Ibnu Umar) meletakkan kedua jarinya di telinganya lalu mencari jalan lain. Ibnu Umar berkata : ‘Wahai Nafi’! Apakah kamu mendengar suara ini?’ Maka aku menjawab : ‘ya’ dan beliau selalu mengatakan demikian, sampai aku mengatakan, ‘saya tidak mendengar lagi!’ Lalu Ibnu Umar kembali ke jalan yang semula. Kemudian berkatalah Ibnu Umar ‘Saya pernah melihat Rasulullah SAW mendengar seruling penggembala lalu beliau melakukan seperti ini’” (Atsar Shahih, Dikeluarkan oleh Imam Ahmad 4535-4965, Abu Dawud: 4924, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubro1/222, dan Ibnu Hibban dalam shahihnya 2/468/693, al-Ajurri dalam Tahrimun Nardi wa Syatronji no. 64. Dan atsar ini dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh al Albani dalam Tahrimu Alatu Thorbi hlm. 116).

Atsar ini menunjukkan betapa besarnya semangat para sahabat dalam menjaga pendengaran, diantaranya tidak mendengarkan alunan musik, serta selalu beruswah kepada Nabi SAW. Anehnya atsar ini kadang malah dijadikan dalil tentang bolehnya mendengar nyanyian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa 30/212 : Hadits tersebut -jika memang shohih- maka tidak bisa dijadikan dalil dibolehkannya mendengarkan nyanyian dan musik, bahkan larangan tersebut lebih utama dikarenakan beberapa segi :

Pertama, Yang diharamkan adalah “mendengarkan” bukan hanya sekedar “mendengar”. Seseorang jika mendengar kekufuran, ucapan dusta, ghibab (gunjingan), celaan, serta musik dan nyanyian tanpa adanya niat dan maksut untuk mendengarkan –seperti seseorang yang hanya sekedar lewat jalan tersebut lalu mendengar suara nyanyian- maka orang tersebut mendapatkan dosa dengan kesepakatan kaum muslimin. Dan kalau seandainya ada seseorang berjalan lalu mendengar bacaan al-Qur’an tanpa mendengarkannya terhadap bacaannya tersebut maka dia tidak mendapatkan pahala. Dan dia akan mendapatkan pahala jika dia mendengarkan dan memperhatikan bacaan tersebut yang ia maksudkan. Nabi SAW dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu itu keduanya hanya sekedar melewati jalan tersebut tanpa ada niatan mendengarkan nyanyian, begitu juga apa yang dilakukan oleh Ibnu Umar dan Nafi’.

Kedua, Nabi SAW menyumbat kedua telinga karena beliau sangat menjaga pendengarannya supaya tidak mendengar suara nyanyian sama sekali. Kalau seandainya suara tersebut boleh didengar maka Nabi SAW tidak menyumbat telinga. Hal ini menunjukkan mendengarkan serta menikmatinya itu lebih terlarang.

Maka sudah seharusnya seorang wanita muslimah harus membersihkan rumahnya dan telinganya dari noda kotor ini, agar dia menggapai nikmat dunia akhirat. Allahu Musta’an.(RS3/P1)

(Sumber : 10 sifat bidadari dunia, Dr. Aidh Al-Qarni)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.