Mentadaburi Makna Hijrah ( Oleh : KH Yakhsyallah Mansur)

Imam-Yakhsya

Firman Allah :
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجٰهَدُوا فِى سَبِيلِ اللَّهِ أُولٰٓئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (البقرة [٢]: ٢١٨)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. Al Baqarah [2]: 218).

Ayat ini merupakan salah satu ayat yang menjelaskan keutamaan hijrah. Pada ayat ini disebutkan tingkat penyempurnaan iman.
Pertama, iman kepada Allah. Kedua, sanggup hijrah karena iman. Ketiga, sanggup berjihad di jalan Allah.

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ:

“Dan perintahkan kepada kalian dengan lima perkara: berjama’ah, mendengar, thaat, hijrah, dan berjihad di jalan Allah…” (H.R. Ahmad).

Orang yang beriman dan ikut berhijrah bersama Rasulullah ﷺ dan berjihad di jalan Allah , mereka itulah orang-orang pantas memperoleh rahmat dan ridha Allah.

Hijrah secara bahasa berarti berpindah, meninggalkan, berpaling, dan tidak mempedulikan lagi. Sedang secara istilah, mempunyai beberapa pengertian antara lain:

1). Meninggalkan tempat yang dikuasai orang kafir.
2). Menjauhkan diri dari dosa.

المهاجر من هجر ما نهى الله عنه (رواه البخاري)

Hijrah dalam sejarah Islam biasanya dihubungkan dengan kepindahan Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Madinah. Dalam hal ini, hijrah berarti berkorban karena Allah, yaitu memutuskan hubungan dengan yang dicintai demi tegaknya kebenaran dengan jalan berpindah dari kampung halaman ke negeri lain. Hijrah adalah sunnah para Rasul sebelum Nabi Muhammad ﷺ dan terbukti menjadi prelude (pendahuluan) bagi keberhasilan perjuangan.
Hijrah Rasulullah ﷺ dari Makkah ke Madinah membuktikan kebenaran pernyataan ini. Secara lahiriah hijrah ini tampak sebagai kerugian karena harus kehilangan negerinya. Tetapi kehilangan ini diganti oleh Allah dengan pesatnya perkembangan Islam di Madinah bahkan akhirnya Makkah dapat kembali ke pangkuan beliau dan para sahabat dalam sebuah kemenangan yang gilang gemilang.
Inilah bukti kebenaran firman Allah :

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِى الْأَرْضِ مُرٰغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنۢ بَيْتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُۥ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا (النساء [٤]: ١٠٠)

“Dan barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di Bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (Q.S. An-Nisa’ [4]: 100).

Hijrah Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya banyak sekali memberi pelajaran kepada kita, antara lain:

Pentingnya Persiapan/Perencanaan (Planning).
Sebelum melaksanakan hijrah beliau telah membuat perencanaan yang matang. Beliau menentukan jalan yang akan dilalui yang berbeda dengan rute jalan yang biasa dilalui menuju ke Yatsrib, membayar pentunjuk jalan, memilih sahabat yang akan menemaninya, yaitu Abu Bakar , sampai memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menggantikan beliau di tempat tidurnya dan mengembalikan barang-barang yang dititipkan kepada beliau.

Pengorbanan dalam Perjuangan
Ketika Abu Bakar membeli dua ekor unta dan menyerahkannya sebagai hadiah untuk kendaraan ke Yatsrib (Madinah), beliau menolaknya dan bersikeras untuk membelinya. Di sini beliau mengajarkan bahwa untuk mencapai usaha besar diperlukan pengorbanan yang maksimal.

Pengorbanan ini pula yang dilakukan oleh seluruh sahabat yang hijrah bersama beliau. Mereka tinggalkan keluarga, tanah kelahiran, harta yang mereka cintai demi dapat berhijrah. Di antara pengorbanan para sahabat yang diabadikan dalam Al-Qur’an, pengorbanan Suhaib Ar-Rumi , saudagar kaya yang berasal dari Romawi yang meninggalkan seluruh hartanya di Makkah agar dia dapat berhijrah.
Allah berfirman:

وَمِنَوَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِى نَفْسَهُ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌۢ بِالْعِبَادِ

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 207).

Membangun Masjid

Dalam perjalanan menuju Madinah, setelah sampai Quba’ (berjarak 5 km dari Madinah), beliau membangun masjid di tempat itu. Inilah masjid yang pertama dibangun sebelum beliau sampai di Madinah. Masjid digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an:

لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (التوبة [٩]: ١٠٨)

“Janganlah engkau melaksanakan shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (Q.S. At-Taubah [9]: 108).

Setelah sampai di Madinah beliau membangun Masjid Nabawi. Lokasi masjid ini semula adalah tempat penjemuran kurma milik anak yatim Sahl dan Suhail bin Amr yang kemudian dibeli oleh Rasulullah ﷺ untuk dibangun masjid dan rumah beliau.

Membangun Shuffah

Setelah masjid Madinah jadi, beliau mendirikan tempat pendidikan untuk para sahabat terutama yang miskin dan tidak punya rumah di dalam masjid tersebut. Di sinilah Rasulullah ﷺ mengajar mereka berbagai ilmu pengetahuan terutama ilmu agama. Keberadaan Shuffah ini beberapa kali disebut dalam Al-Qur’an:

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (البقرة [٢]: ٢٧٣)

“(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 273).

Mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar
Rasulullah ﷺ mempersaudarakan Muhajirin (orang yang hijrah dari Makkah) dan Anshar (penduduk asli Madinah). Beliau bersabda:

تاخوا فى الله أخوين أخوين (رواه ابن هشام)

“Bersaudaralah di jalan Allah dua dua” (H.R. Ibnu Hisyam).

Apa yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ menunjukkan masyarakat madani (berkemajuan) sangat erat hubungannya dengan masjid, pendidikan, dan persaudaraan.
Oleh karena itu apabila kita menginginkan terwujudnya masyarakat yang beradab dan maju marilah kita implemen-tasikan hikmah hijrah dalam kehidupan sehari-hari. Marilah kita cermat dalam perencanaan, marilah kita berani berkor-ban untuk perjuangan. Marilah kita selalu dekat dengan masjid, marilah kita utamakan pendidikan dan marilah kita jaga persaudaraan (ukhuwah) di antara kita. Jangan sampai persaudaraan kita rusak hanya karena masalah politik, madzhab, suku, dan lain-lain. Untuk menjaga ukhuwah Allah telah memerintahkan kita berjama’ah.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُواۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوٰنًا وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِّنْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (ال عمران [٣]: ١٠٣)

“Dan berpegang teguhlah kamu pada tali (agama) Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 103).

Sejarah Kalender Hijriyah

Kalender hijriyah adalah penanggalan rabani yang menjadi acuan dalam hukum-hukum Islam. Seperti haji, puasa, haul zakat, ‘idah thalaq dan lain sebagainya. Dengan menjadikan hilal sebagai acuan awal bulan. Sebagaimana disinggung dalam firman Allah :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ (البقرة [٢]: ١٨٩)

“Orang-orang bertanya kepadamu tentang hilal. Wahai Muhammad katakanlah: “Hilal itu adalah tanda waktu untuk kepentingan manusia dan badi haji.”(Q.S. Al-Baqarah [2]: 189).

Sebelum penanggalan hijriyah ditetapkan, masyarakat Arab dahulu menjadikan peristiwa-peristiwa besar sebagai acuan tahun.

Tahun renovasi Ka’bah misalnya, karena pada tahun tersebut, Ka’bah direnovasi ulang akibat banjir. Tahun fijar, karena saat itu terjadi perang fijar. Tahun fiil (gajah), karena saat itu terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah. Oleh karena itu kita mengenal tahun kelahiran Rasulullah ﷺ dengan istilah tahun fiil/tahun gajah. Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian seorang tokoh sebagai patokan, misal 7 tahun sepeninggal Ka’ab bin Luai.” Untuk acuan bulan, mereka menggunakan sistem bulan qomariyah (penetapan awal bulan berdasarkan fase-fase bulan).

Sistem penanggalan seperti ini berlanjut sampai ke masa Rasulullah ﷺ dan khalifah Abu Bakr Ash-Shidiq . Barulah di masa khalifah Umar bin Khatab , ditetapkan kalender hijriyah yang menjadi pedoman penanggalan bagi kaum muslimin.

Latar Belakang Penanggalan Hijriyah
Berawal dari surat-surat tak bertanggal, yang diterima Abu Musa Al-Asy’ari ; sebagai gubernur Bashrah kala itu, dari khalifah Umar bin Khatab. Abu Musa mengeluhkan surat-surat tersebut kepada Sang Khalifah melalui sepucuk surat.

إنَّه يأتينا مِن أمير المؤمنين كُتبٌ، فلا نَدري على أيٍّ نعمَل، وقد قرأْنا كتابًا محلُّه شعبان، فلا ندري أهو الذي نحن فيه أم الماضي

“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”

Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khatab mengajak para sahabat untuk bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin.

Penetapan Patokan Tahun Hijriyah
Dalam musyawarah Khalifah Umar bin Khatab dan para sahabat, muncul beberapa usulan mengenai patokan awal tahun.

Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari tahun diutus Nabi ﷺ. Sebagian lagi mengusulkan agar penanggalan dibuat sesuai dengan kalender Romawi, yang mana mereka memulai hitungan penanggalan dari masa raja Iskandar (Alexander). Yang lain mengusulkan, dimulai dari tahun hijrahnya Nabi ﷺ ke kota Madinah. Usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib . Hati Umar bin Khatab ternyata condong kepada usulan ke dua ini.

الهجرة فرقت بين الحق والباطل فأرخوا بها

“Peristiwa Hijrah menjadi pemisah antara yang benar dan yang batil. Jadikanlah ia sebagai patokan penanggalan.” Kata Umar bin Khatab mengutarakan alasan.

Akhirnya para sahabatpun sepakat untuk menjadikan peris-tiwa hijrah sebagai acuan tahun. Landasan mereka adalah firman Allah :

…لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ… (التوبة [٩]: ١٠٨)

Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. (Q.S. At-Taubah [9]: 108).

Para sahabat memahami makna “sejak hari pertama” dalam ayat, adalah hari pertama kedatangan hijrahnya Nabi. Sehingga moment tersebut pantas dijadikan acuan awal tahun kalender hijriyah.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menyatakan,

وأفاد السهيلي أن الصحابة أخذوا التاريخ بالهجرة من قوله تعالى: لمسجد أسس على التقوى من أول يوم لأنه من المعلوم أنه ليس أول الأيام مطلقا، فتعين أنه أضيف إلى شيء مضمر وهو أول الزمن الذي عز فيه الإسلام، وعبد فيه النبي ﷺ ربه آمنا، وابتدأ بناء المسجد، فوافق رأي الصحابة ابتداء التاريخ من ذلك اليوم، وفهمنا من فعلهم أن قوله تعالى من أول يوم أنه أول أيام التاريخ الإسلامي، كذا قال، والمتبادر أن معنى قوله: من أول يوم أي دخل فيه النبي ﷺ وأصحابه المدينة والله أعلم

“Dan As-Suhaili memberikan tambahan informasi: para saha-bat sepakat menjadikan peristiwa hijrah sebagai patokan penanggalan, karena merujuk kepada firman Allah

…لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ… (التوبة [٩]: ١٠٨)

“Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (mas-jid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (Q.S. At-Taubah [9]: 108).

Sudah suatu hal yang maklum; maksud hari pertama (dalam ayat ini) bukan berarti tak menunjuk pada hari tertentu. Nampak jelas ia dinisbatkan pada sesuatu yang tidak terse-but dalam ayat. Yaitu hari pertama kemuliaan Islam. Hari pertama Nabi ﷺ bisa menyembah Rabnya dengan rasa aman. Hari pertama dibangunnya masjid (red. masjid pertama dalam peradaban Islam, yaitu masjid Quba). Karena alasan inilah, para sahabat sepakat untuk menjadikan hari tersebut sebagai patokan penanggalan.

Dari keputusan para sahabat tersebut, kita bisa memahami, maksud “sejak hari pertama” (dalam ayat) adalah, hari perta-ma dimulainya penanggalan umat Islam. Demikian kata beliau. Dan telah diketahui bahwa makna firman Allah : min awwali yaumin (sejak hari pertama) adalah, hari pertama masuknya Nabi ﷺ dan para sahabatnya ke kota Madinah. Allahua’lam.”
Sebenarnya ada opsi-opsi lain mengenai acuan tahun, yaitu tahun kelahiran atau wafatnya Nabi ﷺ. Namun mengapa dua opsi ini tidak dipilih? Ibnu Hajar menjelaskan alasannya,”

لأن المولد والمبعث لا يخلو واحد منهما من النزاع في تعيين السنة، وأما وقت الوفاة فأعرضوا عنه لما توقع بذكره من الأسف عليه، فانحصر في الهجرة.

“Karena tahun kelahiran dan tahun diutusnya beliau menjadi Nabi, belum diketahui secara pasti. Adapun tahun wafat beliau, para sahabat tidak memilihnya karena akan menye-babkan kesedihan manakala teringat tahun itu. Oleh karena itu ditetapkan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun.”

Alasan lain mengapa tidak menjadikan tahun kelahiran Nabi ﷺ sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur menyerupai kalender Nashrani. Yang mana mereka menjadikan tahun kelahiran Nabi Isa sebagai acuan.

Dan tidak menjadikan tahun wafatnya Nabi ﷺ sebagai acuan, karena dalam hal tersebut terdapat unsur tasyabuh dengan orang Persia (majusi). Mereka menjadikan tahun kematian raja mereka sebagai acuan penanggalan.

Penentuan Bulan Hijriyah

Perbincangan berlanjut seputar penentuan awal bulan kalender hijriyah. Sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadhan. Sahabat Umar bin Khatab dan Ustman bin Affan mengusulkan bulan Muharram.

بل بالمحرم فإنه منصرف الناس من حجهم

“Sebaiknya dimulai bulan Muharam. Karena pada bulan itu orang-orang usai melakukan ibadah haji.” Kata Umar bin Khatab .

Akhirnya para sahabatpun sepakat. Alasan lain dipilihnya bulan Muharam sebagai awal bulan diutarakan oleh Ibnu Hajar ,

لأن ابتداء العزم على الهجرة كان في المحرم؛ إذ البيعة وقعت في أثناء ذي الحجة وهي مقدمة الهجرة، فكان أول هلال استهل بعد البيعة والعزم على الهجرة هلال المحرم فناسب أن يجعل مبتدأ، وهذا أقوى ما وقفت عليه من مناسبة الابتداء بالمحرم

“Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan Muharram. Dimana baiat terjadi dipertengahan bulan Dzul-hijjah (bulan sebelum Muharram). Dari peristiwa baiat itulah awal mula hijrah. Bisa dikatakan hilal pertama setelah peris-tiwa bai’at adalah hilal bulan Muharram, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal bulan Muharram (red. awal bulan Muharram). Karena inilah Muharram layak dijadikan awal bulan. Ini alasan paling kuat mengapa dipilih bulan Muharam.”

Dari musyawarah tersebut, ditentukanlah sistem penang-galan untuk kaum muslimin, yang berlaku hingga hari ini. Dengan menjadikan peristiwa hijrah sebagai acuan tahun dan bulan Muharram sebagai awal bulan. Oleh karena itu kalender ini populer dengan istilah kalender hijriyah.

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari kisah penanggalan hijriyah di atas:
Kalender hijriyah ditetapkan berdasarkan ijma’ (kesepa-katan) para sahabat. Dan kita tahu bahwa ijma’ merupakan dalil qoth’i yang diakui dalam Islam.

Sistem penanggalan yang dipakai oleh para sahabat adalah bulan qomariyah. Hal ini diketahui dari surat Umar bin Khatab yang ditulis untuk Abu Musa Al-Asy’ary; di situ tertulis bulan Sya’ban, hanya saja tidak diketahui tahunnya.

Para sahabat menjadikan kalender hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam segala urusan kehidupan mereka; baik urusan ibadah maupun dunia. Sehingga memisahkan penggunaan kalender hijriyah, antara urusan ibadah dan urusan dunia, adalah tindakan yang menyelisihi konsesus para sahabat. Seyogyanya bagi seorang muslim, menjadikan kalender hijriyah sebagai acuan penanggalan dalam keseha-riannya.

Kalender hijriyah merupakan syi’ar Islam, yang membeda-kannya dengan agama-agama lainnya.

Nama-nama Bulan Hijriah dan Artinya
Muharram, artinya: yang diharamkan atau yang menjadi pantangan. Penamaan Muharram, sebab pada bulan itu dilarang menumpahkan darah atau berperang. Larangan tesebut berlaku sampai masa awal Islam.

Shafar, artinya: kosong. Penamaan Shafar, karena pada bulan itu semua orang laki-laki Arab dahulu pergi meninggalkan rumah untuk merantau, berniaga dan berpe-rang, sehingga pemukiman mereka kosong dari orang laki-laki.

Rabi’ul Awal, artinya: berasal dari kata rabi’ (menetap) dan awal (pertama). Maksudnya masa kembalinya kaum laki-laki yang telah meninggalkan rumah atau merantau. Jadi awal menetapnya kaum laki-laki di rumah. Pada bulan ini banyak peristiwa bersejarah bagi umat Islam, antara lain: Nabi Muhammad ﷺ lahir, diangkat menjadi Rasul, melakukan hijrah, dan wafat pada bulan ini juga.

Rabiu’ul Akhir, artinya: masa menetapnya kaum laki-laki untuk terakhir atau penghabisan.

Jumadil Awal, nama bulan kelima. Berasal dari kata jumadi (kering) dan awal (pertama). Penamaan Jumadil Awal, karena bulan ini merupakan awal musim kemarau, di mana mulai terjadi kekeringan.

Jumadil Akhir, artinya: musim kemarau yang penghabisan.

Rajab, artinya: mulia. Penamaan Rajab, karena bangsa Arab tempo dulu sangat memuliakan bulan ini, antara lain dengan melarang berperang.

Sya’ban, artinya: berkelompok. Penamaan Sya’ban kare-na orang-orang Arab pada bulan ini lazimnya berkelompok mencari nafkah. Peristiwa penting bagi umat Islam yang terjadi pada bulan ini adalah perpindahan kiblat dari Baitul Muqaddas ke Ka’bah (Baitullah).

Ramadhan, artinya: sangat panas. Bulan Ramadhan merupakan satu-satunya bulan yang tersebut dalam Al-Quran, satu bulan yang memiliki keutamaan, kesucian, dan aneka keistimewaan. Hal itu dikarenakan peristiwa-peristiwa penting seperti: Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran pertama kali, ada malam Lailatul Qadar, yakni malam yang sangat tinggi nilainya, karena para malaikat turun untuk memberkati orang-orang beriman yang sedang beribadah, bulan ini ditetapkan sebagai waktu ibadah puasa wajib, pada bulan ini kaum muslimin dapat menaklukan kaum musyrik dalam perang Badar Kubra dan pada bulan ini juga Nabi Muhammad ﷺ berhasil mengambil alih kota Mekah dan mengakhiri penyembahan berhala yang dilakukan oleh kaum musyrik.

Syawwal, artinya: kebahagiaan. Maksudnya kembalinya manusia ke dalam fitrah (kesucian) karena usai menunaikan ibadah puasa dan membayar zakat serta saling bermaaf-maafan. Itulah yang membahagiakan.

Dzulqa’idah, berasal dari kata dzul (pemilik) dan qa’dah (duduk). Penamaan Dzulqa’idah, karena bulan itu merupakan waktu istirahat bagi kaum laki-laki Arab dahulu. Mereka menikmatinya dengan duduk-duduk di rumah.

Dzulhijjah artinya: yang menunaikan haji. Penamaan Dzulhijjah, sebab pada bulan ini umat Islam sejak Nabi Adam menunaikan ibadah haji. (A/Ast/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: sri astuti

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.