
AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menolak pembentukan fasilitas diplomatik di Yerusalem.
Yerusalem, MINA – Menteri Kerja Sama Israel Tzachi Hanegbi mengatakan, keputusan Presiden Amerika Serikat yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, tidak memberi sinyal akhir dari solusi dua negara.
Menurutnya, Pemerintah Israel bersedia memberi negara Palestina kebebasan mereka sendiri, tapi dengan kedaulatan terbatas.
“Kami mengklaim bahwa Yerusalem adalah ibu kota kami dan tidak bisa dibagi, tapi itu hanya klaim, bukan diktat,” kata Hanegbi, anggota partai Likud pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, kepada Al Jazeera di Yerusalem, Sabtu (6/1).
Baca Juga: Netanyahu Sesumbar akan Bawa Pulang Sandera dan Kalahkah Hamas
Israel menduduki sektor timur kota Yerusalem pada tahun 1967 dan kemudian mencaploknya tanpa mengindahkan hukum internasional.
Para pemimpin Palestina ingin Yerusalem Timur (Al-Quds) yang diduduki sebagai ibu kota negara masa depan mereka. Namun, Israel bersikeras bahwa kota itu adalah ibu kota yang tak terpisahkan dengan Yerusalem Barat.
“Palestina dapat mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka dan kita dapat menegosiasikan sebuah permukiman. Meskipun kami mencaplok Yerusalem Timur, tetap saja perlu negosiasi,” kata Hanegbi.
Namun Naser Al-kidwa, pejabat senior Palestina, menolak ucapan Hanegbi dan menyebutnya “omong kosong.”
Baca Juga: Hamas Kecam Israel Gunakan Bantuan Kemanusiaan sebagai “Alat Negosiasi”
“Di saat pejabat Israel berbicara tentang perdamaian dan negosiasi, pemerintah mereka menciptakan fakta-fakta yang merusak solusi dua negara,” kata Al-Kidwa dari Ramallah kepada Al Jazeera melalui telepon. (T/RI-1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Blokade terus Berlanjut, Gaza Tenggelam dalam Krisis Kemanusiaan