Oleh Bahron Ansori, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Memang tidak ada yang abadi di dunia ini. Tapi ada yang tetap ada setelah manusia itu tiada. Inilah yang disebut dengan Menulis untuk Keabadian. Lihatlah para penulis itu. Mereka terus berkarya sepanjang masa selama hayat masih dikandung badan.
Mereka menulis bukan karena untuk dikenal apalagi mencari sepundi royalti. Mereka menulis bukan untuk itu, bukan. Mereka menulis untuk sebuah ‘keabadian’.
Menulis memang sebuah keterampilan di mana tidak setiap orang mampu menuangkan pemikiran, dan perasaannya termasuk merangkainya menjadi sebuah kalimat. Menulis memang curahan dari hati dan pemikiran yang terlihat dan mungkin sudah lama menumpuk. Buliran curahan itu akan tertuang dalam bentuk tulisan bila si penulisnya menginginkan apa yang ia pikirkan dan rasakan diketahui juga oleh orang lain.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Bisa dibilang, menulis adalah hal yang sangat penting dalam setiap lini kehidupan manusia. Menulis itu ibarat nafas dalam kehidupan manusia. Perhatikanlah, bidang apa di dunia ini yang tidak memerlukan skil menulis; semuanya perlu. Jadi menulis sebenarnya anjuran dari Yang Maha Hidup agar kita sebagai hamba-Nya bisa merasakan betapa besar nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. Dengan menulis, kita jadi tahu betapa masih banyaknya kekurangan yang dimiliki.
Menulis adalah ungkapan jujur seorang manusia atas setiap persoalan yang ia tulis. Benarkah ia menulis karena ia memahami apa yang ia tulis? Atau sebaliknya, ia hanya menulis tanpa mau memahami makna tema yang ditulisnya? Menulis adalah rutinitas para ulama. Mereka menulis bukan karena mereka banyak waktu luang.
Sebaliknya, jika dibandingkan dengan kita hari ini, maka tak ada sedetikpun waktu para ulama itu tersia-siakan. Namun demikian, di tengah kesibukannya mengajar dan berdakwah, justeru mereka mampu melahirkan ratusan, ribuan bahkan jutaan karya-karya besar dalam bentuk kitab.
Para ulama itu menulis untuk sebuah ‘keabadian’. Lihatlah, puluhan bahkan mungkin ratusan tahun mereka sudah meninggalkan dunia fana ini. Tapi, jujur kita masih bisa menikmati karya-karya besar mereka. Saat membaca karya-karya besar mereka, seolah kita berguru langsung kepada para ulama itu. Inilah buah dari komitmen besar para ulama untuk melahirkan karya-karya besar. Meski secara fisik mereka sudah tidak lagi bersama kita, tapi karya-karya itu seolah mampu membuat kita merasakan kehadiran mereka.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Para ulama itu menulis untuk sebuah keabadian. Mereka begitu menyadari betapa umat setelah mereka haru diwarisi karya-karya besar mereka. Seolah mereka mengetahui rahasia langit, bahwa manusia-manusia akhir zaman akan sedikit sekali yang beriman kepada Allah Ta’ala. Karena itu, lahirnya karya-karya mereka itu sebagai satu upaya untuk menasihati dan mengingatkan umat kemudia agar tidak tersesat dan berusaha istikomah mengamalkan syariat Islam ini.
Mereka Penulis Teladan
Sebagai Muslim, mestinya kita bersyukur karena telah diberikan para pendahulu yang luar biasa dalam berkarya. Karya-karya besar para ulama itu membumi dan mampu mengubah cara pandang setiap manusia yang membacanya.
Jadi, jangan beralasan karena kita tak punya waktu untuk menulis. Jangan coba beralasan karena kita tak pandai menulis. Sebab menulis itu bukan bakat, tapi ia adalah ketrampilan yang jika diasah terus lama-lama akan menjadi ketrampilan.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Menulis itu jauh lebih terasa dan terarah. Terasa karena selain dibaca ia bisa dihayati karena diulang. Sementara terarah sebab setiap tulisan itu biasanya ditulis dengan runtut antara satu bahasan dengan bahasan selanjutnya. Lebih dahsyat lagi, pesan yang disampaikan melalui tulisan itu jauh lebih banyak penerimanya jika dibanding dengan ceramah saja.
Perhatikan perkataan ulama salaf ini, Ibnu al-Muqaffa berkata, “Ungkapan lidah itu terasa hanya pada sesuatu yang dekat dan hadir, sedangkan ungkapan tulisan itu berguna bagi yang menyaksikan dan yang tidak menyaksikan, bagi orang yang dulu dan yang akan datang. Ia seperti orang yang berdiri sepanjang waktu.”
Asy Syaukani mengatakan bahwa salah seorang ulama pernah berpesan kepadanya dan berkata, “Jangan kamu menghentikan kegiatan menulismu sekalipun kamu hanya menulis dua baris sehari.” Asy Syaukani berkata, “Ternyata kurasakan buah yang dihasilkannya.” Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda sebaik-baik amal adalah yang dilakukan pelakunya secara terus menerus sekalipun sedikit.
Para ulama itu begitu bersemangat dalam menulis. Itu artinya, hari-hari yang mereka miliki selalu dimanfaatkan untuk menyibukkan diri dengan ilmu. Ternyata mereka bisa menghasilkan beribu-ribu lembar bahkan jutaaan lembar. Ini karya dan sumbangsih mereka bagi umat Islam.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
- Muhammad ibnu Jarir Ath Thobari (wafat: 310 H), penulis kitab Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’anmenulis dalam sehari 40 lembar. Kira-kira beliau seumur hidupnya telah menulis 584.000 lembar.
- Imam Abul Wafa’ ‘Ali bin ‘Aqil Al Hambali Al Baghdadi (wafat: 513 H) –manusia tercerdas di jagad raya kata Ibnu Taimiyah-, beliau menulis kitab Al Funun dalam 800 jilid, di mana di dalamnya berisi pembahasan tafsir, fikih, nahwu, ilmu bahasa, sya’ir, tarikh, hikayat dan bahasan lainnya.
- Imam Abu Hatim Ar Rozi menulis kitab musnad dalam 1000 juz.
- Ibnul Jauzi (Abul Faroj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad Al Jauzi, wafat: 597 H), murid dari Ibnu ‘Aqil, beliau telah menulis 2.000 jilid buku dan buku yang beliau pernah baca adalah 20.000 jilid. Adz Dzahabi sampai mengatakan tentang Ibnul Jauzi bahwa tidak ada yang semisal beliau dalam berkarya. [Dari kitab ‘Uluwul Himmah, karya Syaikh Muhammad Al Muqoddam]
Lihat saja Ibnul Jauzi, hasil karyanya saja 2000 jilid. Belum lagi ia membaca, ternyata telah mencapai 20.000 jilid yang dibaca. Kalau diperkirakan 1 jilid adalah 300 lembar. Berarti yang telah dibaca oleh Ibnul Jauzi sekitar 6 juta lembar dan yang telah ditulis kisaran 600 ribu lembar. Bayangkan, betapa semangat mereka dalam memanfaatkan waktu?
Meski mereka sudah tiada dan meninggalkan kita, tapi ada warisan besar berupa karya-karya besar yang tak ternilai nilainya. Mereka menulis untuk sebuah ‘keabadian’. Bismillah, mari berkarya agar kelak saat kita kembali kepada-Nya, kita pun punya andil mewariskan karya bermanfaat untuk umat Islam ini.(R02/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia