Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

MENTERI SUSI ANTARA KESEJAHTERAAN LAUT DAN NELAYAN

Rudi Hendrik - Rabu, 4 Maret 2015 - 23:53 WIB

Rabu, 4 Maret 2015 - 23:53 WIB

1686 Views

Ribuan nelayan Batang, Jawa Tengah, duduk memenuhi jalan raya, memprotes larangan penggunaan pukat dan cantrang, Selasa 3 Maret 2015. (Foto: dok. Koran Sindo)

DEMO-NELAYAN-BATANG-300x206.jpg" alt="Ribuan nelayan Batang, Jawa Tengah, duduk memenuhi jalan raya, memprotes larangan penggunaan pukat dan cantrang, Selasa 3 Maret 2015. (Foto: dok. Koran Sindo)" width="348" height="239" /> Ribuan nelayan Batang, Jawa Tengah, duduk memenuhi jalan raya menutup jalur Pantura, memprotes larangan Kementerian Kelautan dan Perikanan tentang penggunaan pukat dan cantrang, Selasa 3 Maret 2015. (Foto: dok. Koran Sindo)

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Selasa 3 Maret 2015, ribuan nelayan berkumpul di Warungasem, Batang, Jawa Tengah, kemudian melakukan “longmarch” hingga ke Alun-Alun serta berlanjut ke jalur Pantura Sambong, Batang.

Selain melakukan orasi di gedung DPRD Kabupaten Batang mengenai penolakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 2/Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets), para nelayan juga membakar sejumlah ban dan tali kapal pada dua ruas jalan pantura.

Akibatnya, arus lalu lintas kendaraan dari arah timur (Semarang) maupun dari barat (Jakarta) lumpuh total.

Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir

Ketika petugas kepolisian setempat mencoba menertibkan para nelayan yang memenuhi ruas jalan, para nelayan tidak terima dengan perlakuan polisi dan aksi para nelayan kian rusuh.

Para nelayan melempar batu ke arah polisi yang berjaga-jaga di lokasi sehingga sejumlah polisi mengalami luka-luka.

Kasat Reskrim Dikeroyok

Keributan demo di Jalan Jenderal Sudirman pecah saat seorang polisi yang bermaksud mengabadikan demo tiba-tiba dipukuli warga nelayan.

Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia

Kasat Reskrim Polres Batang AKP Hartono yang coba mengamankan rekannya dari amuk massa, juga jadi sasaran empuk warga, tubuhnya juga babak belur di aniaya warga.

Keberutalan nelayan berakhir saat personil tambahan tiba di lokasi. Polisi Polres Batang, Polres Pekalongan Kota dan TNI tiba di lokasi.

Massa berhamburan saat tembakan gas air mata dilepaskan dan beberapa warga pendemo akhirnya diamankan.

Suasana mencekam masih terjadi di beberapa pekampungan nelayan. Mereka berjaga-jaga dari segala kemungkinan buruk.

Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh

Kapolres Batang, AKBP Widi Atmoko mengatakan telah ‎menahan 17 nelayan yang melakukan unjuk rasa dan diduga sebagai provokator.

“Ada sekitar 17 orang lebih yang kita amankan, untuk diperiksa karena diduga memprovokasi,” kata Widi, dan dikatakan para nelayan yang melakukan unjuk rasa belum mengantongi izin dari kepolisian.

Alasan Larangan Penggunaan Cantrang

Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang tidak merekomendasikan penggunaan alat penangkap ikan jenis pukat dan cantrang diprotes sejumlah pengusaha perikanan.

Ilustrasi <a href=

pukat yang bisa menjaring ikan besar hingga kecil, juga berpotensi merusak terumbu karang." width="300" height="204" /> Ilustrasi pukat yang bisa menjaring ikan besar hingga kecil, juga berpotensi merusak terumbu karang.

Namun, Menteri Susi tetap bersikukuh menyatakan alat tangkap jenis tersebut tidak ramah lingkungan.

Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh

Beberapa bulan sebelumnya, Menteri Susi mengungkapkan, berdasarkan laporan di Pesisir Utara Jawa, banyak pelabuhan ikan di sana yang lumpuh karena masih banyak kapal bergross ton tinggi yang masih mengambil ikan di Laut Jawa dengan menggunakan alat penangkap jenis ini.

Selain itu mereka juga melakukan bongkar muat di tengah laut, penggunaan cantrang juga disinyalir menyumbang penyusutan produksi perikanan.

Dampaknya, nelayan tradisional terpaksa mencari ikan di lokasi yang lebih jauh lagi. Bahkan kondisi ini, menurutnya, membuat ekspor Indonesia menurun.

Trawl cantrang atau hela (juga) tidak ramah lingkungan,” jelas Menteri Susi saat rapat bersama Komisi IV DPR RI, Senin Januari 2015 lalu.

Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung

Padahal, saat ini nyaris seluruh negara di dunia telah melarang penggunaan alat penangkap jenis trawl, cantrang, maupun hela.

“Kalaupun ada beberapa tempat yang boleh, ada limitasi waktu jumlah dan waktu. Degradasi lingkungan sudah sangat parah. Kita tidak bisa menjadi eksportir nomor satu di Asean,” ujar Susi.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak merekomendasikan penggunaan alat tangkap ikan jenis cantrang. KKP mencatat, penggunaan alat tangkap cantrang berpotensi disalahgunakan. Salah satunya adalah sistem pengoperasian cantrang yang harusnya ditarik dengan tangan, namun di lapangan banyak ditarik dengan kapal.

Menangkap ikan dengan cantrang, pukat atau hela, telah menimbulkan kerusakan di laut. Ternyata karena itu pula, para nelayan akhirnya juga menimbulkan kerusakan di darat dengan demo anarkisnya.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Kebijakan Sengsarakan Nelayan

Ternyata kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti membuat jutaan nelayan kehilangan pekerjaan.

Casroli, Perwakilan Nelayan Batang mengatakan saat untujuk rasa Selasa 3 Maret, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 2/Permen-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) akan mematikan nelayan setempat.

“Mohon disampaikan kepada Bu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan) bahwa nelayan Kabupaten Batang tidak setuju Permen Kelautan Nomor 2 Tahun 2015 itu,” katanya.

Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel

Bukan hanya larangan menggunakan cantrang, pukat atau hela, salah satunya juga tentang kebijakan pelarangan transhipment (pemindahan muatan di laut lepas) yang membuat nelayan kehilangan pembeli dan membuat hasil tangkapan mereka terpaksa dibuang.

“Kami setuju pelarangan ini bila diberlakukan untuk kapal yang langsung ekspor dibawa ke luar negeri, namun Menteri Susi juga memberlakukan pelarangan transhipment bagi kapal-kapal pengumpul yang memang diangkut ke pelabuhan lokal untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” ujar Sakiman yang mewakili Asosiasi dan Nelayan Seluruh Provinsi, Rabu 21 Januari 2015.

Kebijakan tersebut membuat pasokan ikan di tingkat konsumen jauh berkurang dan harga pasar jadi melambung.

Penderitaan yang sama juga diungkapkan para nelayan budidaya ikan Kerapu di hadapan Komisi IV DPR RI. Ekspor ikan Kerapu yang mencapai 45 juta dola AS per tahun, merupakan sumber devisa negara yang menghidupi 100.000 KK nelayan.

Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara

Lokasi budidaya yang tersebar dari Maluku, Sulawesi, NTT, Jawa hingga Sumatera ini tidak memungkinkan sentralisasi pintu ekspor. Bila kebijakan ini diteruskan, maka nelayan  akan kehilangan pekerjaan dan negara mengalami kerugian besar dari hilangnya retribusi ekspor.

“Sangat ironis, jika Malaysia dan China memberikan insentif dan dukungan bagi nelayan budidaya Kerapu, di Indonesia jangankan insentif, kami malah dibuat bangkrut. Kami mohon negara bisa menjamin hak atas pekerjaan dan kepastian usaha rakyat,” ungkap Hadi dari Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia.

Peraturan Menteri yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terkait pembatasan penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan, juga menyedot banyak perhatian. Kalangan nelayan pun banyak yang mengaku mengalami kerugian besar akibat berlakukan pembatasan ini.

Kapoksi Komisi IV DPR RI Daniel Johan menilai kebijakan pelarangan transhipment yang diterapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan sangat merugikan nelayan.

Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu

“Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Ibu Susi telah membuat nelayan semakin sengsara. Saya pikir kebijakan menteri banyak terobosan yang berpihak untuk kesejahteraan nelayan, ternyata terbalik,” kata Daniel Johan di Jakarta setelah menerima pengaduan asosiasi nelayan.

Daniel mengatakan, Kementerian Kelautan dan Perikanan didirikan di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) agar nelayan lebih sejahtera. (T/P001/P4)

Sumber: disari dari berbagai sumber

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud

Rekomendasi untuk Anda