Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menjaga Sam’i wa Tha’at sebagai Landasan dalam Hidup Berjama’ah

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 19 detik yang lalu

19 detik yang lalu

0 Views

ilustrasi kehidupan berjamaah (foto: IG)

DALAM kehidupan berjama’ah, sam’i wa tha’at atau sikap mendengar dan menaati pemimpin memiliki peran fundamental sebagai landasan yang menjaga kesatuan dan keharmonisan di tengah komunitas. Konsep ini tidak hanya berakar kuat dalam ajaran Islam, tetapi juga relevan secara ilmiah dalam membangun organisasi yang solid dan efektif.

Melalui sam’i wa tha’at, setiap individu dalam jamaah diarahkan untuk mengutamakan kepentingan bersama di atas ego pribadi, menjaga stabilitas internal, dan mewujudkan tujuan kolektif yang diridhai Allah. Sebagai bentuk ketaatan kepada ulil amri yang bersandar pada syariat, prinsip ini menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal, sekaligus menjadi ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah.

Sam’i wa tha’at adalah konsep yang memiliki akar kuat dalam Islam, mengacu pada sikap mendengar (sam’i) dan menaati (tha’at) pemimpin atau ulil amri selama perintahnya tidak bertentangan dengan syariat Allah. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 59, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” Ayat ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemimpin merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah, selama tidak ada penyimpangan dari syariat.

Dalam kehidupan berjama’ah, sam’i wa tha’at menjadi pilar utama untuk menjaga kesatuan, keharmonisan, dan kelancaran pelaksanaan tujuan jamaah. Tanpa sikap ini, jamaah mudah terpecah, kehilangan arah, dan tidak dapat mencapai tujuan bersama. Sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia telah melepas ikatan Islam dari lehernya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Baca Juga: 15 Fakta Masjid Al-Aqsa yang Harus Diketahui Setiap Muslim

Dalam perspektif ilmiah, prinsip sam’i wa tha’at mencerminkan pentingnya kepatuhan dan disiplin dalam organisasi sosial. Teori-teori manajemen modern menekankan bahwa keberhasilan sebuah organisasi sangat bergantung pada ketaatan terhadap aturan, struktur hierarki, dan koordinasi yang baik. Ketika anggota sebuah kelompok menghormati pemimpin dan menjalankan perintahnya, tercipta efisiensi dalam mencapai tujuan bersama.

Islam memahami bahwa kepemimpinan adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan tanggung jawab. Oleh karena itu, pemimpin dalam jamaah tidak boleh bertindak otoriter, tetapi harus berlandaskan syura (musyawarah) sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an (Asy-Syura: 38). Kewajiban sam’i wat tha’at yang diemban anggota jamaah harus seiring dengan kewajiban pemimpin untuk bersikap adil, transparan, dan memprioritaskan kemaslahatan umat.

Dalam konteks ini, sam’i wa tha’at bukanlah bentuk ketaatan buta. Islam memberikan batasan tegas bahwa ketaatan hanya berlaku selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan hukum Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta.” (HR. Ahmad). Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan bersyarat adalah perlindungan dari penyalahgunaan kekuasaan.

Dengan menjunjung tinggi sam’i wa tha’at, jamaah mampu menjaga stabilitas internal. Ketika anggota jamaah mendengar dan menaati pemimpin dengan ikhlas, energi jamaah tidak terkuras untuk konflik internal, tetapi terfokus pada pencapaian tujuan bersama. Stabilitas ini juga memperkuat posisi jamaah dalam menghadapi tantangan eksternal.

Baca Juga: Hari Holocaust Internasional dan Genosida Gaza

Prinsip ini sangat penting dalam konteks dakwah Islam. Sebagai jamaah yang bertugas menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, kekompakan merupakan keharusan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tangan Allah bersama al-jamaah.” (HR. Tirmidzi). Dengan sam’i wa tha’at, jamaah mampu berjalan sebagai satu kesatuan yang terorganisir dengan baik.

Secara sosiologis, sikap mendengar dan taat kepada pemimpin juga mencerminkan nilai kepatuhan sosial yang penting untuk menjaga kohesi kelompok. Dalam teori kontrak sosial, ketaatan terhadap aturan dan pemimpin adalah cara untuk menjaga ketertiban dan harmoni dalam masyarakat. Jika prinsip ini diterapkan dalam jamaah Islam, akan terbentuk komunitas yang solid dan harmonis.

Salah satu tantangan terbesar dalam menjaga sam’i wat tha’at adalah ego individu. Dalam jamaah, setiap individu sering kali memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda. Namun, Islam mengajarkan bahwa kepentingan jamaah lebih utama daripada kepentingan individu. Dalam hadis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemimpin dalam jamaah perlu memahami psikologi pengikutnya, memberikan arahan yang jelas, serta membangun komunikasi yang baik. Hal ini relevan dengan konsep kepemimpinan transformatif dalam ilmu manajemen, di mana pemimpin mampu menginspirasi dan memotivasi anggotanya untuk bekerja sama demi tujuan bersama.

Baca Juga: Mengapa Seorang Muslim Harus Memiliki Pemimpin? Penjelasan Surat An-Nisa Ayat 59

Lebih jauh lagi, sam’i wa tha’at juga mendidik anggota jamaah untuk bersikap sabar dan ikhlas dalam menerima keputusan yang tidak sesuai dengan keinginannya. Allah memerintahkan dalam Al-Qur’an (Ali Imran: 159) agar pemimpin bermusyawarah, tetapi setelah keputusan diambil, umat harus mendukung dan melaksanakannya dengan penuh keikhlasan.

Islam juga mengajarkan bahwa sam’i wa tha’at adalah bentuk ibadah yang mendekatkan seorang muslim kepada Allah. Dalam hadis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang menaati aku, berarti ia telah menaati Allah. Barang siapa yang mendurhakai aku, berarti ia telah mendurhakai Allah. Dan barang siapa yang menaati pemimpin yang aku tunjuk, berarti ia telah menaati aku.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, menjaga sam’i wa tha’at bukan hanya soal kepentingan jamaah, tetapi juga tentang hubungan individu dengan Allah. Ketika seorang anggota jamaah menaati pemimpin yang adil, ia tidak hanya menjaga keutuhan jamaah, tetapi juga menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya.

Dalam kesimpulannya, sam’i wa tha’at adalah landasan utama dalam hidup berjamaah berimamah. Prinsip ini menjamin kelancaran Al Jama’ah, menjaga harmoni, dan mendidik umat untuk memprioritaskan kepentingan bersama di atas ego individu. Dengan menjaga sikap mendengar dan taat kepada pemimpin yang berlandaskan syariat, jamaah akan menjadi kuat, terorganisir, dan mampu menjalankan misi dakwah Islam dengan penuh keberkahan.[]

Baca Juga: Kumandang Surah Al-Isra’ dari Jakarta untuk Palestina

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Isra Miraj dan Pembebasan Masjidil Aqsa

Rekomendasi untuk Anda