MENTERI AGAMA: REVISI PBM RUMAH IBADAH BUKAN UNTUK PENIADAAN

Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin ( Foto: ANTARA/Dewi Fajriani)
RI, Lukman Hakim Saifuddin ( Foto: ANTARA/Dewi Fajriani)

Jakarta, 29 Muharram 1436/11 November 2015 (MINA) – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, aturan tentang pendirian rumah ibadah tetap diperlulkan. Jika akan direvisi, maka itu dalam kerangka penyempurnaan, bukan untuk peniadaan.

Regulasi terkait pendirian rumah ibadah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat (selanjutnya disebut ).

“Aturan yang ditetapkan pada  Maret 2006 ini merupakan hasil kesepakatan para tokoh agama melalui wakilnya yang ada di majelis agama, antara lain dari unsur MUI, KWI, PGI, PHDI, dan Walubi,” kata Lukman di Jakarta Selasa (10/11) kemarin. Sebagaimana siaran pers resmi Kemenag yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

Lukman mengatakan, mereka telah melakukan serangkaian pertemuan yang akhirnya mencapai titik kompromi yang kemudian tertuang dalam PBM.

“Sesungguhnya isi dari rumusan itu adalah kesepakatan bersama antar wakil majelis agama,” Kata Lukman.

Menurutnya, di tengah Indonesia yang religious dan majemuk, perlu aturan yang merupakan kesepakatan bersama  tentang tatacara pendirian rumah ibadah.

Sebab, lanjutnya, jika tidak ada aturan, maka dikhawatirkan akan terjadi tindak  anarkis karena tidak ada acuan kepala daerah atau pihak-pihak terkait mengenai izin rumah ibadah.

Soal revisi, pihaknya memastikan, Pemerintah  akan menangkap  aspirasi yang berkembang.  Sebab, bagaimanapun juga peraturan dibuat  untuk masyarakat sendiri demi menjaga ketertiban bersama. Karenanya, Pemerintah wajib mendengar aspirasi masyarakat.

“Kementerian Agama, saat ini sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama yang salah satu isinya terkait pendirian rumah ibadah. Kita akan mendengar dari semua pihak bagaimana sebaiknya aturan terkait hal ini,” tuturnya.

Ia berpandangan, persyaratan terkait pendirian rumah ibadah tetap perlu diatur, sebab konsep tempat ibadah dan rumah ibadah itu berbeda. Kalau tempat ibadah, maka setiap umat beragama bebas menjalankan ibadah.

Berbeda dengan itu,  rumah ibadah terkait tata kota, tata ruang, IMB, dan lainnya, juga dari sisi sosial. Karena kalau konsepnya rumah ibadah, maka bangunan itu adalah bangunan khusus sebagai tempat akomodasi ritual keagamaan agama tertentu.

“Ruko tidak dalam pengertian rumah ibadah. Itu adalah masuk kategori rumah ibadah sementara sesuai ketentuan PBM. Kalau sudah berbicara rumah ibadah maka dia sudah permanen, spesifik, memiliki syarat tertentu sebagaimana lazimnya rumah ibadah setiap agama,” terangnya.

Dikatakan, rumah ibadah juga menjadi tempat penyelenggaraan ritual keagamaan yang tidak hanya diikuti satu dua orang, tapi bisa mencapai ratusan orang. Hal ini, langsung atau tidak langsung akan terkait dengan persaolan sosial di lingkungan sekitar rumah ibadah.

“Itulah alasan perlunya  persetujuan dari warga supaya masyarakat punya kesiapan mental dan sosial bahwa di tempatnya akan dibangun rumah ibadah dengan segala konsekuensinya,” katanya. (T/P010/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Comments: 0