Jakarta, MINA – Menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan, Indonesia diingatkan pada pesan besar “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.” Momentum tersebut dinilai tepat untuk mengambil kebijakan berani yang melindungi kesehatan rakyat sekaligus memperkuat ketahanan fiskal. Salah satu langkah strategis yang diusulkan adalah kenaikan signifikan tarif cukai rokok pada 2025.
Ketua Center of Human and Economic Development ITB Ahmad Dahlan Jakarta (CHED-ITB AD), Roosita Meilani Dewi, menilai kenaikan cukai rokok adalah kebijakan cerdas dengan dua manfaat besar, yakni investasi kesehatan publik dan penguatan fondasi fiskal negara.
Dia menjelaskan, data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan penyakit tidak menular terkait rokok, seperti jantung, stroke, dan kanker, terus meningkat dan membebani anggaran kesehatan, dengan defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 25 triliun pada 2019.
Menurut Roosita dalam keterangan tertulisnya di Jakarta diterima MINA, Kamis (14/8), kenaikan cukai rokok, menurut studi WHO, terbukti efektif. Setiap kenaikan harga 10% dapat menurunkan konsumsi 4–8%, terutama di kalangan remaja, anak-anak, dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Baca Juga: BNPB: Karhutla dan Angin Puting Beliung Terjadi di Sumbar dan Sumut
“Harga rokok yang mahal akan memutus akses remaja terhadap produk tembakau, mengurangi perokok pemula, dan mendorong penghentian kebiasaan merokok,” ujarnya.
Roosita mengatakan, dari sisi fiskal, penerimaan cukai tembakau selama satu dekade terakhir menjadi sumber penting bagi APBN, mencapai Rp 218,6 triliun pada 2022. Meski sempat menurun pada 2023, tren kembali naik pada 2024. Dana ini dapat dialokasikan untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan kampanye anti-rokok, menciptakan siklus positif bagi kesehatan masyarakat.
Namun, lanjut dia, tantangan kebijakan cukai tidak kecil. Fenomena downtrading atau peralihan ke rokok murah terlihat jelas: pangsa pasar Sigaret Kretek Mesin golongan I anjlok dari 63% (2015–2018) menjadi 30% pada Juni 2025, sementara konsumsi Sigaret Kretek Tangan yang lebih murah meningkat.
Kekhawatiran industri soal hilangnya lapangan kerja dinilai tidak sepenuhnya berdasar, karena tenaga kerja sektor ini hanya sekitar 0,5% dari total pekerja nasional. Risiko peredaran rokok ilegal juga dapat ditekan dengan pengawasan ketat dan teknologi seperti digital stamps.
Baca Juga: Aat Surya Safaat: Serangan terhadap Wartawan, Kejahatan terhadap Kebebasan Pers
Pada usia 80 tahun kemerdekaan, kenaikan cukai rokok dinilai bukan sekadar kebijakan fiskal, melainkan tindakan patriotik untuk mewujudkan Indonesia yang sehat, produktif, dan mandiri secara ekonomi.
“Merdeka berarti bebas dari adiksi, sehat untuk berkarya, dan mandiri secara fiskal,” tegas Roosita, mendesak pemerintah mengambil langkah agresif pada 2025 demi masa depan bangsa.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: 15.000 Peserta Akan Ikuti Jambore Pramuka Muslim Dunia di Buperta Cibubur