Menyempurnakan Puasa Ramadhan dengan I’tikaf

Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)

Di dalam Al-Quran Allah menyebutkan ayat tentang i’tikaf:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الَّيْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ…..

Artinya: “……kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 187).

Ibadah puasa semakin hari mendekati akhir bulan, banyak manusia disibukkan oleh persiapan lebaran, mudik, baju baru, kue-kue, dan lainnya. Saat-saat menyambut kemenangan itu, bukannya ditujukan pada upaya meraih kemenangannya. Tetapi justru pada hal-hal yang melalaikan dari makna ibadah puasa Ramadhan itu sendiri, yakni mendekatkan ketakwaan kepada Allah.

Ibadah utama selain puasa Ramadhan di siang hari, pada sepuluh hari yang akhir Ramadhan adalah beri’tikaf di masjid. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta para sahabatnya, hingga generasi shalih berikutnya.

Makna i’tikaf

I’tikaf berasal dari akar kata ‘akafa – ya’kifu – i’tikaf, yang secara etimologis bermakna al-mulaazamah, yaitu menyertai terus, menetap atau tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik.

Secara terminologis, i’tikaf adalah tinggal atau berada dalam masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Atau, selalu menyertai ketaatan yang khusus, di waktu yang khusus, menurut syarat yang khusus, di tempat yang khusus (At-Tafsir Al-Munir, Prof. Wahbah Az Zuhaili).

Kata ‘akafa dan derivasinya disebut sembilan kali dalam Al-Qur’an, yaitu di QS Al-Baqarah [2]: 125 dan 187, Al-A’raaf [7]: 138, Thaaha [20]: 91 dan 97, Al-Anbiyaa’ [2]: 52, Al-Hajj [22]: 25, Asy-Syu’araa’ [26]: 71, dan Al-Fath [48]: 25.

Namun, yang terkait langsung dengan makna i’tikaf disinggung dua kali dalam Al-Qur’an. Pertama, pada ayat 187 surat Al-Baqarah, sebagaimana ayat di atas. Sedang yang kedua, pada firman Allah yang terkait dengan keharusan membersihkan masjid yang menjadi tempat i’tikaf:

…..أَن طَهِّرَا بَيۡتِىَ لِلطَّآٮِٕفِينَ وَٱلۡعَـٰكِفِينَ وَٱلرُّڪَّعِ ٱلسُّجُودِ

Artinya : “….. Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 125).

Penisbatan i’tikaf kepada masjid dalam ayat di atas, “sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”, menunjukkan bahwa ibadah i’tikaf tidak bisa dilakukan kecuali di dalam masjid, dan hal ini telah menjadi konsensus (ijma’) para ulama.

Keutamaan i’tikaf di bulan Ramadhan

Pada dasarnya, dalam ajaran Islam, seseorang dapat beri’tikaf di masjid kapan saja. Namun, i’tikaf di bulan Ramadhan memiliki keutamaan tersendiri. Inilah rahasianya mengapa ayat yang membahas i’tikaf (Al-Baqarah 187) disebutkan setelah pembahasan puasa Ramadhan (Al-Baqarah 183).

Dalam beberapa riwayat disebutkan mengingat begitu keutamaan i’tikaf pada bulan Ramadhan tersebut, adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melaksanakan i’tikaf pada sepuluh hari akhir bulan Ramadhan.

Maka, jika kita dapat melaksanakan ibadah i’tikaf di masjid pada sepuluh  hari yang akhir dari bulan Ramadhan, maka itu akan menambah kesempurnaan ibadah puasa Ramadhannya.

Lebih dari itu, kita pun akan berpeluang besar mendapatkan Lailatul Qadar, satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Sebab,  Lailatul Qadar, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits, kemungkinan besar terjadi pada malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Sehingga Nabi pun memberikan arahannya kepada kita:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Artinya: “Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan.” (H.R. Bukhari).

I’tikaf Sarana Evaluasi Diri

I’tikaf dapat dijadikan sebagai sarana evaluasi diri (muhasabah), memperbanyak mengingat Allah (tadzakkur), dan memikirkan karunia-Nya (tafakkur) untuk memelihara dan meningkatkan kualitas takwa.

Karenanya, i’tikaf disyariatkan dalam rangka menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs) dengan berkonsentrasi untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah pada waktu yang sangat terbatas, hanya sepuluh hari dfri 365 hari dalam setahun. Namun memiliki nilai yang amat tinggi di sisi Allah.

Untuk itu, seorang yang sedang beri’tikaf hendaknya menyibukkan diri dengan dzikir, istighfar, tilawah Al-Qur’an, shalat, munajat dan berdoa kepada Allah. Ia juga harus menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat yang bisa menodai kesempurnaan i’tikafnya.

Sehingga diharapkan setelah i’tikaf, iman dan jiwa seseorang akan lebih fresh dan dapat menjalani aktivitas kesehariannya dalam menjalani sisa hidupnya menuju kampung akhiratnya.

Seperti ada di beberapa masjid di kampung-kampung, mereka warga setempat bekerja ke luar kota dalam setahun. Dan mereka menabung serta meliburkan diri dari pekerjaannya “Khusus 10 hari akhir Ramadhan untuk Allah, i’tikaf”.

Karena itu, Syaikh Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengingatkan, untuk menjaga hati tetap istiqamah dalam rute perjalanan setahun, memerlukan kekhusyuan pensucian diri secara berkala, agar tidak kusut. Kusutnya hati tidak akan sembuh kecuali dengan secara khusus menghadapkan diri kepada Allah.

Dalam keseharian, makan dan minum berlebih-lebihan, kelewatan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, itu semua termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan dan akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkannya.

Karena itu, kasih sayang Allah mensyari’atkan ibadah puasa Ramadhan untuk menghilangkan kelebihan makan dan minum pada hamba-Nya, dan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati dapat merintangi perjalanan menuju Allah. Sedangkan disyari’atkannya i’tikaf adalah berdasarkan untuk menyempurnakan maslahah (kebaikan) dalam diri orang yang berpuasa Ramadhan agar ruh dan hatinya berdiam diri hanya untuk Allah.

Aktivitasnya selama I’tikaf adalah lebih banyak menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga ingat-Nya, kecintaan-Nya dan penghadapan kepada-Nya bisa lebih maksimal lagi.

Karena itu, dengan mohon petunjuk dan pertolongan Allah, marilah kita upayakan dapat menyempurnakan puasa Ramadhan kita dengan beri’tikaf pada sepuluh hari yang akhir Ramadhan di masjid. Semoga Allah mudahkan. Aamiin. (P4/R01)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor: illa

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.