Oleh: Zaenal Muttaqin, Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI yang berlangsung di Daerah Istimewa Yogyakarta sejak Ahad (8/2) telah usai pada Rabu (11/2) dengan penutupan oleh Presiden Republik Indonesaia, Joko Widodo.
“Risalah Yogyakarta” dengan tujuh poin pokok juga telah dihasilkan pada pertemuan berbagai elemen umat Islam yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan dihadiri para pengurus MUI dari seluruh Indonesia, utusan ormas-ormas Islam, perguruan tinggi, ulama, kalangan profesional dan cendekiawan muslim.
KUII VI ini mengusung tema “Penguatan peran politik, ekonomi dan sosial budaya umat Islam untuk Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban”. Pemilihan tema ini berangkat dari keprihatinan belum maksimalnya peran umat Islam dalam mengisi dan menentukan nasib bangsa ini. Bahkan peran umat Islam ditengarai makin merosot dan itu dibuktikan dengan kurangnya peran politik umat Islam dalam menentukan pemimpin bangsa.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Ketua Umum MUI, Prof. Dr. Din Syamsudin mengungkapkan, umat Islam Indonesia yang jumlahnya sangat besar yakni mencapai sekitar 207 juta dari sekitar 240 juta seluruh penduduknya, selama ini belum menjadi penentu masa depan bangsa. Bahkan yang terjadi selama ini tak lebih hanya menjadi pelengkap.
Semestinya, pada era modern ini peran umat Islam jangan sampai berkurang, tapi harus lebih kuat dalam menentukan masa depan bangsa. Umat Islam di kelompok mana saja atau partai apa pun harus memperjuangkan kepentingan umat. Peran umat Islam jangan sampai berkurang terlebih pada era yang modern dan serba liberal ini.
Cukup prihatin pula, belakangan ini nilai-nilai dan etika Islam kian menjauh dari praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Dekadensi demokrasi terjadi begitu rupa dan korupsi merajalela. Krisis “penegakan hukum” dan krisis “penegak hukum” terjadi dalam waktu bersamaan.
Dalam bidang ekonomi, kaum pedagang dan usahawan muslim yang berjaya di masa lalu, kini mengalami fenomena “robohnya kedai kami” di tengah arus ekonomi neo-liberal dan ekonomi pasar yang dikuasai para pemodal besar. Kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, yang mana sebagian besar mereka yang miskin dan menganggur adalah umat Islam.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Dalam bidang sosial dan budaya, tanpa disadari sebagian anak bangsa sudah kehilangan rasa malu dan sopan-santun, serta berperilaku individualisme dan narsisme. Saling hujat-menghujat dan membeberkan kelemahan orang lain dianggap biasa. Kehidupan kita diwarnai gejala krisis kepemimpinan, miskin keteladanan.
Dalam bidang keagamaan, saat ini muncul banyak kelompok di kalangan umat Islam yang kemudian dengan sangat mudah saling mengkafirkan hanya karena perbedaan kelompok dan pemahaman. Hal ini sangat disayangkan, karena agama lain justru sedang berupaya merekrut banyak umat untuk masuk agamanya, sementara umat Islam justru saling mengeluarkannya dengan mengkafirkan sesama orang Islam.
Ini juga merupakan tantangan yang dihadapi umat Islam di mana menjamurnya paham dan aliran itu menyimpang, menodai ajaran Islam atau bahkan menyesatkan akidah umat Islam. Bahkan seakan Indonesia menjadi sasaran penyebaran gerakan transnasional yang berkedok Islam, tapi menghalalkan kekerasan dan pembunuhan.
Tetap Optimis
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Meski kondisi seperti itu, umat Islam harus tetap optimis, tidak boleh pesimis dan kehilangan keinginan. Harapan dan jalan terang bagi umat Islam Indonesia untuk bangkit sebagai kiblat peradaban tetap terhampar di depan kita. Sebagai bangsa muslim terbesar di dunia, umat Islam Indonesia memiliki kekayaan kultural dan kekuatan yang tidak semua bangsa memilikinya.
Oleh karena itu umat Islam harus mewaspadai adanya tangan-tangan tersembunyi yang menginginkan pengkotak-kotakan dan timbulnya pertentangan di kalangan intern umat Islam sehingga meskipun jumlah kita mayoritas, tapi tidak menjadi kekuatan yang disegani.
Pada penghujung Kongres yang cukup melelahkan itu akhirnya melahirkan apa yang disebut sebagai “Risalah Yogyakarta’. Risalah yang merupakan komitmen bersama ini menyebutkan bahwa ummat Islam sebagai umat terbesar memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga, mengawal, membela, mempertahankan dan mengisi negara Indonesia berdasarkan wawasan Islam yang rahmatal lil alamin dalam semangat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah.
Secara lengkap Risalah Yogyakarta berisi tujuh poin dan poin pertama merupakan yang paling urgen, karena akan menjadi penentu bagi perwujudan poin-poin selanjutnya. Di mana menyerukan kepada seluruh umat Islam Indonesia untuk bersatu padu merapatkan barisan dan mengembangkan kerja sama serta kemitraan strategis, baik organisasi dan lembaga Islam maupun partai politik untuk membangun dan melakukan penguatan politik, ekonomi, dan sosial budaya umat Islam Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Ketika seruan yang pertama ini benar-benar diwujudkan, maka umat Islam akan menjadi kekuatan besar dan dapat mewarnai setiap kebijakan negara. sehingga keprihatinan seperti yang disampaikan Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Prof. Bahtiar Effendi mengungkapkan, keberadan umat Islam dengan partai-partai politiknya di Indonesia saat ini tidak lebih hanya sebagai pelengkap, akan dapat segera terjawab.
Risalah berisi tujuh poin, yaitu Pertama menyerukan kepada seluruh umat Islam Indonesia untuk bersatu padu merapatkan barisan dan mengembangkan kerja sama serta kemitraan strategis, baik organisasi dan lembaga Islam maupun partai politik untuk membangun dan melakukan penguatan politik, ekonomi, dan sosial budaya umat Islam Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban.
Kedua, menyeru kepada penyelenggara negara dan kekuatan politik nasional untuk mengembangkan praktik politik yang berakhlaqul karimah dengan meninggalkan praktik menghalalkan segala cara, menjadikan politik sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran keamanan dan kedamaian bangsa.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Ketiga, menyeru kepada penyelenggara negara untuk berpihak kepada masyarakat yang berada di lapis bawah dengan mengembangkan ekonomi kerakyatan yang berorientasi pada pemerataan dan keadilan, serta pengembangan ekonomi berbasis syariah, baik keuangan maupun sektor riil, menata ulang penguasaan negara atas sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat, meniadakan regulasi dan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi dan merugikan rakyat.
Keempat, menyeru seluruh komponen umat Islam Indonesia untuk bangkit memberdayakan diri, mengembangkan potensi ekonomi, meningkatkan kapasitas SDM umat, menguatkan sektor usaha mikro, kecil dan menengah berbasis ormas, masjid dan pondok pesantren, meningkatkan peranan kaum perempuan dalam perekonomian, mendorong permodalan rakyatyan berbasis kerakyatan dan mendorong kebijakan pemerintah pro-rakyat.
Kelima, menyeru pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk mewaspadai dan menghindarkan diri dari budaya yang tidak sesuai dengan nilai syariat Islam dan budaya luhur bangsa, seperti penyalahgunaan narkoba, minuman keras, pergaulan bebas dan perdagangan manusia.
Hal itu perlu dilakukan dengan meningkatkan pendidikan akhlak di sekolah dan keluarga, penguatan ketahanan keluarga dan adanya keteladanan para pemimpin, tokoh dan orang tua. Seiring dengan itu, KUII menyerukan kepada pemerintah untuk menghentikan regulasi dan kebijakan yang membuka pintu lebar-lebar masuknya budaya yang merusak serta melakukan penegakan hukum yang tegas dan konsisten.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Keenam, menyatakan keprihatinan yang mendalam atas bergesernya tata kehidupan Indonesia di banyak daerah yang meninggalkan ciri keislaman sebagai akibat derasnya arus liberalisasi budaya dan ekonomi.
Oleh karena itu, KUII meminta penyelenggara negara dan pemangku kepentingan untuk melakukan langkah-langkah nyata menggantikan dan menata ulang kebijakan lanskap kehidupan Indonesia agar tetap berwajah keislaman dan keindonesiaan.
Ketujuh, memperihatinkan kondisi umat Islam di beberapa negara di dunia, khususnya Asia yang mengalami perlakukan diskriminatif dan tidak memperoleh hak-haknya sebagai warga negara. KUII meminta kepada pemerintah negara-negara yang bersangkutan untuk memberikan perlindungan berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berkeadilan dan berkeadaban.
Menyeru kepada Pemerintah dan umat Islam Indonesia untuk memberikan bantuan kepada mereka dalam semangat ukhuwah Islamiyah dan kemanusiaan.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Risalah tersebut juga meyebutkan bahwa ummat Islam sebagai umat terbesar memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga, mengawal, membela, mempertahankan dan mengisi negara Indonesia berdasarkan wawasan Islam yang rahmatal lil alamin dalam semangat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah.
Pertanyaannya, apakah poin ini akan dapat diterapkan di tengah-tengah umat Islam? Di sinilah peran MUI sebagai penyelenggara Kongres dituntut untuk membuktikan kemampuannya menjadi majelis yang dapat mengakomodasi dan mempersatukan umat Islam di Indonesia. Karena MUI selama ini diharapkan memiliki fungsi sebagai majelis pemersatu bagi umat Islam. (R11/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat