Oleh Hayu S. Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI
LEBARAN telah usai. Setelah sebulan penuh berpuasa, menahan diri, dan menata hati, umat Muslim menyambut Idul Fitri dengan suka cita. Tradisi silaturahmi, saling memaafkan, hingga berbagi makanan dan hadiah menjadi ciri khas hari kemenangan. Namun di balik euforia itu, tersimpan ironi ekologis: peningkatan konsumsi secara drastis, perilaku boros, serta lonjakan volume sampah yang merusak makna kesucian Idul Fitri.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menunjukkan bahwa selama periode Ramadhan dan Idul Fitri, volume sampah di Indonesia dapat meningkat hingga 20%, terutama berasal dari sisa makanan, kemasan plastik, dan limbah rumah tangga lainnya. Di beberapa kota besar, petugas kebersihan harus bekerja ekstra menangani lonjakan sampah pascalebaran. Hal ini mencerminkan adanya jarak antara nilai spiritual yang dihayati selama Ramadhan dengan praktik konsumsi kita setelahnya.
Padahal, Idul Fitri sejatinya adalah momen kembali ke fitrah—kondisi kesucian yang tidak hanya menyangkut spiritualitas, tetapi juga etika dalam memperlakukan sesama, termasuk lingkungan. Jika Ramadhan melatih umat untuk mengendalikan hawa nafsu, maka tantangan pasca-Ramadhan adalah mempertahankan latihan itu dalam keseharian. Termasuk dalam pola konsumsi dan kepedulian terhadap alam.
Baca Juga: The Power of Ikhlas
Sayangnya, banyak perilaku boros justru semakin terlihat setelah Ramadhan. Mulai dari tumpukan sisa makanan Lebaran, penggunaan wadah dan alat makan sekali pakai saat silaturahmi, hingga belanja baju dan barang secara impulsif menjelang hari raya. Belum lagi limbah dari parcel dan hampers yang menggunakan kemasan plastik, styrofoam, hingga bubble wrap yang sulit terurai. Semua ini mengonfirmasi bahwa Idul Fitri masih identik dengan kemewahan dan konsumsi berlebih, bukan kesederhanaan dan kesadaran.
Islam sebenarnya telah memberikan panduan yang sangat jelas dalam menyikapi hal ini. Allah SWT berfirman, “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31). Demikian pula, dalam QS. Al-Isra: 27, disebutkan bahwa orang yang boros adalah saudara setan. Prinsip kesederhanaan, kehematan, dan tanggung jawab ekologis bukan sekadar etika sosial, tetapi bagian dari ajaran agama.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 47 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Sampah juga menegaskan bahwa setiap Muslim wajib menjaga lingkungan dan menghindari perilaku tabdzir (pemborosan) serta israf (berlebihan). Artinya, membuang makanan sisa Lebaran, memborong barang yang tak dibutuhkan, atau menggunakan plastik sekali pakai dalam jumlah besar adalah tindakan yang bertentangan dengan spirit Islam.
Oleh karena itu, pendekatan agama menjadi kunci dalam mengatasi masalah peningkatan sampah selama Ramadhan dan pasca lebaran. Islam tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga memberikan solusi praktis melalui perubahan perilaku. Puasa, misalnya, seharusnya menjadi sarana untuk melatih kesederhanaan dan pengendalian diri, termasuk dalam hal konsumsi. Konsep zero waste atau bebas sampah sejalan dengan ajaran Islam yang mendorong pencegahan sampah dari sumbernya (reduce), seperti mengurangi penggunaan plastik, memanfaatkan kembali barang (reuse), dan mendaur ulang (recycle).
Baca Juga: Tak Perlu Bangga, Zionis! Neraka Sudah Siap Menerimamu
Melalui integrasi nilai-nilai agama dan praktik pengelolaan sampah yang bijak, umat Muslim dapat menjadikan Ramadhan sebagai contoh nyata dalam mewujudkan kehidupan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam menggapai ketakwaan kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan visi Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin).
Selanjutnya, penting bagi umat Islam untuk menjadikan spirit EcoRamadhan sebagai gerakan moral dan ekologis pasca lebaran. Sebuah ajakan untuk mempertahankan nilai-nilai spiritualitas, kesederhanaan, dan kepedulian lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Idul Fitri harus menjadi titik awal hijrah ekologis—perubahan menuju gaya hidup yang lebih hemat, bijak, dan ramah lingkungan.
Beberapa langkah konkret bisa dilakukan, seperti membawa wadah sendiri saat membeli makanan, mengurangi kemasan plastik saat membagikan makanan atau parcel, mengelola sisa makanan dengan bijak, hingga memilah sampah organik dan anorganik. Di tingkat komunitas, masjid dan lembaga zakat bisa menjadi motor penggerak kampanye kebersihan dan pengelolaan sampah berkelanjutan.
Gerakan tersebut juga selaras dengan paradigma baru Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang menekankan pencegahan timbulan sampah dari sumbernya, bukan sekadar mengelola di akhir (end-of-pipe). Dalam konteks ini, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan tokoh agama menjadi sangat penting untuk membangun kesadaran dan perubahan perilaku secara kolektif dengan menyosialisasikan gaya hidup ramah lingkungan selama Ramadhan dan pasca lebaran.
Baca Juga: Perut adalah Sumber Penyakit: Penjelasan Hadis dan Fakta Medis
Dengan demikian, momen Idul Fitri tidak hanya menjadi hari kemenangan secara spiritual, tetapi juga bisa dimaknai sebagai kemenangan atas ego dan hawa nafsu konsumtif. Menjaga kebersihan lingkungan adalah bagian dari menyempurnakan ibadah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Kebersihan adalah sebagian dari iman.”
Mari kita jaga kesucian Idul Fitri dengan menyucikan bumi. Manusia diharapkan mampu memahami dan menghayati jatidirinya sebagai manusia, mampu mengembangkan dan menjaga sifat-sifat kemanusiaan secara terus menerus. Bukan sesaat menjadi manusia kemudian kembali menjadi binatang buas yang melampiaskan segala nafsunya tanpa kendali. Jangan biarkan semangat Ramadhan hilang seiring waktu, tetapi jadikan ia sebagai gaya hidup berkelanjutan. Spirit EcoRamadhan bukan sekadar slogan, tapi jalan menuju ketakwaan yang lebih utuh—kepada Tuhan, sesama manusia, dan alam semesta.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Hidup Sekali, Jangan Salah Tujuan: Dunia Bukan Segalanya